Penentuan Tarif Cukai Produk Tembakau Alternatif Diharap Sesuai Risiko

Rokok elektrik.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Produk tembakau alternatif di Indonesia saat ini semakin berkembang. Hal itu pun membuat pemerintah akhirnya memutuskan untuk mengenakan instrumen cukai untuk memastikan pengendalian produk di pasar nasional bisa dilakukan demi kepentingan masyarakat. 

Arvindo Sebut Penerapan Kemasan Polos Bikin Rugi Industri Rokok Elektronik

Namun, Mantan Direktur Riset Kebijakan dan Kerja Sama Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tikki Pangestu menilai, produk tembakau alternatif di Indonesia diperlakukan tidak tepat. Sebab, pengaturan cukainya relatif lebih tinggi dari rokok. 

Saat ini, produk tembakau alternatif dikenakan tarif cukai tertinggi sesuai dengan Undang-undang Cukai yaitu sebesar 57 persen. Ia mengatakan, ketetapan cukai sebaiknya proporsional dengan risiko produk.

Kenaikan Tarif Cukai Picu Maraknya Rokok Ilegal, Menurut Kajian Akademisi

“Mengingat adanya pengurangan risiko sebesar 95 persen pada produk tembakau alternatif, seharusnya produk ini diatur sedemikian rupa agar mudah diakses oleh perokok dewasa. Yang sebagian besar berasal dari kelompok berpenghasilan rendah,” ujar Tikki dikutip dari keterangannya, Jumat 13 Desember 2019. 

Dia menjelaskan, Ketentuan harga jual produk tembakau alternatif diatur dalam peraturan tarif cukai hasil tembakau yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dalam aturan tersebut produk tembakau alternatif digolongkan dalam Hasil Pengolahan Tembakau Lainnya (HPTL).

Pelaku Industri Sambut Positif Batalnya Kenaikan Cukai Rokok di 2025

Jenis-jenis HPTL yang beredar di pasaran antara lain, rokok elektrik (vape), produk tembakau yang dipanaskan (Heated tobacco product), snus, nikotin tempel dan lainnya. 

Beberapa negara memanfaatkan HPTL sebagai salah satu solusi bagi perlindungan kesehatan. Hal ini dipicu oleh profil risiko produk ini yang lebih rendah dibandingkan rokok. 

Sebagai contoh, Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (US FDA) telah melakukan kajian selama dua tahun terhadap produk tembakau yang dipanaskan yang termasuk dalam kategori HPTL. Hasilnya, produk ini diizinkan untuk dipasarkan karena sejalan dengan upaya perlindungan kesehatan publik. 

Sementaara itu lanjutnya, Institut Federal Jerman untuk Penilaian Risiko (German Federal Institute for Risk Assessment/BfR) juga pernah mengkaji produk yang sama. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa produk tembakau yang dipanaskan memiliki tingkat toksisitas (tingkat merusak suatu sel) yang lebih rendah hingga 80-90 persen dibandingkan rokok. 

“Otoritas kesehatan di beberapa negara seperti Inggris dan Selandia Baru bahkan berperan aktif dalam mendukung dan mempromomosikan penggunaan produk tembakau alternatif untuk membantu mengurangi prevalensi merokok di negara mereka,” ujar Tikki. 

Untuk itu, di negara-negara tersebut, produk HPTL dikenakan cukai yang lebih rendah dibandingkan rokok sejalan dengan profil risikonya yang lebih rendah. Beban cukai yang lebih rendah juga diterapkan di Malaysia, Filipina, Jepang dan Korea Selatan.

“Dengan kebijakan yang proporsional perokok dewasa dapat beralih ke produk tembakau alternatif yang terbukti lebih baik,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Koalisi Indonesia Bebas TAR (KABAR) Ariyo Bimmo mengatakan, produk tembakau alternatif yang lebih rendah risiko seharusnya mendapatkan dukungan dari pemerintah. Khususnya melalui regulasi khusus yang berbeda dari rokok. 

“(Peraturan) yang ada sekarang ini belum cukup kuat mengatur produk tembakau alternatif. Produk ini perlu diperkuat dengan regulasi lainnya sehingga kehadiran produk ini semakin memberikan manfaat,” ujar Ariyo.

Terkait rencana kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) untuk HPTL, Ariyo berharap pemerintah mempertimbangkan kemampuan perokok dewasa untuk menjangkau produk tembakau alternatif dan potensi ekonomi melalui pertumbuhan UMKM dari kehadiran industri ini. 

“Dengan kondisi yang belum mapan, pelaku usaha ini malah akan menghindari membayar cukai. Kami berharap pemerintah membatalkan rencana kenaikan HJE HPTL karena dapat berdampak negatif bagi perokok dewasa, pelaku usaha, dan penerimaan negara," tutup Ariyo.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya