Kasus Pinjaman Online Marak di Indonesia, Ternyata Ini Penyebabnya

Ilustrasi fintech.
Sumber :
  • The Guardian Nigeria

VIVA – Ketua Satgas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan atau SWI OJK, Tongam L. Tobing, membeberkan modus penyebab kerap terjadinya masalah dalam mekanisme pinjam meminjam dana secara online, yang melibatkan fintech peer-to-peer lending baik yang legal maupun ilegal.

Viral Istilah Pinjol Diganti Jadi Pindar, Apa Sih Bedanya?

Tongam mengaku, untuk mengatasi fintech peer-to-peer lending yang ilegal, pihaknya memang sangat kewalahan akibat segala kemudahan dan perkembangan teknologi informasi digital yang begitu pesat.

"Masalahnya adalah kemudahan orang untuk membuat aplikasi saat ini. Satu aplikasi kita blokir hari ini, besok muncul lagi ribuan yang baru lainnya. Jadi pemerintah tidak bisa mendeteksi ya," kata Tongam dalam diskusi di kawasan Wijaya, Jakarta Selatan, Rabu 16 Oktober 2019.

Duh! Pengaduan Pinjaman Online Ilegal Meningkat, Ada yang Tak Merasa Pinjam Tapi Malah Ditransfer Dana Pinjol

Tongam bahkan mengaku bahwa pihaknya telah mencoba memecahkan masalah ini dengan memanggil pihak Google, dan menemukan keresahan yang sama terkait hal tersebut.

Dia menceritakan, pihak Google hanya bisa membantu SWI OJK dengan membuat satu kriteria, di mana semua aplikasi pinjaman online yang masuk di Play Store harus mempunyai Payback Period minimum 60 hari.

Pinjol Bisa Jadi Bantuan atau Jebakan? Ini 10 Cara Bijak Menggunakannya

"Google sendiri tidak bisa melakukannya karena dalam satu hari bisa jutaan aplikasi baru. Apalagi itu semua open source, semua ditampung oleh Google," ujarnya.

Untuk itu, Tongam pun tak menyangkal bahwa salah satu masalah utamanya adalah kemajuan teknologi informasi yang begitu pesat, sehingga tidak mungkin suatu pihak bisa menghentikan masalah itu kecuali sudah terjadi.

Selain itu, salah satu penyebab lainnya adalah kecenderungan sebagian masyarakat Indonesia, yang terkesan menjadi seperti pemakan utang. 

Berdasarkan kasus-kasus yang ditemui pihak SWI OJK, Tongam melihat bahwa masih banyak sebagian masyarakat Indonesia yang berbelanja online namun tidak sesuai kebutuhan dan hanya mengikuti keinginannya.

"Lalu yang tidak boleh dilupakan adalah masalah literasi, di mana kita harus akui bahwa sebagian masyarakat kita belum cukup mendapatkan literasi mengenai fintech peer-to-peer lending, sehingga hal tersebut masih butuh ditingkatkan," ujarnya.

Diketahui, data pihak OJK mencatat hingga saat ini, ada sekitar 1.477 aplikasi fintech peer-to-peer lending ilegal. Sementara, jumlah fintech peer-to-peer lending yang legal dan sudah terdaftar di OJK saat ini diketahui hanya mencapai 127 aplikasi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya