Logo BBC

Homo Erectus Jawa Hidup Terlama di Dunia hingga 100.000 Tahun Lalu

Rekonstruksi rupa Homo erectus, spesies manusia yang dapat berjalan tegak. - Science Photo Library
Rekonstruksi rupa Homo erectus, spesies manusia yang dapat berjalan tegak. - Science Photo Library
Sumber :
  • bbc

Homo erectus bertahan sampai sekitar 100.000 tahun lalu di Pulau Jawa, saat spesies sejenis di tempat lain sudah punah, ungkap kajian ilmiah terbaru.

Kerabat dekat manusia modern itu berevolusi sekitar dua juta tahun lampau, dan merupakan spesies manusia pertama yang diketahui dapat berjalan tegak.

Bukti baru menunjukkan bahwa Homo erectus bertahan sampai lebih dari 100.000 tahun lalu di pulau Jawa Indonesia - lama setelah makhluk sejenis menghilang di tempat lain.

Ini berarti, Homo erectus masih ada di bumi ketika manusia zaman modern muncul.

Detail hasil penelitian ini .

Pada 1930-an, 12 bagian atas tengkorak dan dua tulang kaki bagian bawah Homo erectus ditemukan di lapisan tanah yang mengandung tulang, 20 meter di atas Sungai Bengawan Solo di Dusun Ngandong, Jawa Tengah.

Dalam beberapa dekade berikutnya, para peneliti mencoba untuk menganalisis umur fosil-fosil itu.

Tetapi hal ini terbukti sulit karena geologi di sekitarnya begitu rumit sehingga lokasi asli penggalian menjadi membingungkan.

Pada 1990-an, sebuah tim berkesimpulan usia fosil itu antara 27.000 hingga 53.000 tahun silam.

Ini memunculkan kemungkinan bahwa masa keberadaan manusia modern beririsan dengan masa keberadaan Homo erectus di Indonesia.

Baru-baru ini, sekelompok peneliti yang dipimpin oleh Profesor Russell Ciochon dari University of Iowa di Iowa City membuka penggalian baru di samping Sungai Solo, dan menganalisis kembali situs itu dan sekitarnya.

Mereka mengatakan usia definitif untuk lapisan tulang di sana berusia antara 108.000 tahun hingga 117.000 tahun.

Ini adalah penelitian tentang Homo erectus yang paling baru di dunia.

"Saya tidak tahu apa yang dapat Anda data di situs itu untuk memberi penanggalan yang lebih tepat dibanding apa yang sudah kami hasilkan," kata Ciochon kepada BBC News.

Profesor Chris Stringer, pemimpin penelitian evolusi manusia di Museum Sejarah Alam London, yang tidak terlibat dengan riset itu, berkomentar:

"Ini adalah studi yang sangat komprehensif tentang tengkorak dan tulang kering Homo erectus Ngandong yang terkenal. Penulis membangun perkiraan yang kuat bahwa individu-individu ini meninggal dan hanyut ke dalam endapan Sungai Solo sekitar 112.000 tahun yang lalu.

"Usia ini sangat muda untuk fosil Homo erectus yang tampak primitif, dan menunjukkan bahwa spesies ini bertahan di Jawa selama lebih dari satu juta tahun."

Para peneliti menduga bahwa terkumpulnya fosil itu menggambarkan peristiwa kematian massal, mungkin akibat lahar.

Lahar - yang berasal dari bahasa Jawa adalah material yang mengalir menuruni lereng gunung berapi ketika hujan lebat, selama atau setelah letusan gunung berapi.

Lahar akan menghabisi apa pun yang mereka lewati.

Sebelumnya, anggota tim Frank Huffman, dari University of Texas di Austin, telah melacak apa yang diteliti para peneliti Belanda, yang menemukan jasad Homo erectus pada 1930-an.

Sejumlah kerabat peneliti Belanda memberinya foto-foto penggalian, peta, dan buku catatan asli.

Huffman mampu mengatasi banyak ketidakpastian yang menghambat upaya sebelumnya untuk mempelajari situs itu.

"Dia memberi tahu kami di mana tempat untuk menggali," kata Ciochon tentang peneliti Universitas Texas itu.

Ciochon dan rekan-rekannya menggali bagian yang tidak tersentuh oleh tim peneliti Belanda pada 1930-an.

Berdasarkan catatan-catatan penggalian asli, tim tersebut dapat mengidentifikasi endapan kerikil - atau lapisan tulang - dari mana fosil Homo erectus berasal, dan mempelajari usia fosil.

Di pulau-pulau lain di Asia Tenggara, Homo erectus tampaknya telah berevolusi menjadi lebih kecil, seperti Homo floresiensis - "Hobbit" - di Flores, dan Homo luzonensis di Filipina.

Ini mungkin terjadi karena terbatasnya sumber makanan di pulau-pulau itu.

Tetapi di Jawa, tampaknya ada cukup makanan, sehingga memungkinkan Homo erectus mempertahankan ukuran tubuh aslinya.

Spesimen di Dusun Ngandong tampaknya memiliki tinggi antara 1,5 hingga 1,8 meter) serupa dengan spesies manusia purba dari Afrika dan tempat lain di Eurasia.

Temuan ini menggarisbawahi pergeseran teori selama beberapa dekade terakhir.

Khalayak dulu menganggap evolusi manusia sebagai suatu perkembangan, dengan garis lurus imajiner dari kera mengarah ke bentuk manusia modern.

Ini diwujudkan dalam ilustrasi yang disebut March of Progress di mana makhluk bungkuk perlahan-lahan berubah menjadi Homo sapiens , sebagai puncak evolusi.

Namun, belakangan ini, kita dapat melihat bahwa segalanya jauh lebih berantakan.

Studi terbaru menyoroti kebenaran yang mengejutkan: bahwa masa keberadaan dari spesies manusia purba saling tumpang tindih satu sama lain, dalam beberapa kasus selama ratusan ribu tahun.

Tetapi mengapa Homo erectus bertahan sangat lama di Jawa?

Di Afrika, spesies itu mungkin hilang 500.000 tahun yang lalu; di China menghilang sekitar 400.000 tahun yang lalu.

Russell Ciochon menduga Homo erectus mungkin tidak mampu berkompetisi dengan spesies manusia lain. Tetapi di Jawa, mereka mungkin berkembang karena terisolasi.

Namun, hasil penelitan menunjukkan fosil berasal dari periode ketika kondisi lingkungan di Jawa berubah.

Apa yang dulunya hutan terbuka berubah menjadi hutan hujan.

Ciochon berpikir ini bisa menandai titik pasti kepunahan Homo erectus di pulau itu.

 

Penampakan terakhir?

Ciochon menjelaskan, tidak ada Homo erectus yang ditemukan setelah masa ini. Bahkan ada masa tanpa aktivitas manusia sama sekali, sampai Homo sapiens muncul di Jawa sekitar 39.000 tahun lalu.

Prof Ciochon percaya H. erectus terlalu bergantung pada sabana terbuka dan tidak bisa beradaptasi dengan kehidupan di hutan hujan.

"Homo sapiens adalah satu-satunya spesies hominin yang hidup di hutan tropis," jelasnya.

"Saya pikir itu terjadi karena kemampuan Homo sapiens membuat alat-alat khusus."

"Begitu flora dan fauna hutan hujan ini menyebar ke seluruh Jawa, itulah akhir dari erectus ."

Tapi Chris Stringer menunjukkan ketidaksetujuan.

"Peneliti mengklaim bahwa ini adalah penampakan terakhir dari spesies H. erectus yang diketahui, bahwa ini menunjukkan tidak ada tumpang tindih antara spesies ini dengan Homo sapiens di Jawa, karena H. sapiens tiba jauh di kemudian hari," katanya.

"Saya tidak yakin tentang itu karena materi Homo erectus dari situs-situs lain di Jawa seperti Ngawi dan Sambungmacan, telah diberi penanggalan dengan baik, dan mungkin menunjukkan usia yang lebih muda. Fosil-fosil itu mungkin berkorelasi dengan usia fosil Ngandong tapi itu harus diselidiki lagi."

Ikuti Paul