Rahasia Kelam di Balik Rumah Tahanan para Imigran di Jepang
- dw
Namun harapan mereka untuk tetap bebas dengan cepat menjadi hancur. Banyak dari mereka harus kembali ke tahanan dalam waktu dua minggu kemudian. Yang lainnya mesti dengan teratur melapor ke polisi, namun mereka terus-menerus ketakutan akan bisa ditahan lagi sewaktu-waktu. Mereka juga tidak diizinkan bekerja.
"Menekan orang-orang yang menunggu deportasi yang berada di dalam tahanan dan memaksa mereka untuk menghentikan mogok makan adalah bentuk penyiksaan," ujar Takeshi Ohashi, pengacara yang mewakili beberapa dari mereka yang ditahan.
Dalam wawancara dengan DW, Asosiasi Pengacara Tokyo menyerukan diselenggarakannya diskusi tentang hak asasi manusia. Dalam konferensi pers pada tanggal 31 Oktober, anggota majelis Teruo Tojo menuntut agar dibatasinya jumlah deportasi yang tertunda. Sampai saat ini, pihak berwenang tidak berkewajiban memberikan alasan untuk melakukan penahanan atau pembebasan.
"Menahan orang asing tanpa dokumen selama bertahun-tahun adalah tidak masuk akal; itu melanggar hak pribadi," Kanae Doi dari Human Rights Watch Japan mengatakan kepada DW.
Talam tajuk rencananya, surat kabar Mainichi yang berhaluan liberal mempertanyakan apakah pemerintah Jepang bahkan sadar akan hak asasi manusia. Koran itu sebelumnya menggambarkan kondisi di pusat-pusat deportasi sebagai "rahasia kelam."
Dalam artikel yang sama, dikatakan sekitar 15 orang asing telah meninggal saat ditransfer atau setelah ditahan oleh otoritas imigrasi Jepang. Ini menjadi preseden buruk bagi Jepang yang memuji dirinya sendiri sebagai negara dengan berpikiran terbuka menjelang Olimpiade 2020 di Tokyo.