Kisah Pertemuan Anak Korban Bom Bali dengan Pelaku
Peringatan 17 tahun Bom Bali 1 adalah untuk pertama kalinya seorang pemuda datang dan melihat nama ayahnya yang tertera dalam daftar korban di monumen peringatan di Legian.
Aris Munandar, sang ayah - nama yang tertera nomor empat dari atas pada monumen itu- tengah menunggu penumpang di depan Sari Club, saat bom dengan berat sekitar 1,1 ton meledak pada 2002, dengan korban meninggal 202 orang dan ratusan lainnya luka-luka.
Aris termasuk 38 korban meninggal asal Indonesia, sementara yang terbanyak 88 orang dari Australia dan lainnya dari sejumlah negara termasuk 28 dari Inggris.
Saat serangan teroris terparah di Indonesia itu terjadi, usianya baru 10 tahun. Dia adalah anak tertua dari tiga kakak beradik yang saat itu masing-masing berumur lima tahun dan dua tahun, sementara ibu mereka tengah sakit tak berdaya.
Jenazah Aris ditemukan sehari setelah serangan teror, dan anak berusia 10 tahun itu satu-satunya keluarga dekat di bawah umur yang melihat mayat sang ayah saat diturunkan dari mobil, kondisi yang membuatnya trauma, depresi namun "dipendam sendiri".
Pada peringatan 17 tahun Bom Bali 1, pada 12 Oktober 2019, anak muda yang kini berusia 27 tahun itu, Garil Arnandha, mengatakan ingin melihat untuk pertama kalinya nama sang ayah.
Emosi saya menggebu-gebu setiap mengingat bapak, kata Garil. - BBC
Garil juga ingin bertemu dan mengajukan secara langsung pertanyaan yang sudah lama ia pendam kepada pelaku, "Mengapa sampai bisa otak manusia berpikiran seperti itu, melakukan serangan dengan membunuh ratusan orang."
BBC mendapatkan izin dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk menyaksikan pertemuan Garil serta ibunya dengan terpidana terorisme Bom Bali 1, Ali Imron, yang menjalani hukuman seumur hidup.
Tiga otak Bom Bali 1 lain, termasuk kakak Ali Imron; Amrozi dan Ali Gufron alias Muklas serta terpidana mati lain Imam Samudra, telah dieksekusi pada 2008.
"Benar-benar hangus"
Garil dan ibunya Endang Isnanik berjalan menuju Monumen Peringatan Bom Bali 1. - BBC
Di satu sudut Legian, tak jauh dari monumen peringatan Bom Bali 1, Garil berusaha mengungkap apa yang selama ini ia pendam; kemarahan, kesedihan, depresi dan trauma.
Ceritanya terhenti beberapa kali. Ia menyeka air matanya.
Bayangan jenazah sang ayah, salah seorang korban Bom Bali 1 yang diturunkan dari mobil jenazah, tetap masih ada walau "tersamar:, katanya.
"Wajah itu bukan bapak saya, sudah benar-benar hangus, persis seperti ayam bakar," cerita Garil, menjelang peringatan berlangsung.
Selama 17 tahun terakhir, Garil mengatakan ia mengingat ayahnya di dalam kamar seorang diri setiap kali peringatan pada 12 Oktober.
"Kalau jujur saya pendam perasaan sendiri dalam kamar, saya tak pernah ikut, ini baru pertama kali saya ke sini. Mama ngajak terus tapi tak kuat, di rumah saja. Saya takut emosi saya menggebu-gebu mengingat kejadian itu."
Di antara adik-adik, saya yang paling ingat bapak, kata Garil. - BBC
"Di dalam hati saya, masih tak percaya, apalagi kalau liat foto bapak tak kuat. Di antara adik-adik, saya yang paling ngrasain bersama bapak," tambahnya.
Pada sekitar pukul 14:00, 13 Oktober 2002, jenazah Aris Munandar diturunkan dari mobil di depan kediaman keluarga di Denpasar.
Endang Isnanik, istri Aris yang tengah sakit, sempat mengintip. Namun Garil yang melihat secara jelas bersama kakek angkatnya.
"Ada mobil kecil datang, ternyata keluar tandu. (Saya lihat dari jauh), Posisi suami saya kakinya begini (melipat kaki) keluarga pegang saya dan saya gak boleh lihat lagi. Yang lihat anak saya," cerita Endang.
Garil bertemu dengan keluarga korban Bom Bali 1 dari Australia. - BBC
"Saya hanya lihat posisinya lagi tidur di depan stir mobil. Seperti yang dia cerita pada malam saat berangkat dia mau minum obat sambil menunggu tamu, mungkin tertidur pulas waktu kejadian," tambahnya.
"Mayat didatangkan karena kondisi yang lengket, tak bisa dimandikan, hanya bisa ditayamun. Disalatkan di masjid, dikuburkan hari itu juga," kata Endang lagi.
Air matanya mengalir deras.
Ayah Garil memarkir mobilnya di depan Sari Club untuk menunggu penumpang. - Getty Images
Dua adik-adik Garil masih belum mengerti apa yang terjadi dan bermain seperti biasa, kondisi yang membuat tamu-tamu melayat semakin tersedu.
Kondisi sang ibu yang menderita Remathoid Artistic, penyakit autoimun yang sering menyebabkannya tak bisa bangun karena nyeri pada sendi seluruh tubuh.
Ayah Garil tengah menanti tamu di depan diskotek yang penuh dengan tamu asing, Sari Club, pada Sabtu malam 12 Oktober 2002.
Hari-hari, bulan-bulan dan tahun-tahun berikutnya merupakan masa-masa terberat bagi keluarga Aris Munandar.
"Setiap berjalan ke sekolah, kelas di lantai atas, dan biasanya ada bapak sama mama datang," cerita Garil.
"Saya kalau ingat di sekolah, dibandingkan adik-adik, saya yang paling ingat bapak, anak pertama yang paling disayang."
"Kaya udah tak ada tujuan hidup, bingung tak tau gimana. Sampai SMA pun, masih gak karuan. Melihat kondisi mama, saya seperti orang depresi."
Sabtu malam itu pada peringatan ke-17, Garil untuk pertama kalinya mengunjungi Ground Zero, tempat yang beberapa kali ia lewati.
" Hati saya hancur, B apak bisa bayangkan kalau B apak jadi saya "
Dan beberapa hari setelah peringatan ke-17, ia menyampaikan berbagai pertanyaan yang selama ini ia pendam kepada Ali Imron, pelaku Bom Bali 1.
Di satu ruangan di Polda Metro Jaya, Jakarta, tempat Ali Imron menjalani hukuman seumur hidup, Garil yang didampingi ibunya, langsung menyampaikan cerita dan pertanyaannya.
"Saya masih kecil, saya melihat bapak kandung saya dalam keadaan seperti itu…Hati saya hancur ketika itu. Tulang punggung keluarga saya, membesarkan saya, Bapak bisa bayangkan kalau Bapak jadi saya, dengan keadaan ibu tak bisa jalan, tak ada kerjaan. Adik masih bayi. Saya masih bocah."
"Kami tak punya tempat tinggal, bingung tinggal di mana, sampai saat ini, kami tak punya rumah, tinggal di sana sini, sekarang tinggal di kos kosan … jujur dulu saya sangat kesal, dalam jiwa saya marah. Saya ingin semua tersangka dihukum mati, tak ada kecuali."
"Walaupun permintaan maaf saya mungkin tidak ada artinya, saya bersyukur bisa menyampaikan maaf kepada korban," kata Ali Imron. - BBC
"Yang saya tak abis pikir, atas dasar apa pelaku ini melakukan seperti ini, yang katanya Islam, Islam mana yang membunuh saudaranya sendiri."
Ali Imron tertunduk mendengar pertanyaan dan pernyataan ini.
"Saya sedih ada pembunuh yang bilang dia Islam," tambah Garil lagi.
Ali Imron mulai menjawab dengan mengakui bahwa ia yang diminta oleh Imam Samudra, otak pengeboman untuk mencari sasaran.
"Saya yang disuruh survei di jalan Legian, karena Imam Samudra ingin meledakkan bom dan pilih diskotek yang paling banyak bulenya. Kami dapati Sari club dan Paddy yang berseberang jalan," kata Ali.
"Saya ragu tapi kok mengikut. Jaringan kami Jemaah Islamiyah, ketika dapat perintah dari atasan harus taat melaksanakan. Dalam keyakinan kami, saya justru yang paling banyak terlibat," tambah Ali.
"Waktu saya mendengar suara bom, keraguan tetap ada. Begitu Amrozi ketangkap sebelum satu bulan, keyakinan saya bahwa jihad ini salah semakin besar," tambahnya lagi.
Tidak bisa ditebus oleh apa pun
"Kalau sampeyan (kamu) cerita, sampeyan tersiksa tapi saya lebih tersiksa, kesalahan yang saya lakukan itu tidak bisa ditebus oleh apa pun. Saya sadar, dan saya yakin sampai sekarang. Ditebus apa pun tidak akan terbayar. Yang bisa saya lakukan hingga sekarang, setiap kesempatan, saya sampaikan permohonan maaf saya kepada korban, keluarga korban dan semuanya.
Saya sedih ada pembunuh yang bilang dia Islam, kata Garil kepada Ali Imron. - BBC
"Meskipun permohonan maaf saya kurang berharga atau saya tidak pernah dimaafkan, tapi saya bersyukur menjadi salah satu yang terlibat, saya mengaku bersalah dan saya mohon maaf," lanjut Ali.
Dua kakak Ali Imron, Amrozi serta Ali Gufron alias Mukhlas serta Imam Samudra diekseksui pada November 2008.
Ketiganya tidak menyampaikan dan menunjukkan penyesalan sampai dihukum mati.
Ali sendiri mengatakan sejak ia "diperlihatkan foto-foto korban pengeboman" dan meminta maaf kepada para korban, ia "dicap pengkhianat" dan "dihalalkan" darahnya oleh anggota kelompoknya saat itu.
Meninggal dalam keadaan terz alimi
Dalam pertemuan dengan Garil dan ibunya, Ali berulang kali menyatakan permohonan maafnya.
Matanya beberapa kali berkaca-kaca dan kepalanya banyak tertunduk.
"Saya hanya bisa berdoa, almarhum diberi nikmat Allah di alam barzah, saya yakin, karena almarhum meninggal karena keadaan terzalimi karena perbuatan kami ... dalam hadis dikatakan barang siapa yang meninggal karena kezaliman maka mati syahid. Itu pun saya berdoa kepada korban yang lain saya berdoa secara umum."
Ibu Garil, Endang Isnanik yang lebih banyak mendengarkan dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu mengatakan tidak mengetahui anak sulungnya memendam perasaan yang begitu dalam.
"Setelah 17 tahun ini, saya tak tahu apa yang anak-anak rasakan, mereka sudah terbiasa melihat mamanya sakit, sudah terbiasa mama tak bisa bangun," kata Endang, beberapa kali menyeka air matanya.
"Saya merasakan ketulusan dia"
Bapak meninggal dalam keadaan terzalimi, kata Ali Imron. - BBC
Pertemuan di Polda Metro Jaya, Jakarta ini berakhir mengharukan.
"Saya mohon maaf, saya hanya bisa mohon maaf, saya tak bisa apa-apa," kata Ali Imron kepada Garil dan ibunya.
"Terima kasih banyak, sampaikan juga ke adik-adik. Saya tak bisa apa-apa lagi. Saya merasa bersyukur karena saya diberi kesempatan oleh Allah untuk menyesal," tambahnya merangkul Garil. Mata Ali berkaca-kaca.
Garil sendiri menyatakan "lega sudah bertemu dan menyampaikan unek-unek saya selama 17 tahun".
"Saya curahkan semua, yang penting sih dia sudah mengakui kesalahannya dan tobat yang benar-benar tobat hubungan dia dengan Allah. Saya merasakan ketulusan dia. Dia sudah minta maaf," tutup Garil.
"Saya lega apa yang saya pendam selama 17 tahun sudah saya ungkapkan," kata Garil. - BBC
Pemerintah Indonesia melalui Badan Nasional Penangggulangan Terorisme (BNPT) melakukan pertemuan antara mantan narapidana terorisme dan para korban pengeboman, salah satu langkah dalam program deradikalisasi.
Pertemuan semacam ini ditujukan untuk melunakkan hati dan pikiran para mantan napiter dan mencegah serangan kekerasan di kemudian hari.
Ali Imron termasuk yang ikut terlibat aktif dalam program deradikalisasi ini.
Produksi visual oleh Haryo Wirawan
Artikel ini merupakan bagian dari Program BBC #MelintasiPerbedaan #CrossingDivide s
- BBC
Crossing Divides: Berbagai cerita tentang bagaimana orang berinteraksi dalam dunia yang terpolarisasi.