Logo ABC

Kisah Mahasiswa Indonesia Rindu Wuhan

Salah satu WNI asal Wuhan sesaat sebelum meninggalkan Natuna selepas karantina selama 14 hari.
Salah satu WNI asal Wuhan sesaat sebelum meninggalkan Natuna selepas karantina selama 14 hari.
Sumber :
  • abc

Wuhan, sebuah kota di China menjadi terkenal karena jadi asal mewabahnya virus corona. Tapi bagi mereka yang pernah tinggal di kota itu, seperti mahasiswa asal Indonesia, kota ini menyisakan kerinduan bagi mereka.

Sudah dua minggu lebih, Yuliannova Chaniago, Gerard Ertandy, dan Eva Taibe terbang dari Natuna ke keluarganya masing-masing.

Ketiganya adalah mahasiswa "Central China Normal University" di Wuhan, yang menjadi bagian dari 238 WNI yang dievakuasi Pemerintah Indonesia dari kota itu, setelah virus corona merebak.

Saat ini mereka masih tinggal di kota asal mereka masing-masing, belum bisa kembali ke kota Wuhan yang masih ditutup, atau istilahnya "lockdown".

"Tidak takut kembali ke Wuhan" Gerard, Eva, Yuli Dari kiri: Gerard, Yuli dan Eva berharap kondisi Wuhan untuk segera kondusif agar dapat kembali kuliah.

Supplied: Yuliannova Chaniago

Mereka bertiga sama-sama berharap Wuhan kembali normal sehingga mereka bisa kembali ke sana.

Yuli, yang berstatus mahasiswi S3, mengatakan tidak takut untuk kembali ke kota tersebut.

"Saya berharap ada kabar baik dari Wuhan secepatnya, karena buat saya, bukannya tidak berani. Ya, beranilah pasti balik ke Wuhan," kata Yuli kepada Hellena Souisa dari ABC News.

Jika Yuli baru memulai studi doktoralnya di Wuhan, tahun ini menjadi tahun terakhir Eva sebagai kandidat doktor.

Eva juga berharap bisa kembali ke Wuhan untuk bisa menjalankan sidang disertasinya, seperti proses yang normal dijalankan di kampusnya.

Namun kondisi Wuhan yang masih tertutup memaksa Eva untuk menjalankannya lewat internet.

"Kemungkinan akan diadakan sidang online. Kalau sidang online mungkin tekanannya tidak sehebat sidang tatap muka, walaupun kemungkinannya ada beberapa yang bias," kata Eva.

Tapi Eva menambahkan, kalau bisa ia lebih memilih menjalankan sidang tatap muka di Wuhan supaya lebih ekspresif dan untuk menghindari penilaian yang bias tersebut.

"[Hal-hal yang bias itu] misalnya body language dan kesiapan teknis," tambah Eva kepada wartawan ABC News Natasya Salim.

Tahun ini juga menajdi tahun terakhir bagi Gerard yang sedang menempuh studi Master Hubungan Internasional di Wuhan.

Di luar proses belajar yang sebenarnya mengharuskannya kembali ke Wuhan, Gerard sendiri memang ingin kembali.

"Pastinya saya ingin kembali ke Wuhan karena saya sudah lama tinggal di Wuhan dan Wuhan sudah seperti rumah kedua bagi saya," kata Gerard.

Selain itu, wisuda dan pengurusan ijazah setelah lulus nanti juga harus dilakukan Gerard di Wuhan. Belum lagi ada beberapa barang yang masih tertinggal di Wuhan.

Sementara untuk urusan pengumpulan tugas akhir, Gerard dapat melakukannya via internet.

Uang Beasiswa dihentikan sementara Makan Tumpeng Dari kiri: Yuli, Eva dan Gerard merayakan kepulangan mereka selepas evakuasi di Natuna.

Supplied: Yuliannova Chaniago

Sejumlah universitas di China memang juga menawarkan metode online, baik untuk aktivitas perkuliahan maupun untuk pengumpulan tugas.

Metode kuliah online diberlakukan oleh sejumlah universitas di China yang terdampak virus corona, agar mahasiswa internasional, seperti Yuli, Eva, dan Gerard dapat terus mengikuti perkuliahan jarak jauh.

Karena saat ini mereka tak berada di China, uang beasiswa mereka untuk sementara dihentikan sampai mereka kembali ke Wuhan.

Untuk hidup bulanan, biasanya Pemerintah China memberikan dana sebesar 3.500 Yuan, lebih dari Rp 7 juta untuk mahasiswa doktoral, 3.000 Yuan, atau lebih dari Rp 6 juta untuk mahasiswa master, dan 2.500 Yuan, atau sekitar Rp 5 juta untuk mahasiswa S-1.

Jumlah tersebut diterima utuh, karena mereka tidak perlu membayar uang sewa bulanan asrama yang ditanggung oleh universitas.

Karena kini mereka tak mendapat tanggungan, Yuli mengaku telah mencoba mencari pekerjaan sementara untuk menutup biaya hidupnya selama di Indonesia.

Ditolak saat mencari kerja

Usaha untuk mencari kerja sudah mulai dilakukan Yuli saat ia menyadari kepulangannya ke Wuhan masih serba tak pasti.

Tetapi usahanya masih terbentur stigma virus corona.

"Begitu tahu saya dari Wuhan dan baru habis karantina, mereka kelihatan sekali ragu-ragu dan akhirnya menolak," kata Yuli.

"Sepertinya banyak orang Indonesia yang masih ketakutan berinteraksi dengan kami, padahal kami sudah dilengkapi sertifikat sehat saat selesai karantina" ujarnya.

Meski demikian, Yuli mengaku tidak berkecil hati dan akan terus mencari pekerjaan.

"Kalaupun memang sulit [mencari kerja], mungkin saya akan mulai mencicil mencari data untuk disertasi saja dulu," katanya.

Kerinduan pada Wuhan Musim Semi Wuhan Eva merindukan suasana musim semi di Wuhan yang menurutnya adalah kota dinamis.

Supplied: Yuliannova Chaniago

Bila kebanyakan orang mengenal Wuhan hanya sebagai kota sarang virus yang mematikan sehingga enggan untuk pergi ke sana, tidak demikian bagi Yuli, Eva, dan Gerard.

Sebelum virus corona menyerang, Wuhan adalah kota yang mereka sebut "sangat menyenangkan".

"Terutama saat musim semi, karena menyenangkan untuk jalan-jalan," kata Eva.

Bagi mereka, Wuhan yang mereka kenal adalah kota yang dinamis dan hidup, serta kaya kuliner.

Suasana Kota Wuhan Suasana Wuhan sebelum lockdown.

Supplied: Yuliannova Chaniago

Salah satu kuliner khas yang dirindukan ketiganya adalah mie tradisional Wuhan yang bernama "Reganmian".

"Sebenarnya sederhana, tapi dekat di hati. Mie ini hanya mie biasa dengan bumbu kacang, wijen, dan kecap asin," kata Eva.

Kedai dekat kampus mereka menjual mie ini dengan harga yang kalau dirupiahkan hanya Rp 8,000 saja.

"Itu porsinya besar. Harga segitu saya bisa makan berdua dengan Eva," kata Yuli tergelak.

"Enak dan murah meriah, dan kadang kalau sudah makan pagi, siang tidak perlu makan ngenyangin banget

Reganmian Reganmian, mie kering tradisional Wuhan, salah satu yang dirindukan mahasiswa Indonesia.

Supplied: Yuliannova Chaniago

Selain itu, Gerard juga mengaku rindu pada kehidupan di universitas, terutama kegiatan yang dilakukan bersama dengan mahasiswa Indonesia lainnya.

Misalnya festival budaya yang diadakan setiap bulan Maret atau April.

Tahun lalu, mahasiswa Indonesia diberi kesempatan membuka festival tersebut dengan tarian Papua.

"Kami sebenarnya nggak punya kostum saat itu. Akhirnya dapat bantuan dari teman-teman Indonesia lain di Hubei," kata Yuli.

Penampilan Mahasiswa Indonesia di Wuhan Mahasiswa Indonesia di Wuhan membuka Festival Nusantara tahun lalu yang diadakan Pehimpunan Pelajar Indonesia di Tiongkok cabang Wuhan.

Supplied: Yuliannova Chaniago

Pesan untuk WNI di Wuhan

Kerinduan Yuli, Eva, dan Gerard terhadap kota Wuhan juga tak lepas dari kerinduan mereka terhadap Humaidi Zahid atau Omed.

Omed masih berada di Wuhan karena tidak lolos tes ketika hampir dievakuasi ke Natuna (1/2/2020).

"Kami tidak melupakan dia, waktu kami di pesawat dan tahu Omed tidak lolos screening akhir, kami sangat sedih," kata Yuli kepada ABC Indonesia.

"Kami juga prihatin setelah ada beberapa media datang ke rumah Omed, yang mengganggu privacy keluarganya," sambungnya.

Melihat Omed adalah satu-satunya di antara 238 WNI yang berhasil dievakuasi, Yuli berharap pemerintah Indonesia dapat memberikan perhatian lebih.

"Memang sulit juga sekarang untuk melakukan evakuasi Omed, tapi kita berharap pemerintah memberikan perhatian lebih kepada dia dan teman-teman yang masih tinggal di Wuhan."

Sementara bagi Gerard, salah satu harapannya adalah agar wabah corona segera berakhir.

"Saya berharap agar semua ini berakhir, karena kasihan juga orang-orang di Wuhan tidak cuma pemerintah juga, aktivitasnya memang terganggu dan malah telantar. Tidak bisa berjalan seperti biasanya."