Simplifikasi Cukai Dinilai Picu Monopoli Industri Rokok Nasional

Ilustrasi merokok.
Sumber :
  • Pixabay/karosieben

VIVA – Kalangan pelaku industri rokok yang tergabung dalam Gabungan Pabrik Rokok atau Gapero menilai, simplifikasi cukai menggiring industri rokok di Tanah Air dikuasai oleh satu kelompok industri rokok besar yang bermodal kuat. 

Pelaku Industri Sambut Positif Batalnya Kenaikan Cukai Rokok di 2025

Ketua Gabungan Pabrik Rokok (Gapero) Surabaya, Sulami Bahar, mengatakan, kebijakan itu dalam jangka panjang, justru akan menciptakan monopoli industri rokok di dalam negeri.

“Karena itu, wacana penerapan simplifikasi penarikan cukai harusnya kembali ditolak Presiden dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),” kata Sulami dikutip dari keterangannya, Rabu 4 September 2019. 
 
Dia menegaskan, jika simplifikasi rokok jadi diterapkan, cepat atau lambat akan mematikan pabrik-pabrik rokok skala menengah dan kecil. Akhirnya, pabrikan rokok besar yang memiliki modal yang sangat kuat akan menguasai industri rokok di Tanah Air, yang kemudian mengakibatkan terjadinya monopoli. 

Pemerintahan Prabowo Diharap Beri Kepastian soal Cukai Hasil Tembakau

Selain itu, lanjutnya, bukan hanya akan merugikan dan mematikan industri rokok rakyat dan menutup ribuan kesempatan kerja, kebijakan ini juga bisa mematikan ekonomi rakyat sekaligus merugikan perekonomian daerah setempat. Hal ini akan mengakibatkan kondisi ekonomi yang sudah sulit saat ini akan semakin sulit.

Dia pun membantah anggapan aturan yang ada saat ini menjadikan penerimaan cukai negara tidak optimal. Sebab, belum optimalnya penarikan cukai disebabkan karena pada 2019 baru menginjakkan pada awal semester dua. Gapero yakin, target cukai pemerintah khususnya di bidang rokok sebesar Rp172 triliun akan tercapai.

Cukai Rokok 2025 Tidak Naik, Ekonom: Berdampak Positif ke Industri dan Penerimaan Negara

Sulami menegaskan, simplifikasi penarikan cukai merugikan mayoritas atau 70 persen dari 400 pabrikan industri rokok di Tanah Air. Mayoritas pabrik rokok yang sebagian besar berskala kecil dan menengah justru menolak pemberlakuan simplifikasi penarikan cukai. 

“Dampak dari simplifikasi sangat membahayakan industri rokok terutama industri rokok kecil," tuturnya. 

Simplifikasi cukai adalah penyederhanaan penarikan cukai rokok. Yang semula terdiri atas 10 layer penarikan cukai, dibuat menjadi 5 layer. Yang semula terdapat golongan IA dan IB, digabung menjadi golongan I. 

Dengan aturan itu, otomatis, yang semula produsen rokok yang berada di golongan I B membayar cukai rokok IB ditarik menjadi golongan I dan membayar golongan I. Otomatis bayar cukainya lebih tinggi. Demikian juga dengan golongan III ditarik menjadi golongan II. 

Otomatis perusahaan rokok kecil yang semula membayar cukai di golongan III dipaksa ditarik ke atas, membayar cukai golongan II yang lebih tinggi. Hal ini memberatkan pelaku usaha rakyat yang pabrikan kecil, karena diharuskan membayar cukai dua kali lebih tinggi.

“Justru kondisi saat ini lah yang mencerminkan keadilan," ujarnya. 

Dia pun menepis adanya anggapan bahwa jika simplifikasi dilakukan akan mampu mengendalikan peredaran dan pengendalian konsumsi rokok. Menurut Sulami, yang terjadi justru kondisi sebaliknya. 

Sebab, jika simplifikasi jadi dilaksanakan, pabrik-pabrik rokok pada mati. Hal ini akan dimanfaatkan rokok-rokok ilegal baik produk lokal maupun impor yang sulit dikendalikan. Akibatnya konsumsi rokok pun menjadi sulit dikendalikan.

Diskusi Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (PPKE-FEB UB) 
 [dok. PPKE-FEB UB]

Kenaikan Tarif Cukai Picu Maraknya Rokok Ilegal, Menurut Kajian Akademisi

Hasil kajian PPKE-FEB UB menyatakan, setiap kenaikan tarif cukai mengakibatkan lonjakan persentase peredaran rokok ilegal.

img_title
VIVA.co.id
8 November 2024