Keraton Sejagat dan Sunda Empire, Mengapa Bisa tertipu Kerajaan Fiktif
- bbc
Dalam beberapa penelitiannya, Bayu Dardias Kurniadi menemukan ada sekitar 47 kerajaan yang muncul usai reformasi dan disebutnya memiliki tiga motif.
Pertama, motif politik. Dalam sejarah partai politik Indonesia, masyarakat Indonesia bebas memilih partai dan tidak hanya tiga partai seperti masa orde baru, katanya.
Hal ini dimanfaatkan sejumlah orang untuk mengambil kesempatan untuk menokohkan diri dan menghidupkan lagi kerajaannya, seperti di Ternate dan Tidore.
"Mereka merevitalisasi kerajaan yang sudah mati selama 50 tahun dan menobatkan diri sebagai sultan kemudian terpilih sebagai anggota DPR dan DPD," ungkapnya
Motif kedua, lanjutnya, penguatan budaya lokal seperti yang dilakukan almarhum Syaukani, di Kutai Kartanegara.
Menurut Bayu, dia merevitalisasi kerajaan sebagai penguatan budaya lokal.
"Dan motif ketiga, ini penumpang gelap," katanya.
Penumpang gelap, menurut Bayu, merevitalisasi kerajaan yang sudah sangat jauh matinya ke belakang, lebih dari 50 tahun dan sudah tidak jelas lagi genetiknya.
Mereka juga munculkan lagi keraton yang sama sekali baru, paparnya.
Bayu mencontohkan di Palembang. Di kota itu, menurutnya, ada dua orang yang mengaku sebagai Sultan Mahmud Badarudin III. Keduanya, lanjutnya, memiliki bisnis jual beli gelar kepada orang luar dengan gelar datuk.
"Yang satu mungkin ada jejaknya, yang satu tidak. Mereka menggunakan itu untuk kepentingan pribadi dan kepentingan psikologis," katanya.
Selain di Palembang, Bayu juga menemukan di Blora, dan di Demak. Dulunya, yang mengaku sebagai keturunan raja Demak, menurut Bayu, adalah tukang pijat, Mbah Minto.
Dia mengaku mendapatkan amanah dari kakeknya yang mukso untuk mendirikan lagi keraton Demak, tambahnya.