Selamatkan BPJS Kesehatan, Menkeu Minta Manajemen Transparan
- ANTARA FOTO/Reno Esnir
VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengaku, tidak akan hanya berdiam diri setelah Mahkamah Agung membatalkan kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, yang telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2019. Padahal kebijakan itu ditempuh guna menyelamatkan neraca keuangan BPJS Kesehatan yang terus defisit.
Sri menegaskan, akan menempuh berbagai skema penyelamatan defisit BPJS Kesehatan yang terus membengkak tiap tahunnya, dari yang pada 2019 sebesar Rp32,8 triliun dan diperkirakan akan melonjak menjadi Rp39,5 triliun pada 2020 dan pada 2021 menjadi Rp50,1 triliun. Salah satunya dengan meminta manajemen BPJS Kesehatan semakin transparan.
"Pasti ada langkah-langkah pemerintah untuk amankan kembali JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) itu secara sustain. Azas keadilan, gotong royong manfaat biaya dan transparansi," kata Sri di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Selasa, 10 Maret 2020.
Dia mengganggap, untuk sementara ini, dalam kondisi batalnya kenaikan iuran, transparansi manajemen dalam mengelola BPJS Kesehatan menjadi sangat penting. Itu demi memberikan pemahaman yang sebenarnya dan menyeluruh terhadap masyarakat secara luas mengenai kondisi institusi tersebut.
"Kita minta BPJS transparan, biaya operasi berapa dan berapa gajinya, utangnya, defisit berapa. Itu semua kita rangkum supaya masyarakat tahu ini masalah bersama, bukan satu institusi saja. Ini dilakukan pemerintah, kita terus coba banngun ekosistem JKN yang sehat dan berkeadilan, sustain," tuturnya.
Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Komunitas Pasien Cuci Darah (KPCDI) terkait Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. KPCDI dalam gugatannya menolak kenaikan iuran BPJS.
“Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan komunitas pasien cuci darah Indonesia tersebut,” kata juru bicara MA, Andi Samsan Nganro, saat dihubungi, Senin 9 Maret 2020.