Defisit Perdagangan Terjadi Lagi, Pengusaha Khawatir Daya Beli Turun
VIVA – Asosiasi Pengusaha Indonesia atau Apindo khawatir, defisit perdagangan yang terjadi pada September 2019, sebesar US$160 juta mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat dan industri mulai mengalami penurunan, seiring dengan turunnya tren perdagangan global.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis hari ini, Selasa 15 Oktober 2019, neraca perdagangan Indonesia pada September 2019, mengalami defisit karena kinerja ekspor hanya mencapai US$14,10 miliar, sedangkan impor mencapai US$14,26 miliar.
Ketua Umun Apindo, Haryadi Sukamdani mengatakan, secara umum laju impor memang sedikit lebih tinggi bila dibandingkan ekspor pada bulan itu. Tetapi, jika dibandingkan bulan sebelumnya kinerja keduanya sama-sama mengalami penurunan, terutama di sektor bahan baku dan barang modal yang merupakan kebutuhan industri.
"Poinnya adalah kalau impor turun secara keseluruhan, apalagi impor bahan bakunya, berarti memang ada pelambatan di pertumbuhan ekonomi dan yang kami khawatirkan adalah turunnya di daya beli," kata dia, Selasa.
Jika dibandingkan September 2018, memang terlihat bahwa nilai ekspor mengalami penurunan sebesar 5,74 persen, sedangkan impor turun 2,41 persen. Dari segi ekspor penurunan terbesar terjadi untuk barang minyak dan gas bumi sebesar 37,17 persen.
Sementara itu, untuk impor, penurunan terbesarnya memang terjadi untuk barang bahan baku dan penolong, yakni mencapai 5,91 persen, sebagaimana yang dikatakan Haryadi. tetapi impor untuk barang konsumsi masih naik 6,09 persen dan barang modal 8,91 persen.
"Kalau menurut saya, memang kami menduga adanya pelemahan dalam daya beli masyarakat, karena ekonomi kita selama ini dipacu didorong oleh konsumsi rumah tangga. Kalau konsumsi turun impaknya akan terjadi penurunan daya beli," tegas dia.
Haryadi menilai, kondisi itu disebabkan tidak optimalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini. Dikatakannya, pemerintah belum mampu menciptakan pemerataan ekonomi sehingga impor yang tercipta hanya tinggi di sektor-sektor yang bukan menjadi kebutuhan masyarakat
"Pandangan kami, pertumbuhan ekonomi kita kualitasnya tidak optimal. Dalam arti, yang menikmati pertumbuhan ini hanya kelas menengah atas, menengah bawah sebetulnya mereka dalam kondisi yang tertekan," tuturnya. (asp)