Logo DW

Seniman Indonesia Dialog dengan Warga Dresden Melalui Lelang Unik

DW/A. Gollmer
DW/A. Gollmer
Sumber :
  • dw

Lukisan sebesar 2,80 x 9 meter karya seniman Yogyakarta Uji Handoko eko Saputra atau yang akrab dipanggil Hahan menjadi salah satu atraksi utama di Hygiene Museum Dresden. Dalam lukisan yang dibuat dengan akrilik dan spray paint di atas kanvas ini, Hahan mengombinasikan potongan karya-karya Raden Saleh dengan pop art yang menjadi ciri khasnya. Elemen modern dan tradisional dari kota Dresden juga banyak ditemukan dalam karya Hahan.

Tetapi lukisan ini tidak berdiri lama di sini. Setelah dipajang selama tiga hari, lukisan ini akan dipotong-potong menjadi 600 bagian dan bisa dibawa pulang oleh para pengunjung dalam aksi lelang bernama “The Curious Deal”.

Alih-alih menggunakan uang seperti layaknya aksi penjualan karya seni, pengunjung harus membawa benda yang bisa dibarter dengan lukisan Hahan. Benda ini harus menjawab pertanyaan: apa yang dibutuhkan seorang seniman untuk (bertahan) hidup?

Hahan sudah berkali-kali memamerkan lukisan yang akhirnya dipotong-potong di berbagai kota dunia: Hong Kong, Sidney, London. “Dari proyek seperti ini, saya ingin karya seni bisa dikoleksi semua orang dan memposisikan semua penikmat seni di posisi yang sama. Tidak ada tamu istimewa, tidak ada yang harus didahulukan, semua sama,” ujar Hahan.

Mengembalikan multikulturalisme ke Dresden

Konsep inilah yang membuat kurator Michael Schindhelm tertarik mengundang Hahan ke Dresden. Ia dan timnya sedang menggalakkan kampanye untuk menjadikan Dresden sebagai Ibu Kota Kebudayaan Eropa 2025. Ini adalah gelar yang setiap tahunnya diberikan kepada kota-kota di Eropa, yang selama satu tahun akan memperoleh kesempatan untuk menunjukkan keanekaragaman budaya di kotanya. Kampanye di Dresden dinamakan “Neue Heimat”, yang berarti kampung halaman baru.

“Di satu sisi Dresden adalah salah satu kota budaya Eropa yang sangat penting sejak ratusan tahun. Tetapi saat ini Dresden sedang mengalami konflik politik dengan banyaknya orang di kota ini yang menolak multikulturalisme. Ini kontradiksi bagi perkembangan seni. Dresden kaya akan seni karena selalu berhubungan dengan dunia dan orang dari negara-negara dan budaya lain. Karena itu kami ingin berfokus kepada multikulturalisme dan pertukaran budaya dari negara dan benua lain,” tutur Michael Schindhelm.