Mengintip Manfaat Jalur Laut Selat Malaka Bagi Ekonomi Indonesia
- VIVAnews/Putra Nasution
VIVA – Guru Besar Universitas Sumatera Utara ata USU dan Guru Besar Universitas Indonesia akan menggelar pertemuan dalam seminar nasional dengan tema pembahasan 'Selat Malaka: Perspektif Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik.'
Seminar akan berlangsung di Ruang Sidang Senat Akademik Gedung Biro Pusat Administrasi USU lantai 3 Medan, Rabu 11 Desember 2019. Dengan menghadirkan Narasumber Hikmahanto Juwana (Guru Besar UI), Ediwarman (Guru Besar Fakultas Hukum USU), Sirojuzilam (Guru Besar Fakultas Ekonomi USU) dan Subhilhar (Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU).
Ketua Dewan Guru Besar USU, Gontar Alamsyah mengatakan seminar nasional Selat Malaka ini dilaksanakan dengan tujuan sebagai sumber informasi pengetahuan dan pengalaman dari berbagai pakar serta stakeholders, dalam rangka memanfaatkan peluang yang ada untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia.
"Sekaligus juga nantinya akan dibahas peluang, tantangan sekaligus ancaman yang ada. Peluang dan tantangan Selat Malaka akan dibahas dari perspektif Hubungan Internasional, hukum maritim, pembangunan ekonomi dan sosial politik," tutur Gontar kepada wartawan, Minggu 8 Desember 2019.
Gontar menjelaskan bahwa Selat Malaka dewasa ini telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sebagai salah satu jalur transportasi laut terpenting di dunia.
Selain itu, Keberadaannya tidak hanya bernilai strategis baik ekonomis maupun politik bagi negara pantai, yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura. Namun, juga bernilai strategis bagi negara-negara pengguna seperti China, Korea, Jepang, Filipina, Negara Timur Tengah, dan Negara lainnya.
"Selat Malaka melintasi tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Indonesia menjadi negara terpanjang yang dilintasi Selat Malaka, dan secara alamiah seharusnya menjadi negara yang paling banyak menerima manfaat dari jalur transportasi laut terpenting nomor dua di dunia," sebut Gontar.
Nyatanya, Gontar mengungkapkan Singapura dan Malaysia yang menjadi negara paling banyak menikmati manfaat sebagai pelabuhan samudera.
"Tempat bersandarnya kapal-kapal dagang (kontainer) serta kapal-kapal tanker raksasa yang membawa minyak mentah dari Timur Tengah ke Asia Timur (seperti China, Jepang, Korea, Taiwan, dan Samudera Pasifik) saat ini,” jelas Gontar.
Bahkan, lanjutnya, saat ini Singapura berkembang tidak hanya menjadi pelabuhan strategis, namun juga telah berkembang menjadi negara tempat pengolahan bahan-bahan mentah dari Australia, Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan negara-negara lainnya.
Dengan itu, ia mengatakan tidak mengherankan jika kemajuan-kemajuan ini kemudian mengantarkan Singapura berkembang pesat dengan angka GNP per kapita yang berbanding jauh dengan GNP per kapita negara-negara ASEAN lainnya.
“Indonesia sebagai negara yang berada di lintasan Selat Malaka harus dapat memperoleh manfaat yang lebih maksimal dari jalur transportasi laut terpenting nomor dua di dunia ini," jelas Gontar.
Melihat Peluang tersebut, Gontar menambahkan telah ditindaklanjuti negara Indonesia dengan mengembangkan dan meresmikan pelabuhan bertaraf Internasional di Kuala Tanjung, Kabupaten Batu Bara, Sumatera Utara, pada Agustus 2018.
"Maka dalam seminar nanti kita akan berdiskusi lebih jauh tentang strategi memaksimalkan peran Indonesia di kawasan ini, bersama para nara sumber yang kompeten dalam bidangnya,” kata Gontar.