Tragedi Berdarah India, RI Harus Bantu Ambil Langkah Diplomatik
VIVA – Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendorong pemerintah Indonesia turun tangan membantu menyelesaikan aksi diskriminatif terhadap umat Islam di India. Indonesia dinilai mumpuni karena sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Ketua Bidang Komunikasi dan Informasi DPP PKB, Ahmad Iman Syukri menyampaikan hal itu lantaran amandemen UU Kewarganegaraan di India dinilai sudah melanggar resolusi Dewan HAM PBB. Menurut dia, pemerintah RI bisa membantu dengan menyuarakan sikap tegas demi penyelesaian konflik berdarah tersebut.
"Jika kategorinya intoleransi, stigmatisasi, diskriminasi dan hasutan kekerasan atas dasar agama maka itu masuk pelanggaran hak asasi manusia atau HAM. Indonesia harus bersuara," kata Iman, dalam keterangannya, Minggu, 1 Maret 2020.
Iman menekankan, selama ini Indonesia merujuk komitmen dalam Piagam PBB yang mendorong penghormatan umum terhadap seluruh HAM dan kebebasan dasar tanpa perbedaan terhadap agama atau kepercayaan. Maka itu, kata dia, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri atau Kemlu setidaknya bisa mengajukan protes terhadap India.
Upaya itu bisa dengan langkah diplomatik yaitu memanggil Duta Besar India untuk mengusulkan mencabut UU Kewarganegaraan yang diskriminasitif terhadap umat Islam. Dengan cara ini, setidaknya pemerintah RI bisa menyampaikan saran dan mengingatkan India agar bisa mengevaluasi kebijakannya.
"Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah diplomatik. Setidaknya mencegah konflik agama karena amandemen UU kewarganegaraan di India tak merembet ke negara-negara lainnya," jelasnya.
Untuk diketahui, UU Kewarganegaraan India jadi polemik dan disorot internasional. UUÂ yang sudah direvisi bisa mempercepat pemberian kewarganegaraan untuk warga penganut enam agama yaitu Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen.
Warga penganut agama ini berasal dari negara tetangga seperti Afghanistan, Bangladesh dan Pakistan. Namun, dalam UU tersebut tak dicantumkan agama Islam. Hal inilah yang menjadi kontroversi dan polemik diskriminatif terhadap umat muslim di India.
Pun, berikut isi aturan UU Kewarganegaraan yang dikutip dari salinan Kementerian Hukum dan Keadilan (Departemen Legislatif), New Delhi, 12 Desember 2019. UU ini juga sudah mendapat persetujuan dari Presiden India Ram Nath Kovind.
"2. In the Citizenship Act, 1955 (hereinafter referred to as the principal Act), in section 2, in sub-section (1), in clause (b), the following proviso shall be inserted, namely: "Provided that any person belonging to Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi or Christian community from Afghanistan, Bangladesh or Pakistan, who entered into India on or before the 31st day of December, 2014 and who has been exempted by the Central Government by or under clause (c) of sub-section (2) of section 3 of the Passport (Entry into India) Act, 1920 or from the application of the provisions of the Foreigners Act, 1946 or any rule or order made thereunder, shall not be treated as illegal migrant for the purposes of this Act".
"2 Dalam Undang-Undang Kewarganegaraan, 1955 (selanjutnya disebut sebagai Undang-undang pokok), nomor 2 ayat (1) (b): "Jika ada orang yang beragama Hindu, Sikh, Budha, Jain, Parsi atau Komunitas Kristen dari Afghanistan, Bangladesh atau Pakistan, yang masuk India pada atau sebelum tanggal 31 Desember 2014 dan yang telah disetujui oleh Pemerintah Pusat dengan atau di bawah ayat (c) ayat (2) pasal 3 dari Paspor Act (Masuk ke India), 1920 atau dari penerapan ketentuan Foreigners Act, 1946 atau aturan atau perintah apa pun yang dibuat di bawahnya, tidak akan diperlakukan sebagai migran ilegal untuk keperluan Undang-undang ini".