Kisah Berlian Banjarmasin di Belanda, Pusaka Jarahan Perang
- bbc
Tanpa ada sisa bekas kesultanan di tanah Banjar, yang dihancurkan Belanda, Ahmad menilai barang itu perlu dikembalikan.
"Karena itu hak kerajaan Banjar...Maknanya, tidak hanya bagi Banjarmasin, tapi suku Banjar pada umumnya... Juga kita ingin menunjukkan secara de facto dan de jure wilayah kekuasaan kerajaan Banjar itu memang ada," ujarnya.
Kemegahan kesultanan Banjar pernah digambarkan Johannes Paravicini, utusan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang diurus ke Banjarmasin pada pertengahan abad ke 18.
Ia mengatakan ia disambut musik merdu kala memasuki gedung kesultanan, yang digambarkannya, memiliki dinding dan lantai yang ditutup permadani keemasan.
Kesultanan di Kayu Tangi, Martapura, itu pun memiliki piring, mangkok, hingga tempat meludah dari emas, ujarnya.
"Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan," ujar Paravicini.
"Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias, dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas..."
Pengalaman Paravinici tertulis dalam buku karangan Idwar Saleh `Banjarmasin, Selayang Pandang Mengenai Bangkitnya Kerajaan Banjarmasin Posisi, Fungsi, dan Artinya dalam Sejarah Indonesia dalam Abad 17`.
Sejak abad-ke 17, sejarawan Banjarmasin Ahmad Barjie mengatakan, Kalimantan Selatan merupakan penghasil lada yang besar, juga penghasil emas dan berlian, maka Kesultanan Banjarmasin itu sangat kaya.
Namun, kini, sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banjarmasin tidak lagi nampak setelah perang berkepanjangan antara Belanda dan masyarakat Banjar.
Di tahun 1612, armada Belanda menyerang Kesultanan Banjar di Kuin dengan serangan meriam, ujar sejarawan Ahmad Barjie. Peristiwa itu membuat kesultanan berpindah lokasi ke Martapura lalu ke sejumlah lokasi lainnya hingga dibubarkan sepihak oleh Belanda di tahun 1860.
Konflik itu pun meruncing menjadi perang di tahun 1859-1906 (yang menurut versi Belanda hanya berlangsung hingga 1859-1860, saat kesultanan dibubarkan).
Peperangan berkepanjangan itu mengubah kehidupan sosial di daerah itu, ujar sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur.
"Perang Banjar tentunya banyak menguras tenaga, kemudian juga banyak menyebabkan kelumpuhan di bidang ekonomi karena perang mereka tidak bisa lagi bertani, mengembangkan perkebunan, dan sebagainya," ujarnya.
"Belum lagi setelah Belanda berkuasa memenangi perang Banjar banyak menarik pajak. Pajak-pajak besar dari masyarakat yang mengakibatkan kesengsaraan di masyarakat."