Perusahaan Korsel Ini Tambah Investasi di RI Jadi Rp60 Triliun
- Kemenperin
VIVA – Sesuai implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0, Kementerian Perindustrian tengah memprioritaskan pengembangan industri kimia di dalam negeri. Untuk itu, Kemenperin, di antaranya akan memacu investasi dari perusahaan skala global, agar bisa memperkuat struktur manufaktur di Indonesia sehingga sektor hulu hingga hilir terintegrasi.
“Lotte Chemical memastikan untuk menambah investasinya, sehingga akan menjadi US$4,3 miliar untuk pembangunan kompleks pabrik petrokimia di Indonesia. Mereka mau tambah investasi, meski pabriknya saat ini masih dalam proses pembangunan,” kata Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang Kartasasmita, dikutip dari keterangan tertulis, Rabu 20 November 2019.
Pada Selasa 19 November 2019, Menperin Agus bersama rombongan melakukan pertemuan dengan direksi Lotte Chemical di Seoul, Korea Selatan. Dengan tambahan investasinya, Lotte akan meningkatkan kapasitas produksi naphta cracker menjadi 3,5 juta ton per tahun dari rencana awalnya 2 juta ton per tahun.
Sebelumnya, korporasi raksasa asal Negeri Ginseng tersebut, telah membenamkan modalnya untuk membangun kompleks pabrik petrokimia di Cilegon, Banten sebesar US$3,5 miliar atau sekitar Rp53 triliun. Apabila tambahan investasi terealisasi, diproyeksi menjadi US$4,3 miliar atau sekitar Rp60,6 triliun.
Pabrik yang berdiri di atas lahan seluas 100 hektare, akan mengolah naphta cracker lebih bernilai tambah tinggi. Bahan baku tersebut bisa dihasilkan menjadi beberapa produk turunan, yakni ethylene, propylene, polypropylene, dan lainnya. Setelah resmi beroperasi, hasil produksi dari pabrik ini bakal digunakan untuk memenuhi permintaan domestik maupun global.
“Jadi, langkah tersebut, sesuai dengan arahan Bapak Presiden Joko Widodo untuk terus menggenjot investasi dan hilirisasi sektor industri,” ujar dia.
Upaya strategis tersebut diyakini meningkatkan perekonomian nasional secara fundamental, dengan penghematan devisa dari substitusi impor, dan akan pula dapat memperbaiki neraca perdagangan kita saat ini karena berorientasi ekspor.
Kemenperin mencatat, sepanjang periode Januari-Agustus 2019, nilai ekspor kelompok industri bahan kimia dan barang dari bahan kimia ini telah menyumbang hingga US$9 miliar. Melihat capaian tersebut, industri kimia dinilai memberikan kontribusi yang cukup signfikan bagi perekonomian nasional.
Maka itu, kerap kali industri kimia menjadi tolok ukur tingkat kemajuan bagi suatu negara, selain industri baja.
Agus menegaskan, pihaknya bertekad fokus mendorong tumbuhnya industri petrokimia di Indonesia. Sebab, industri petrokimia yang dikategorikan sebagai sektor induk (mother of industry) ini menghasilkan berbagai komoditas yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku oleh sektor manufaktur lainnya, seperti industri kemasan, tekstil, alat rumah tangga, hingga komponen otomotif dan produk elektronika.
“Berdasarkan karakteristiknya, industri petrokimia merupakan jenis sektor manufaktur yang padat modal, padat teknologi dan lahap energi sehingga perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk langkah pengembangan yang berkelanjutan,” tuturnya.
Guna mendongkrak produktivitas dan daya saing industri petrokimia nasional, perlu ditopang pasokan energi dengan harga yang kompetitif, seperti gas industri, karena menjadi vital sebagai bahan baku. Selain itu, dibutuhkan infrastruktur, antara lain jaringan transportasi dan pelabuhan, perlunya penguasaan riset dan pemanfaatan teknologi terkini, serta ketersediaan SDM kompeten sebagaimana telah ditetapkan dalam strategi implementasi Making Indonesia 4.0.
Dalam upaya memasok tenaga kerja yang kompeten, Kemenperin memfasilitasi pembanguan Politeknik Industri Kimia di Cilegon. Dalam proyek pembangunan infrastukturnya, diproyeksi PT Lotte Chemical Indonesia menyerap tenaga kerja langsung hingga 1.500 orang dan tenaga kerja tidak langsung mencapai 4.000 orang hingga 2023.
Pada pertemuannya dengan Menperin Agus di Seoul, Kepala Unit Bisnis Lotte Chemical Kim Kyo Hyun menyampaikan, keputusan untuk menambah investasi karena mengingat Indonesia masih membutuhkan cukup banyak produk-produk petrokimia sehingga menjadi substitusi impor.
“Jadi, kami membangun pabrik petrokimia itu untuk menggantikan barang-barang impor yang selama ini dilakukan supaya bisa diproduksi di dalam negeri,” tuturnya.