Tiga Alasan Sri Mulyani yang Buat Defisit APBN 2019 Bengkak
- ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
VIVA – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan setidaknya ada tiga alasan yang menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 membengkak 119,3 persen dari target, yakni dari yang dipatok sebesar Rp296 triliun menjadi sebesar Rp353 triliun per 31 Desember 2019.
Membengkaknya defisit tersebut utamanya disebabkan melesetnya seluruh indikator makro ekonomi yang ditetapkan dalam APBN 2019. Hal itu menyebabkan landasan perhitungan yang membentuk angka penerimaan dan belanja negara alami perubahan.
Pertama, untuk pertumbuhan ekonomi misalnya, dalam APBN 2019 dipatok sebesar 5,3 persen namun realisasinya diperkirakan hanya 5,08 persen, inflasi 3,5 persen realisasinya 2,72 persen.Â
Kemudian, kedua yaitu nilai tukar rupiah juga mengalami penguatan signifikan, dari yang di targetkan sebesar Rp15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) menjadi Rp14.247 per dolar AS.
Lalu, ketiga, harga minyak mentah Indonesia realisasinya mencapai US$62 per barel padahal dipatok sebesar US$70 per barel. Lifting minyak pun hanya sebesar 741 ribu barel per hari dari yang dipatok 775 ribu barel per hari sedangkan lifting gas hanya 1,05 juta barel setara minyak dari yang dipatok 1,25 juta.
Seluruh capain tersebut dikatakan Sri meleset akibat merembesnya gejolak ekonomi global yang dipicu berbagai tensi geopolitik dan perang perdagangan yang terjadi sepanjang 2019.Â
Faktor-faktor itu, lanjutnya membuat komoditas Indonesia mengalami jatuh harga di tengah melemahnya volume perdagangan global dan terendah sejak 2012 sehingga berdampak pada penerimaan negara.
"Pendapatan negara mengalami tekanan karena rembesan pelemahan global, terlihat dari pendapatan perpajakan kita. Pendapat negara kita tumbuh 0,7 persen dan penerimaan perpajakan kita tumbuh 1,7 persen," kata Sri Mulyani di kutip Rabu, 8Â Januari 2020.
Sementara itu, di tengah kondisi perekonomian global yang terus menekan perekonomian domestik, pemerintah ditegaskannya terus berusaha mendorong belanja negara guna memberikan stimulus bagi perekonomian Indonesia agar terus bergerak dan menjadi counter cyclical.
"Meski penerimaan negara mengalami tekanan kami tidak melakukan pemotongan (anggaran belanja) dan kita tetap dorong kementerian lembaga terus membelanjakan karena menjadi bagian menjaga perekonomian kita dari pelemahan," tegasnya.
Berdasarkan datanya, belanja negara memang tumbuh lebih tinggi dari penerimaan negara, yakni mencapai 4,4 persen. Realisasi belanja Kementerian atau Lembaga bahkan telah melampaui target yakni mencapai 102,4 persen, sedangkan belanja non kementerian dan lembaga mencapai 79,9 persen, subsidi 90 persen dan Transfer ke Daerah dan Dana Desa telah mencapai 98,1 persen.
"Dengan pendapatan yang mengalami tekanan sementara belanja negara tetap terjaga, dengan demikian maka defisit APBN 2019 ada di Rp353 triliun. Ini lebih besar dari target defisit awal," tuturnya.