Pemerintah Ajak Publik Lihat Gambaran Besar dari Tujuan Omnibus Law
- ANTARA FOTO/ICom/AM IMF-WBG/Zabur Karuru
VIVA – Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai, maraknya respons masyarakat yang kontra pada rancangan undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja, merupakan hal yang sangat wajar sebagai bentuk perhatian publik pada kinerja pemerintah.
Namun, Sekretaris Kemenko Perekonomian, Susiwijono mengatakan, reaksi kontra dari masyarakat itu menurutnya karena mereka hanya melihat sejumlah hal kecil dalam RUU tersebut, sementara gambaran besar yang dirancang pemerintah memiliki visi perekonomian nasional yang menatap jauh ke depan.
"Kalau publik hanya melihat satu atau dua isu, saya kira itu sangat wajar. Karena itu kan memang bentuk perhatian dari teman-teman publik," kata Susiwijono di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Senin 24 Februari 2020.
"Cuma jangan lupa konteks besarnya itu seperti yang sudah saya jelaskan," ujarnya.
Susiwijono menjabarkan, dari struktur pasal yang berjumlah 174 di dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja itu, sekira 86,5 persennya itu membicarakan masalah perizinan, kemudahan berusaha, investasi, dan UMKM.
Hal-hal itulah yang menurutnya menjadi fokus utama pemerintah, guna melakukan transformasi ekonomi dengan visi ke depan untuk mencapai tujuan Indonesia maju pada 2045.
"Di mana pada tahun 2045 itu, kita ingin menjadi ekonomi yang terbesar keempat di dunia, dan kita juga ingin keluar dari middle income trap. Maka momentum ini sudah tepat," kata Susiwijono.
Transformasi ekonomi ini diakui Susiwijono juga sudah dimasukkan ke dalam RPJMN 2020-2024. Di mana, di dalamnya juga membahas beragam kendala dalam upaya transformasi ekonomi tersebut, khususnya dalam hal investasi.
Susiwijono menjabarkan, permasalahan utama di Indonesia dalam hal ekonomi dan investasi itu misalnya seperti masalah korupsi, masalah inefisiensi birokrasi, serta masalah perizinan.
Dengan demikian, hal-hal itulah yang didorong dan difokuskan oleh pemerintah, agar semua hal itu bisa tergambar di dalam alur RUU Cipta Kerja tersebut.
"Jadi kalau ada masalah lain, misalnya urusan ketenagakerjaan, lalu juga ada masalah urusan paten dan undang-undang lainnya, saya kira itu hal yang wajar sebagai bentuk perhatian dari publik," kata Susiwijono.
"Tapi itu sebenarnya jangan sampai menghilangkan konteks besarnya, yakni mencakup seluruh struktur ekonomi kita sebagaimana yang tadi saya jelaskan," ujarnya.