Aturan Pembatasan Kemasan Produk Bisa Hantam Rantai Bisnis Ini
- ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya
VIVA – Pembatasan merek atau brand restriction dan kemasan polos menjadi sorotan sektor industri kemasan dunia saat ini, tak terkecuali di Indonesia. Pemangku kepentingan terkait industri tersebut di seluruh dunia cari solusi agar permasalah tersebut tak semakin menekan industri ke depannya.
Permasalah itu pun menjadi salah satu topik utama di acara Global Packaging Conference
yang bertajuk ‘Meet the Challenges of Packaging Today & Tomorrow’ awal November lalu di Bali. Acara itu merupakan kerja sama Indonesia Packaging Federation (IPF) dengan World Packaging Organization (WPO) dan dihadiri oleh lebih dari 150 peserta dari 24 negara di dunia.
Seperti diketahui kebijakan pembatasan merek dan kemasan polis telah diterapkan di beberapa negara seperti Australia, Inggris dan Chile ini, dan dikabarkan akan mulai diikuti oleh Indonesia.
Bagi pelaku usaha, penerapan pembatasan merek yang dilakukan pemerintah umumnya dimulai dari pengenaan pajak, dan secara bertahap diikuti dengan pembatasan penampilan kemasan serta kewajiban mencantumkan peringatan kesehatan pada kemasan.
Pada tahap lebih lanjut, seluruh produk yang dituju hanya dapat menampilkan kemasan polos tanpa desain, disertai nama merek dalam ukuran kecil sesuai ketentuan.
Ketua Federasi Pengemasan Indonesia (IPF) Henky Wibawa menyatakan, hal penting yang mestinya diperbaiki adalah soal pola pikir untuk mencari solusi yang efektif. Sehingga apa yang menjadi tujuan pemerintah dari kebijakan ini juga tidak memberatkan dunia usaha.
Sebab, menurutnya, konsumen berhak untuk mendapatkan produk terbaik dengan konten informasi yang tertera di dalam sebuah kemasan. Bahkan, pemanfaatan teknologi juga harus dilakukan demi memenuhi akses masyarakat ke transparansi informasi produk.
"Hal ini (pembatasan) bisa menjadi tantangan bagi keberlanjutan bisnis di (hampir semua) pelaku usaha. Kemasan merupakan sarana informasi bagi konsumen yang memang dirancang untuk menarik minat konsumen serta keunikan kemasan masing-masing,” ujar Hengky dikutip dari keterangannya, Rabu 13 November 2019.
Dalam proses produksi kemasan, tentu ada banyak pihak yang terlibat mulai dari proses pengembangan ide kreatif sampai dengan pembentukan pola kemasan yang atraktif. Rantai bisnis semacam ini akan terancam hilang apabila kebijakan kemasan polos diberlakukan karena pada akhirnya, setiap produk konsumsi akan memiliki standar bentuk kemasan sendiri.
“Kebijakan brand restriction dan plain packaging kami rasa akan memiliki dampak cukup
signifikan pada keberlanjutan bisnis (semua usaha). Karena bagaimana pun, setiap produk
punya keunikan tersendiri dan perlu disampaikan dengan baik oleh konsumen,” ujar Henky.
Sementara itu, Presiden WPO Pierre Pienar menyatakan, semua negara di dunia perlu mencari jalan keluar dalam memproduksi kemasan yang berkualitas. Baik dari segi kesehatan konsumen maupun ramah bagi lingkungan.
"Dengan terus beradaptasi dengan teknologi canggih dalam setiap tahapan produksi sehingga
mampu menghasilkan produk kemasan yang sehat dan ramah lingkungan," ungkap Pierre.
Lebih lanjut, Hengky juga mengungkapkan, dalam hal ini yang terpenting adalah informasi dan
edukasi sebagai solusi bagi permasalahan kemasan baik kesehatan maupun lingkungan. Untuk itu, selain pengembangan teknologi kemasan yang ramah lingkungan, kemasan yang atraktif dan informatif sangatlah dibutuhkan.
"Bukan larangan yang justru akan gagal diimplementasikan," ungkapnya.