UU Anti-Hoax di Asia Tenggara Ciptakan Rezim Digital yang Otoriter
- dw
Tsunami UU Keamanan Siber yang baru disahkan oleh negara-negara di Asia Tenggara memperkuat cengkraman pemerintah atas internet dan membuka peluang bagi kriminalisasi aktivitas online yang dinilai "subversif." Singapura, Kamboja dan Vietnam termasuk yang getol membatasi kebebasan di internet.
Pemerintahan negara-negara itu berdalih regulasi yang diperketat dibutuhkan untuk menghadang penyebaran kabar palsu di media sosial. Kasus Cambridge Analytica yang memanipulasi informasi demi membantu kemenangan Presiden Donald Trump pada Pilpres Amerika Serikat 2016, dianggap sebagai pemicu.
Namun organisasi HAM di Asia Tenggara mewanti-wanti, UU tersebut rawan disalahgunakan.
Emile Pradichit, Direktur Manusha Foundation di Thailand misalnya mengatakan UU Keamanan Siber yang disahkan oleh parlemen di Bangkok dibuat "untuk mempertahankan kekuasaan dan kontrol pemerintah dengan memanipulasi informasi sesuai kepentingan mereka," kata dia.
Hal ini semakin menguatkan rapor merah demokrasi negara-negara Asia tenggara yang menurut Indeks Kebebasan 2018 oleh Freedom House, dikategorikan sebagai "separuh bebas" atau "tidak bebas."
"Hantu Abad ke-21"
UU Anti Hoaks yang mulai berlaku di Singapura sejak 2 Oktober lalu misalnya dinilai memberikan kekuasaan berlebih kepada pemerintah untuk mengawasi kebebasan berbicara di internet. Sementara Vietnam mengesahkan UU Keamanan Siber pada Januari lalu yang mengizinkan pemerintah mengawasi perusahaan teknologi, termasuk di antaranya ketaatan dalam menghapus konten di media sosial yang dianggap bermasalah oleh pemerintah.