Logo BBC

Keturunan WNI di Lingkaran Setan Tanpa Kewarganegaraan di Malaysia

- BBC News Indonesia
- BBC News Indonesia
Sumber :
  • bbc

Puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu anak lahir di Malaysia tanpa bisa memiliki kewarganegaraan. Banyak di antara mereka adalah keturunan tenaga kerja Indonesia. Padahal salah seorang dari orang tua mereka merupakan warga negara Malaysia yang semestinya dapat menjadi patokan status anak-anak tersebut.

Disodori buku dan pulpen, seorang perempuan muda dengan cekatan menuliskan nama lengkap beserta nama panggilannya.

Huruf demi huruf ditulis secara rapi dan hasilnya dapat dibaca dengan jelas.

Tentu tulisan serapi itu tidak istimewa karena dibuat oleh seorang yang telah berusia 19 tahun.

Namun yang istimewa adalah sang penulis hanya sempat duduk di bangku sekolah dasar selama sekitar sembilan bulan saja.

"Saya duduk (tinggal) di rumah, tidak seperti budak (anak) lain setiap hari pergi ke sekolah. Saya duduk di rumah saja.

"Belajar menulis, belajar membaca dari kawan, kawan sekolah. Saya ikut belajar dengan dia. Dia menulis, saya ikut belajar menulis dengan dia. Dari situlah saya tahu menulis dan membaca," ungkap Efa Maulidiyah dalam bahasa Malaysia yang kental.

Efa dikeluarkan dari sekolah pada usia tujuh tahun setelah pihak sekolah tahu ia bukan warga negara Malaysia.

Efa Maulidiyah, hanyalah satu dari puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu anak yang lahir di Malaysia tanpa memiliki kewarganegaraan.

Menurut Kementerian Dalam Negeri, setidaknya 43.445 anak-anak atau anak muda, di bawah usia 21 tahun, masuk dalam kategori tanpa kewarganegaraan. Jumlah ini merujuk data tahun 2019.

Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi lain memperkirakan jumlah tersebut jauh lebih tinggi, mencapai ratusan ribu orang sebab data Kementerian Dalam Negeri tidak mencakup mereka yang belum terdaftar.

 

`Waktu itu saya tidak berpikir panjang`

 

Keberadaan mereka pun mudah dijumpai dalam masyarakat perkotaan sekalipun, seperti di Kampung Kayu Ara, Damansara.

Hanya diperlukan waktu kurang dari 30 menit berkendara mobil dari pusat kota Kuala Lumpur untuk mencapai kampung tempat tinggal Efa.

Hukum Malaysia menganut prinsip jus sanguinis , di mana kewarganegaraan ditentukan atas dasar garis keturunan. Seseorang diakui menjadi warga negara Malaysia bila mempunyai orang tua yang berkewarganegaraan Malaysia, baik kedua orang tua ataupun salah satunya saja.

Berdasarkan hukum ini, maka Efa Maulidiyah seharusnya diakui sebagai warga negara Malaysia.

"Waktu itu saya tidak berpikir panjang. Waktu nikah tidak mendaftar di Malaysia, tanpa dokumen, tidak mendaftar di Pejabat (Kantor) Agama. Itu langsung menjadi ini. Dia punya status pun tak dapat warga negara," kata ayah Efa, Tuah bin Osman.

Ayah Efa, warga asli Malaysia, menikahi Asma, seorang tenaga kerja Indonesia, tahun 1999 yang disahkan oleh penghulu.

Seperti diakuinya, pernikahan itu tidak dicatatkan secara resmi, baik sesuai dengan hukum di Malaysia maupun peraturan di Indonesia.

Status Asma ketika itu adalah TKI gelap lantaran masa berlaku visanya habis.

 

Tidak boleh sekolah di Malaysia

 

Konsekuensi dari ketiadaan surat nikah, rumah sakit tempat Efa dilahirkan di ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, tidak mencantumkan nama ayah di akta kelahiran.

Dengan demikian, dalam surat keterangan lahir, hanya tertera `nama ibu` dari bayi Efa, bernama Rohima.

"Saya pinjam identitas sepupu, pasalnya saya tak punya surat-surat," demikian pengakuan Asma.

Akibatnya, Efa Maulidiyah digolongkan sebagai anak tanpa kewarganegaraan sehingga ia tidak boleh mengakses pendidikan di sekolah negeri, tidak mendapatkan akses kesehatan secara gratis, tidak pula boleh bekerja secara resmi, dan juga tidak mendapat hak-hak lain sebagai warga negara.

Jika ia bersekolah, pilihan yang ada adalah sekolah swasta, jauh dari kemampuan ekonomi keluarga yang ditopang dari penghasilan Tuah bin Osman sebagai satpam dan Asma sebagai penjual jajanan anak-anak.

"Sedih. Saya hidup di Malaysia tak boleh bekerja, tak boleh sekolah. Cita-cita saya pun tidak bisa saya teruskan karena tak boleh sekolah," ungkap Efa.

Ketakutan yang senantiasa menghantuinya adalah razia polisi terhadap para pendatang ilegal.

"Saya takut ditangkap polisi. Biasanya polisi minta semua dokumen, minta duit. Tapi saya takut kena tangkap.

"Kalau ditangkap polisi, polisi akan hantar ke Indonesia pun tak boleh. Tak ada identitas Indonesia. Hidup di Malaysia juga tak boleh, tak ada identitas."

Baik Tuah bin Osman, Asma maupun Efa mengaku telah menempuh berbagai cara untuk mengurus dokumen, dipingpong dari satu instansi ke instansi lain, mulai dari tingkat pemerintah negara bagian hingga tingkat federal.

 

Jalur adopsi

 

Ketika berusia 12 tahun, batas usia seseorang mendapat IC (Identity Card) atau kartu tanda penduduk, Efa diberi IC merah, artinya dianggap warga negara asing, bukan kartu biru sebagai warga Malaysia.

Oleh karena itu, ayah Efa menolak kartu tersebut dan atas persetujuan istri, Asma, sampailah mereka pada solusi untuk menempuh jalur adopsi, sebagaimana dianjurkan oleh salah satu instansi.

"Orang saran kita ambil sebagai anak angkat. Kita disuruh ke balai maka kita pergi ke balai, ambil surat untuk anak angkat," kata Asma.

Balai yang dimaksud Asma adalah Jabatan Pendaftaran Negara, yang menangani masalah kependudukan.

Akan tetapi permohonan Tuah bin Osman mengangkat Efa ditolak karena usia Efa sudah remaja ketika itu.

Menurut Abdul Rachman, seorang aktivis buruh migran yang mendampingi keluarga Tuah bin Osman, harapan tetap ada dengan melalui tahapan-tahapan, dimulai dengan uji DNA guna merevisi akta kelahiran.

"Bahwasanya bapak adalah ayah daripada anak ini, yang pastinya di Malaysia melalui DNA. Kalau sudah resmi bahwa bapak adalah ayah daripada anak ini maka bapak akan saya dampingi untuk menuntut kepada pihak yang terkait memasukkan nama ayah di sijil kelahiran (akta kelahiran) ini," jelas Abdul Rachman.

Hanya saja uji DNA memakan biaya tidak sedikit, sekitar 4.000 ringgit atau kira-kira Rp13 juta dan fungsi hasil uji DNA itu hanya sebagai bukti pendukung.

Diakui pemerintah Malaysia bahwa proses pembuktian seorang anak berhak mendapat status warga negara atau tidak, memang memakan waktu.

Belakangan Menteri Dalam Negeri Tan Sri Muhyiddin Yassin mengatakan pemerintah telah bertekad mempercepat proses pengurusan kewarganegaraan mereka.

"Itu akan dilakukan sesuai dengan hukum, konstitusi dan prosedur standar yang telah ditempuh selama ini dalam mempertimbangkan pemberian kewarganegaraan.

"Kita tidak bisa membandingkan satu kasus dengan lainnya. Mungkin saja kasusnya mirip tapi sejatinya berbeda. Jadi yang kita perlu lakukan adalah mempercepat prosesnya," kata menteri yang dalam pemerintahan sebelumnya duduk sebagai wakil perdana menteri itu.

Hingga kini belum jelas bagaimana implementasi tekad itu di tataran pelaksanaan.

 

Adik-adik warga negara Malaysia

 

Seandainya, Tuan bin Osman selaku ayah Efa Maulidiyah mendaftarkan pernikahannya dengan Asma secara resmi, sebelum Efa lahir, maka nasibnya tentu akan berbeda.

Kedua adik Efa, lahir setelah pasangan itu menikah secara resmi di kota asal Asma, Surabaya.

Mereka, kini masing-masing berusia 10 dan 11 tahun, tercatat secara sah sebagai warga negara Malaysia tanpa kesulitan.

Di satu sisi Asma tidak bersemangat mengurus kewarganegaraan putrinya atas dasar garis keturunan ibu sebagai WNI.

"Kata orang, kalau bisa urus surat kelahiran pasalnya emak dan bapaknya ada di sini. Kalau Efa jadi warga negara Indonesia, bagaimana?" demikian Asma beralasan.

Di tengah carut-marut pengurusan status kewarganegaraan, sebagaimana dialami Efa, jalan belum tertutup sepenuhnya jika ingin diurus mengikuti kewarganegaraan ibunya, kata Yusron Ambary, Kepala Fungsi Konsuler KBRI Kuala Lumpur.

"Banyak kasus di mana orang tua datang ke kami tanpa selembar dokumen apapun. Tetap semua itu kita proses, kita bantu.

"Yang paling utama adalah kita akan melakukan wawancara mendalam kepada si ibu untuk memastikan status kewarganegaraan yang bersangkutan dan anak itu," jelas Yusron Ambary dalam wawancara khusus dengan BBC News Indonesia di Kuala Lumpur.

Karena ketiadaan dokumen hampir dipastikan menyulitkan pengurusan kewarganegaraan, maka sesuai instruksi Duta Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur Rusdi Kirana, KBRI sejak tahun 2017 menggencarkan sosialisasi pendaftaran anak-anak keturunan WNI, tambahnya.

Ada dua dokumen yang biasanya diterbitkan KBRI, yang pertama adalah surat keterangan kewarganegaraan dan surat pengenal lahir.

"Dua dokumen inilah yang akan menjadi dasar bagi Atase Imigrasi untuk menerbitkan paspor mereka, surat kewarganegaraan," terang Yusron Ambary yang juga merangkap sebagai Koordinator Satgas Perlindungan WNI di KBRI Kuala Lumpur.

 

Lingkaran setan tanpa kewarganegaraan

 

Perbedaan status Efa Maulidiyah dan kedua adiknya kerap menimbulkan konflk dan kepedihan hati di lingkungan keluarga.

Sebagai contoh, lima tahun lalu keluarga Efa mudik Lebaran ke Surabaya.

"Saya ditinggal sendiri. Emak, bapak, adik semua balik kampung. Saya ditinggal sendiri. Pada Hari Raya pun saya sendiri, tidak ada orang tengok. Sangat sangat sedih," ungkapnya seraya menambahkan kedua adiknya menikmati pendidikan di sekolah negeri secara gratis, sementara cita-citanya untuk menjadi pramugari atau perawat kandas.

Kesusahan Efa belakangan bertambah di saat ia tengah mengandung anak pertamanya.

Si bayi akan masuk ke dalam lingkaran setan, lahir tanpa identitas resmi, dan mungkin pula akan besar tanpa akses pendidikan.

"Suami saya warga negara Indonesia yang tak ada apa-apa (tak punya dokumen), saya pun tak ada apa-apa. Saya takut nanti saya bersalin, anak saya pun tak ada apa-apa pula.

"Sama dengan nasib saya dan suami sayalah. Berputar di situ juga," keluhnya kepada wartawan BBC News Indonesia, Rohmatin Bonasir.

Untuk saat ini, bagaimanapun, Efa merasa beruntung ada seorang dokter gigi yang awalnya memberikan pekerjaan sebagai petugas kebersihan di kliniknya di kawasan Petaling Jaya, tak jauh dari rumah.

Melihat kemampuan dan potensi Efa, sang dokter melatihnya sebagai asisten dan itulah pekerjaannya sekarang sekalipun tidak resmi.

Kecuali pergi bekerja, Efa mengaku takut meninggalkan rumah dan lebih banyak membantu ibunya memasak di dapur.

Meskipun sudah berstatus tanpa kewarganegaraan sejak lahir hingga umurnya sekarang 19 tahun, Efa tak ingin putus asa untuk mendapatkan pengakuan sebagai warga negara Malaysia, tanah kelahiran dan sekaligus satu-satunya negara di dunia yang dikenalnya. ***

Visua l oleh jurnalis video Dwiki Marta

Tulisan ini merupakan bagian dari laporan seri tentang Keturunan WNI tanpa kewarganegaraan di Malaysia di situs BBC News Indonesia dan juga di Radio BBC Indonesia dalam siaran pukul 05.00 dan 06.00 WIB , Rabu (0 5 /02) dan Kamis (0 6 /02).