Demi Memicu Investasi, Aturan Limbah Smelter Akan Direvisi
- ANTARA FOTO/Rizky Andrianto
VIVA – Pemerintah berencana untuk merombak Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Tujuannya supaya slag atau limbah tambang hasil olahan smelter bisa dimanfaatkan sebagai barang bernilai tambah tinggi, tidak lagi dikategorikan sebagai B3.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, Harjanto, mengatakan, revisi aturan untuk mendorong supaya slag bisa dimanfaatkan tersebut, saat ini memang sangat dibutuhkan. Dikarenakan akan memicu arus investasi asing.
"Sepanjang itu produknya bisa diterima standar lingkungan dan sebagainya, ya tentunya ini harus bisa disimplifikasilah aturan-aturan yang ada. Sehingga itu enggak menjadi beban daripada industri-industri itu sendiri," kata Harjanto di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat, 13 September 2019.
Selama ini, slag memang tidak dimanfaatkan dan hanya ditumpuk, karena dianggap sebagai limbah B3 berdasarkan PP 101/2014. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, setiap tahunnya slag menumpuk 20 juta ton dan karena tidak bisa dimanfaatkan. Pada 2021 slag diperkirakan menumpuk menjadi 35 juta ton per tahun.
"Jadi kan kita pengin industri kita maju, nilai tambah dibangun dalam negeri, investasi masuk sehingga untuk ke sana kita kan harus berkaca kepada ketentuan-ketentuan standar internasional. Kan ada Brussels Convention, yang bisa kita pakai sebagai norma internasional, dan kita akan melihat PP-nya atau Permen LH-nya ke depan," tutur dia.
Sementara itu, Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Yunus Saefulhak, mengatakan, slag yang saat ini dikategorikan sebagai B3 memang bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengeras di bidang infrastruktur, seperti pengeras jalanan hingga batako.
"Kemungkinan bisa dikaji ke situ sebagai reklamasi," kata dia.