OJK Kini Tak Wajibkan Perusahaan Asuransi Punya Direktur Kepatuhan
VIVA – Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk tidak mewajibkan industri asuransi memiliki direktur kepatuhan. Hal itu menyusul adanya revisi terhadap Peraturan OJK (POJK) Nomor 73/POJK.05/2016 tentang Tata Kelola Perusahaan yang Baik Bagi Perusahaan Perasuransian.
Revisi tersebut ditetapkan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 43/POJK.05/2019. Dalam aturan itu, OJK merubah pasal 7 POJK 73 2016 yang menyebutkan bahwa perusahaan wajib memiliki seorang direktur kepatuhan dan dilarang merangkap jabatan.
Sementara itu, pada pasal 7 POJK 43, hanya disebutkan bahwa perusahaan wajib memastikan kepatuhan terhadap perundang-undangan di bidang usaha perasuransian dan peraturan perundang-undangan lain. Sedangkan aturan larangan rangkap jabatan bagi direktur kepatuhan dihapus.
Kepala Departemen Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) 1A OJK Ariastiadi menjelaskan, aturan itu ditetapkan mengingat skala ekonomi perusahaan asuransi tidak sebesar perbankan. Sehingga tidak memberatkan mereka untuk menggaji pegawai tingkat direktur tersebut.
"Kalau itu kita paksakan, akan berpengaruh ke skala ekonomi. Itu akan beda dari sisi biaya tenaga kerja. Kami merevisi ini sebagai fungsi kepatuhan kalau dipandang perlu, kami bisa meminta perusahaan asuransi meningkatkan skalanya jadi pejabat setingkat direktur," tutur dia di kantornya, Jakarta, Kamis, 13 Februari 2020.
Untuk memastikan fungsi kepatuhan itu berjalan, pada pasal 8 POJK 43 itu disebutkan, perusahaan asuransi diwajibkan menunjuk satu orang anggota direksi yang membawahi fungsi kepatuhan. Direksi itu pun diperbolehkan rangkap jabatan kecuali yang membawahkan fungsi teknik asuransi, keuangan, serta pemasaran.
"Direktur (kepatuhan) ini tetap harus independen supaya tak ada kepentingan. Bisa saja direktur manajemen risiko. Prinsipnya harus independen ke fungsi yang berkaitan dengan bisnis dan operasional, kalau dia merangkap kepatuhan dan bisnis itu akan menimbulkan konflik," papar dia.
Dia membantah, aturan itu dapat dianggap sebagai upaya pemerintah melonggarkan kewajiban kepatuhan industri asuransi terhadap peraturan perundang-undangan. Menurutnya, aturan itu hanya mengharmonisasikan agar tidak ada ketimpangan aturan dengan kemampuan ekonomi industri.
"Tidak ada pelonggaran. Pertimbangan utamanya harmonsiasi agar tidak ada regilatory gap antara perbankan yang size-nya lebih besar mengatur fungsi kepatuhan. Asuransi menjadi berbeda dengan perbankan, nah kita harmonisasi itu," ungkap dia.