Ekonomi Iran Merosot Tajam di Bawah Sanksi AS
- dw
Indikator ekonomi Iran yang baru saja dirilis oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia menunjukkan dampak sanksi terhadap negara yang ekonominya banyak digerakkan oleh bahan bakar minyak ini. Dalam laporan Outlook Ekonomi Dunia yang diterbitkan pada Oktober 2019, IMF mengatakan ekonomi Iran akan terkontraksi sebesar 9,5 persen tahun ini.
Angka ini menjadikan 2019 sebagai salah satu tahun terburuk bagi perekonomian Iran sejak 1984. Hanya ekonomi Libya (19 persen kontraksi dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB)) dan Venezuela (35 persen kontraksi PDB) yang diperkirakan berkinerja lebih buruk pada 2019.
Dalam laporan ekonomi terbaru tentang Iran yang diterbitkan pada 9 Oktober ini, Bank Dunia juga memprediksi hal serupa yaitu yaitu 8,7 persen kontraksi untuk ekonomi Iran pada 2019 karena "anjloknya" ekspor minyak dan gas, bersamaan dengan sanksi baru yang dikenakan pada sektor logam, pertambangan dan maritim Iran.
Bank Dunia mengatakan prediksi penurunan pertumbuhan ini berarti bahwa pada akhir 2019, ekonomi Iran akan menyusut sebesar 10 persen dibandingkan dua tahun lalu.
IMF dan Bank Dunia memang memperkirakan akan ada pertumbuhan antara 0 dan 0,5 persen pada 2020. Namun pertumbuhan ini dimulai dari basis yang jauh lebih kecil, dan bergantung kepada faktor apakah Iran akan mampu mengekspor 500.000 barel minyak setiap hari.
Setelah dicabutnya sanksi internasional pada tahun 2016 di bawah kesepakatan nuklir yang dikenal sebagai Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), ekonomi Iran bertumbuh lebih dari 13 persen, dengan pendapatan dari minyak pada tahun 2017 sebesar 57,4 miliar dolar AS (lebih dari Rp 800 triliun) akibat meningkatnya volume ekspor, demikian menurut IMF.
Namun pada Mei 2018, AS di bawah Presiden Donald Trump menarik diri dari kesepakatan itu, dan pada November 2018 sepenuhnya memberlakukan kembali sanksi unilateral yang menargetkan hampir setiap sektor ekonomi Iran.
Ancaman inflasi dan pengangguran