Logo DW

Jerman Kewalahan Tanggulangi Pernikahan Anak

Imago/C. Ditsch
Imago/C. Ditsch
Sumber :
  • dw

Meski sudah dilarang sejak dua tahun lalu, pernikahan anak tetap menyubur di Jerman, menurut studi organisasi perempuan Terre des Femmes. Dalam banyak kasus, pernikahan anak dianggap tradisi yang lumrah dilakukan.

Sejak Juli 2017 Undang-undang Anti Pernikahan Anak di Jerman menetapkan batas usia menjadi 18 tahun. Regulasi ini juga berlaku surut, sehingga memberikan kewenangan bagi pengadilan untuk membatalkan pernikahan anak di luar negeri dan pada masa yang telah lewat.

Artinya jika pengantin pria atau perempuan berusia 16 dan 17 tahun pada saat ijab kabul, maka pernikahan mereka secara otomatis dibatalkan.

Meski demikian UU Anti Pernikahan Anak tetap dianggap tak bertaji. Kesimpulan itu tercantum dalam studi yang dibuat organisasi perempuan Terre des Femmes. Dari 813 kasus pernikahan anak yang terdaftar di Jerman sejak UU berlaku, hanya 10 pernikahan yang dibatalkan.

Monika Michell dari Terre des Femmes awalnya mengaku kesulitan mengumpulkan data satistik tersebut. Masalah berakar pada struktur di negara bagian yang tidak memiliki lembaga tertentu yang mengurus masalah pernikahan anak. Kewenangan itu disebar di berbagai kota dan daerah.

"Sebab itu mereka tidak bisa mengumpulkan semua data tersebut," kata Michel yang meyakini jumlah kasus pernikahan anak di Jerman jauh lebih tinggi. "Asumsi kami adalah bahwa pernikahan anak terjadi di Jerman setiap pekan."

Data statistik yang dihimpun Terre des Femmes juga menyimpulkan penegakan hukum dilakukan secara berbeda di setiap negara bagian. Ketika sebagian menempatkan otoritas pembatalan pernikahan anak pada satu lembaga, di negara bagian lain kewenangan tersebut dibagi ke beberapa lembaga sekaligus.

Jikapun ada kantor pemerintah yang bisa membantu perempuan muda keluar dari jerat pernikahan, tidak ada kejelasan siapa yang bertanggungjawab atas kasus-kasus tertentu. Sebagai perbandingan, Berlin hanya mencatat tiga kasus pernikahan anak sejak UU tersebut berlaku, sementara negara bagian Bayern menghimpun 367 kasus pada waktu yang sama.

Michell mengatakan sulit menyelidiki masalah pernikahan anak lantaran jarang ada korban yang bersedia muncul ke permukaan. "Mereka sering melihat model pernikahan seperti itu sebagai bukan pemaksaan, karena mereka tidak mengenal model pernikahan lain."

"Kebanyakan perempuan yang menjadi korban pemaksaan lahir dan besar di dalam situasi di mana hal seperti ini merupakan sesuatu yang lumrah, atau mereka justru melihat pernikahan anak dibuat untuk melindungi mereka," kata Michell.

Dia mengkhawatirkan konsekuensi pernikahan anak yang bisa berakibat buruk pada korban. "Kemungkinan kehamilan dini jadi sangat besar. Dan para korban berisiko meninggalkan bangku sekolah yang bisa membunuh perspektif jangka panjang buat mereka," imbuhnya.

Michell mengakui pemerintah Jerman sudah menciptakan pondasi yang baik untuk mengentaskan fenomena pernikahan anak. Namun minimnya transparansi dan rumitnya birokrasi membuat tumpul UU Anti Pernikahan Anak yang baru.

"Kita tidak bisa kehilangan waktu. Mereka yang berada di bawah umur akan menjadi dewasa juga pada akhirnya," kata dia ihwal lambatnya proses pembatalan pernikahan anak.

Menurutnya kebebasan berpergian di Uni Eropa juga menjadi hambatan lain pembatalan pernikahan anak." Jika suami mendapatkan kerja di Jerman, dia berhak berpergian sesuka hati. Tapi jika pernikahannya dibatalkan, maka isterinya juga akan kehilangan izin tinggal lantaran tidak memiliki pendapatan tetap."

Dalam kasus tersebut pemerintah Jerman memberlakukan pengecualian dan mengizinkan pernikahan tetap berlanjut untuk melindungi pihak perempuan. (rzn/vlz)