Gabungan Pengusaha Rokok Dukung Penolakan Rencana Revisi PP 109/2012

Ilustrasi Buruh Perusahaan Rokok.
Sumber :

VIVA – Gabungan Pengusaha Rokok atau Gapero Surabaya menegaskan, menolak rencana revisi Peraturan Pemerintah atau PP Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi kesehatan.

Pelaku Industri Sambut Positif Batalnya Kenaikan Cukai Rokok di 2025

Gapero mengaku tidak mendapatkan informasi secara resmi dari Kementerian Kesehatan sebagai pemrakarsa terkait proses revisi PP 109/2012.

“Jika usulan yang diajukan dalam revisi PP 109/2012 diterapkan, pasti kian mengancam keberlangsungan IHT (Industri Hasil Tembakau) Indonesia. Ini terjadi, karena tidak adanya keterbukaan dari Kemenkes sebagai perwakilan pemerintah yang tidak membuka pintu diskusi ataupun mempertimbangkan pandangan para pelaku industri,” ujar Ketua Umum Gapero Surabaya, Sulami Bahar, dikutip dari keterangannya, Jumat 15 November 2019.

Pemerintahan Prabowo Diharap Beri Kepastian soal Cukai Hasil Tembakau

Seperti kita ketahui, lanjut dia, beberapa tahun terakhir IHT mengalami penurunan signifikan, karena berbagai tekanan, termasuk kenaikan cukai yang sangat tinggi. Revisi PP 109/2012 akan memperburuk kondisi tersebut. Akibatnya, jutaan orang yang berada pada mata rantai industri ini terancam kehilangan mata pencaharian.

Sulami menambahkan, Gapero keberatan atas usulan revisi Kemenkes yang diungkap di media, seperti memperbesar Graphic Health Warning (GWH) dan pelarangan bahan tambahan yang dianggap oleh sebagian pihak dapat menjawab permasalahan tingkat prevalensi perokok.

Cukai Rokok 2025 Tidak Naik, Ekonom: Berdampak Positif ke Industri dan Penerimaan Negara

Gapero menilai, pengendalian perokok di bawah umur baiknya dengan cara berperan aktif dalam memberikan edukasi risiko rokok sekaligus pencegahan akses penjualan rokok kepada anak.

“Ini mestinya jadi perhatian pemerintah untuk bertindak. Yang terjadi saat ini, pemerintah, khususnya Kemenkes memojokkan dan menyalahkan industri dengan menetapkan peraturan-peraturan yang kian eksesif, namun tidak menyentuh permasalahan utama yang terjadi,” kata Sulami.

Menurut Sulami, IHT sepenuhnya terbuka dan bersedia mendukung pemerintah dalam pengendalian konsumsi rokok untuk menekan prevalensi konsumen di bawah umur.

“Industri tembakau adalah industri legal yang menjadi sumber mata pencaharian lebih dari 6,1 juta masyarakat Indonesia. Dengan kondisi yang semakin menurun, sudah semestinya pemerintah memberi perlindungan dalam hal kepastian usaha, dan tidak menetapkan berbagai peraturan eksesif yang selalu berubah-ubah yang tentunya juga berimpak negatif terhadap iklim investasi nasional sebagaimana yang selalu dipromosikan oleh presiden,” jelas Sulami.

Sebelumnya, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menolak rencana revisi PP Nomor 109/2012. Perihal yang diatur dalam PP 109/2012 saat ini, dinilai sudah cukup untuk mengendalikan konsumsi rokok di masyarakat.

Direktur Jenderal Industri Agro Kemenperin, Abdul Rochim menjelaskan, saat ini yang diperlukan adalah pengawasan dan penegakan hukum atas peraturan pemerintah tersebut.  

“Kemenperin memandang revisi PP Nomor 109/2012 belum diperlukan, karena sejak aturan tersebut diberlakukan produksi rokok turun dari 348 miliar batang pada tahun 2015 menjadi 332 miliar batang pada tahun 2018,“ kata Rochim di Jakarta.

Baca juga:

- Tolak Revisi PP 109/2012, Asosiasi Rokok Minta Perlindungan Presiden

- Rokok Masih Jadi Andalan Bea Cukai buat Kejar Penerimaan

Diskusi Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) 
 [dok. PPKE-FEB UB]

Kenaikan Tarif Cukai Picu Maraknya Rokok Ilegal, Menurut Kajian Akademisi

Hasil kajian PPKE-FEB UB menyatakan, setiap kenaikan tarif cukai mengakibatkan lonjakan persentase peredaran rokok ilegal.

img_title
VIVA.co.id
8 November 2024