Mete Indonesia Berpotensi Kuasai Pasar Global, Begini Penjelasannya

Jambu Mete.
Sumber :
  • Dokumentasi Kementerian Pertanian.

VIVA – Ekspor komoditas perkebunan Indonesia terus mengalami peningkatan saat ini. Salah satunya, ekspor mete yang pada semester I-2029 tercatat sebesar US$51,6 juta, naik dari periode sama 2019 yang sebesar US$13,3 juta. 

BI: Surplus Neraca Perdagangan Topang Ketahanan Eksternal Perekonomian

Dari sisi volume, peningkatannya terjadi sebesar 74,8 persen yaitu dari 9,4 ribu ton pada semester I-2018 menjadi 16,4 ribu ton pada periode yang sama 2019. 

Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, Kasdi Subagyono menjabarkan, 55 persen ekspor mete Indonesia dengan tujuan Vietnam atau sebanyak 9 ribu ton. Lalu, India sebanyak 2,3 ribu ton dan Amerika Serikat 1,9 ribu ton.

Bursa Asia Kokoh Terkerek Penguatan Wall Street, Investor Pantau Laporan Perdagangan China dan India

Menurutnya, produksi mete Indonesia pada 2018, sekitar 99,8 persen yang merupakan perkebunan rakyat, tercatat sebanyak 136,4 ribu ton dengan produktivitas mencapai 434 kilogram per hektare. Dari produksi tersebut, 42,8 persen dilakukan ekspor, sedangkan sisanya untuk konsumsi dalam negeri. 

Sementara itu, sentra produksi mete Indonesia berada di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 49,9 ribu ton, Sulawesi Tenggara 25,5 ribu ton, Jawa Timur 15,3 ribu ton, Sulawesi Selatan 13,2 ribu ton, Jawa Tengah 10,8 ribu ton, dan NTB sebanyak 10,3 ribu ton. 

Bursa Asia Loyo Sejalan Penurunan Indeks Saham Utama di Wall Street

Meningkatnya pertumbuhan konsumsi mete dunia, lanjutnya, didominasi untuk bahan baku industri makanan. Hal itu menjadi peluang mete Indonesia untuk mengisi pasar-pasar negara industri tersebut, sehingga harus ada upaya signifikan untuk meningkatkan produksi, produktivitas, dan mutu. 

"Mete gelondongan Indonesia diterima dengan baik di pasar internasional yang memiliki kualitas yang baik walaupun tingkat produksinya masih di posisi ke-10 dunia setelah Vietnam, India, Pantai Gading, Filipina, Tanzania, Guinea Bissau, Bennin, Mozambik, dan Brasil,” kata Kasdi dikutip dari keterangannya, Jakarta, Jumat 23 Agustus 2019.

Kasdi menambahkan, pihaknya akan terus melakukan upaya agar produk mete yang diekspor tidak berupa gelondongan lagi. Tetapi sudah melalui proses pengolahan yang baik menghasilkan produk turunan dengan nilai tambah tinggi.

Saat ini, harga gelondongan mete tingkat produsen atau petani rata-rata 2019 sebesar Rp17.225 per kg. Nilai tersebut akan meningkat 12-20 kali lipat jika dijual dalam bentuk olahan lainnya seperti (Cashew Nut Shell Liquid/CNSL) CNSL.

Dalam upaya pengembangan produk mete dan olahan lainnya untuk tujuan ekspor, saat ini minyak kulit biji mete atau CNSL cukup prospektif dikembangkan sebagai bahan perekat furnitur. Di India, minyak ini banyak untuk bahan perekat, karena mengandung senyawa kardanol yang tinggi (20-30 persen) yang potensial sebagai pengganti fenol dari minyak bumi, selain itu memiliki harga yang tinggi di pasaran. 

Selain itu, CNSL dimanfaatkan sebagai bahan pestisida nabati, industri cat, bahan antikarat, lecquer, bahan pembungkus kabel, bahan oli rem mobil dan pesawat terbang, pembuatan kampas rem kendaraan bermotor serta sebagai bahan bakar (yang renewable).

Menurutnya, salah satu upaya yang dilakukan antara lain fasilitasi penyediaan alat pascapanen dan pengolahan serta melakukan pelatihan dan advokasi ke petani. Tentang, pentingnya menghasilkan produk turunan dengan kualitas dan kuantitas yang baik sehingga bernilai tambah tinggi. 

Selain itu, terkait jaminan produksi. Saat ini memang kendala pengembangan mete Indonesia adalah rendahnya produktivitas karena banyaknya tanaman tua, sehingga perlu dilakukan peremajaan tanaman. 

"Melalui program BUN-500, upaya dari penyediaan benih yang unggul diharapkan dapat berkontribusi dalam program peremajaan tanaman selain dari pemenuhan sarana produksi lainnya,” katanya.

Dia berharap, upaya-upaya yang dilakukan didukung dengan peran dari perindustrian dalam mendorong fasilitasi pengembangan usaha skala rumah tangga, kecil, dan menengah. Karena pekebun mete sebagian besar merupakan perkebunan rakyat dengan skala usaha yang golongan pendapatan menengah ke bawah sehingga pemerintah harus hadir.

Selain melalui penyediaan input produksi dan alat pascapanen, pengolahan, standardisasi kualitas juga bagaimana penguatan kelembagaan petani, kemitraan dan jaminan pasarnya. 

“Perlu juga didorong memperluas akses pasar salah satunya berkontribusi melalui pameran produk mete di dalam dan luar negeri sebagai sarana promosi,” tambahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya