Logo BBC

Mohammed bin Salman: Modernisasi Arab Saudi dan Soal Kasus Khashoggi

Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman.-(Reuters)
Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman.-(Reuters)
Sumber :
  • bbc

Jauh di sudut sebelah barat laut Arab Saudi, di mana perairan Laut Merah yang nyaman membasahi pesisir Mesir, Yordania dan Israel, sebuah rencana sedang dijalankan untuk menciptakan sebuah kota besar abad ke-21.

Di lokasi di mana kini hanya ada pasir dan batuan hitam vulkanis yang tersapu angin, padang pasir di mana TE Lawrence dan pasukan Arab berperang melawan Turki dalam Perang Dunia I, rencananya akan dibangun proyek lintas batas senilai Rp7.000 triliun yang membentang seluas 26 ribu kilometer persegi.

NEOM dimaksudkan menjadi kota yang didominasi oleh drone, mobil tanpa pengemudi, asisten robot, kecerdasan buatan, rumah kaca bertenaga surya, " internet of things " dan bioteknologi.

Resminya, rencana itu akan berjalan pada tahun 2025. Namun sejumlah ekonom meragukannya.

"Tidak, hal itu tidak realistis," kata salah seorang di antaranya. "NEOM selalu menjadi fantasi dan ini menunjukkan jarak antara ambisi dan kenyataan yang menjadi ciri khas cara MBS memandang dunia."

Meski demikian, MBS sangat percaya diri dengan proyek tersebut, di mana saya diberitahu bahwa ia yakin NEOM akan menjadi rival Palo Alto, `rumah`nya teknologi di California.

Arab Saudi tidak memiliki rekam jejak yang bersinar terkait pembangunan kota-kota baru dengan tujuan pembangunan tertentu.

"Ambil contoh Kota Ekonomi Raja Abdullah," ungkap ekonom Teluk Arab lainnya, baru-baru ini. "Seharusnya ia akan disesaki dua juta orang tahun 2020 ini. Sekarang baru 8.000 orang. Maka itu, tidak. Ia mungkin tidak bisa mewujudkan impian ekonomi itu."


Progres pembangunan Kota Ekonomi Raja Abdullah dikatakan berakhir mengecewakan. - Getty Images

NEOM kemungkinan besar tetap akan dibangun, namun dalam kecepatan yang lebih lambat dari yang direncanakan. Terlalu banyak yang dipertaruhkan saat ini. Namun, tentang apakah kota itu akan bisa menarik investasi asing dan menghasilkan banyak lapangan pekerjaan, masih sangat diragukan.

Buntut kejadian

Pada September 2018, Boris Johnson menghabiskan tiga hari kunjungan ke Arab Saudi yang semua biayanya sudah ditanggung negara minyak itu. Seluruh biaya yang dihabiskan adalah Rp244 juta - semuanya diberitahukan kepada parlemen. Johnson tak tahu apa-apa tentang apa yang akan terjadi, tapi kunjungan itu adalah dua minggu sebelum peristiwa pembunuhan Jamal Khashoggi.

Sebelum kejadian itu, penangkapan banyak aktivis tidak banyak diberitakan di luar Arab Saudi, dan nilai MBS di mata para pemimpin dunia Barat sangatlah tinggi.

Setelahnya, kunjungan ke negara lain hampir tidak terpikirkan.

Sekarang, dunia Barat di mana MBS sempat diposisikan sebagai reformis visioner dan perintis untuk reformasi sosial, sebagian besar menjauhinya, setidaknya di depan umum.

"Pembunuhan Khashoggi mendorong Arab Saudi ke Klub Para Pembunuh," ujar seorang pengamat Teluk Arab, yang seperti lainnya, tidak bersedia disebutkan namanya. "Tampaknya mereka menempatkan MBS dalam kategori yang sama seperti Gaddafi, Saddam dan Assad. Ini adalah klub yang tak pernah `diikuti` dari Arab Saudi."

Secara pribadi, bisnis dengan Arab Saudi tetap berjalan - perekonomian Saudi terlanjur terlalu besar dan kontrak yang ada terlalu menguntungkan untuk diabaikan oleh bisnis dunia Barat. Presiden Trump pun tetap menjadi sekutu yang tabah.

Kongres AS telah mencoba - meski gagal - menghentikan penjualan senjata bernilai miliaran dolar ke Arab Saudi, namun Presiden Trump menolaknya, baik dengan alasan strategis maupun finansial.

Pasar Arab Saudi yang besar, ditambah dengan nilai strategisnya yang dianggap sebagai benteng perlawanan ekspansi Iran, bermakna bahwa kritik dari pemerintahan Barat kemungkinan akan selalu bisa dikendalikan. Namun, kutukan yang jelas diungkapkan dunia Barat atas kecacatan hak asasi manusia di Arab Saudi telah membuat mereka khawatir.

Pemerintah Saudi tengah mencoba untuk mengalihkan fokus. Perwakilan Saudi yang baru untuk Washington DC adalah Putri Reema binti Bandar al-Saud, duta besar perempuan pertama negara tersebut sekaligus seorang pengusaha wanita yang telah bertahun-tahun tinggal di AS.

Reema akan menjadi wajah diplomasi Arab Saudi di Amerika di mana para anggota kongres dan pihak lainnya tengah dengan serius mempertanyakan validitas kemitraan AS dan Saudi.

Meski demikian, Arab Saudi juga secara aktif menjajal hubungannya dengan partner strategis lainnya, seperti Rusia, China dan Pakistan, di mana tak satu pun mempertanyakan rekam jejak HAM mereka.

Selama 12 bulan terakhir, sejumlah pernyataan dan tuduhan yang memberatkan muncul ke permukaan - terutama dari pejabat intelijen AS dan pelapor khusus PBB Agnes Callamard - yang mengingatkan dunia bahwa kecurigaan Barat masih jatuh pada sosok MBS sebagai orang yang telah memerintahkan pembunuhan Khashoggi.

Callamard tetap berkeras bahwa ia lah yang harus bertanggung jawab pada akhirnya atas pembunuhan tersebut.

Namun di negerinya sendiri, popularitas MBS justru meningkat.

"Berbicaralah pada siapapun yang berusia antara 16-25," kata seorang pengamat di Teluk Arab, "maka mereka akan menganggapnya sebagai seorang pahlawan. Mereka menyukai perubahan sosio-kultural yang diciptakannya, menekan kekuasaan para fundamentalis agama."

Tak banyak pertanda baik kalau di bawah kekuasaan MBS, Arab Saudi akan mengambil langkah nyata menuju demokrasi. Semua pertanyaan publik, apalagi kritik, terhadap keluarga penguasa dan kebijakan yang mereka bawa berisiko hukuman penjara.

Selama bertahun-tahun, MBS telah menikmati dukungan sang ayah, Raja Salman, dan tak ada penantang yang tampak akan menggulingkannya.

Di dalam lingkaran Kerajaan MBS, ada pandangan bahwa `badai` di dunia Barat terkait dugaan perannya dalam pembunuhan Khashoggi pada akhirnya akan mereda. Mereka mungkin benar.

Dalam banyak hal, MBS adalah Arab Saudi. Ia bukan seorang demokrat, ia bukan tokoh reformasi politik - bagi banyak orang, ia hanyalah seorang diktator.

Namun tanpa diragukan lagi, MBS adalah sosok yang memodernisasi kondisi perekonomian dan sosial Arab Saudi. Dan pada usia 34 tahun, ia tahu bahwa ketika sang raja wafat, maka ia akan menerima tampuk kekuasaan negara terbesar di Timur Tengah, bukan hanya untuk satu dekade, melainkan untuk 50 tahun ke depan.