Informasi Itu Kebutuhan, Hak Dasar Manusia
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Tumbangnya Orde Baru membuka peluang besar. Salah satu tuntutan reformasi, yang menyertai tumbangnya era Soeharto dan keluarga, adalah transparansi informasi. Gede Narayana Sunarkha, Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP), menceritakan banyak hal terkait soal keterbukaan informasi. Tentang masyarakat yang sepertinya masih tak paham hak mereka soal keterbukaan informasi, lalu ada lagi masyarakat yang setelah kasusnya diputus malah seperti tak peduli dan tak menanyakan, apakah putusan yang sudah mereka terima akan segera dieksekusi.
Gede memaklumi publik yang menurutnya masih gagap dengan keterbukaan informasi. Sebab, sekian puluh tahun publik negeri ini menjalani proses dengan informasi yang tertutup, dan ketika dibuka keran untuk membuka dan mendapatkan hak mereka untuk memperoleh informasi, ternyata bukan hanya lembaga publik yang kaget dan tak siap, namun publik juga merasakan kegugupan yang sama. Itu sebabnya pengesahan UU mengenai Keterbukaan Informasi memerlukan waktu sekitar 10 tahun. Tapi sebagai sebuah alas untuk terbentuknya tata kelola pemerintahan yang baik, maka keterbukaan informasi menurut Gde hanya tinggal menunggu waktu. Jika publik sudah siap, maka Komisi Informasi Pusat, lembaga yang ia pimpin akan segera sejajar di mata publik dengan KPK, Bawaslu, KPU, dan lembaga publik lain yang sudah lebih dulu berkibar.
Gede Narayana mengawali karirnya sebagai aktivis demokrasi. Sebelum menjabat Ketua KIP DKI Jakarta peride 2016-2020, putra kelahiran Bali ini tercatat sebagai Komisioner Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta Pusat. Gede Narayana lolos sebagai Komisioner KIP dari unsur masyarakat. Ia disahkan oleh DPR RI pada 26 September 2017 bersama enam komisioner lainnya, yaitu Hendra Alias Hendra J Kede (unsur masyarakat), Arif Adi Kuswardono (unsur masyarakat), Cecep Suryadi (unsur masyarakat), Wafa Patria Umma (unsur masyarakat), Romanus Ndau (unsur masyarakat), dan Tulus Subardjono (unsur pemerintah).
Kepada VIVA yang mengajaknya berbincang, Gede menceritakan berbagai hambatan, kemajuan, dan hal yang ia rasakan selama menjalankan tugas memimpin KIP. Di sebuah kafe di wilayah Cikini, Jakarta Pusat, Gede bercerita, dan menjawab pertanyaan VIVA soal keterbukaan informasi publik. Berikut petikannya:
UU Nomor 14 tahun 2008 tentang KIP itu kan sudah lama diundangkan, sebagai Komisioner KIP bagaimana Anda melihat implementasi undang-undang tersebut sejauh ini?
Kalau kita lihat dari sisi sejarah berdirinya lembaga KIP ini, saya mengadopsi istilah pakar hukum tata negara, yaitu konstitusi. Konstitusi adalah resultante dari pemenangnya itu sendiri. Konstitusi yang dimaksud sekarang adalah konstitusi pada saat reformasi. Reformasi lah yang menghasilkan konstitusi hari ini. Apa yang didengungkan oleh reformasi ketika itu, ini akan menjawab pertanyaan Anda itu. Reformasi itu adalah apa yang menjadi tagline atau menjadi tuntutan atas keterbukaan informasi. Tuntutan reformasi itu kan ada beberapa ya, tentang Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), tentang good governance, dan sebagainya. Tahun 1998-1999 reformasi, baru tahun 2008 disahkannya undang-undang KIP ini. Sebenarnya, dari situ saja sudah menimbulkan pertanyaan besar. Ada jarak yang sangat jauh, padahal tuntutan reformasi itu lahir ada di dalam undang-undang KIP. Dari dulu kan kita selalu bilang tentang pemberantasan KKN, bagaimana menciptakan good governance, dan sebagainya. Tapi kenapa undang-undang keterbukaan informasi publik itu baru diketuk tahun 2008?
Kenapa pengesahan UU itu begitu lama?
Nah, jadi memang ada satu masa di masa lalu, di mana frame itu tertutup. Tapi ketika ada reformasi semua menjadi terbuka. Nah, loncatan yang jauh itu lah yang menjadikan masyarakat ‘shock culture.' Kaget budaya begitu. Kenapa demikian? Karena kalau kita bicara good governance itu kan adanya di badan publik, atau di pusat-pusat pemerintahan. Dulu kan tertutup sekali itu semua. Kalau masyarakat meminta sesuatu (informasi) pada Masa Orba, ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama kita dihilangkan, atau kedua, pertanyaan masyarakat akan dijawab dengan jawaban “itu rahasia negara.” Itu situasi di masa Orde Baru kan. Ibaratnya, masa mau nanya berapa harga kopi aja jawabannya itu rahasia negara sih.
Jadi sebenarnya alam saat ini sebenarnya sudah sangat mendukung terjadinya good governance, alam saat ini telah membawa yang namanya keterbukaan informasi, transparansi, akuntabilitas. Dan di era sekarang itu menjadi suatu keharusan. Ini kalau kita bicara konteks ideologi. Sekarang kita lihat, bahwa didalam konteks ideologi besar di dunia ini, setelah the wind of change (judul lagu Scorpion), tembok Berlin runtuh, menghasilkan dua mazhab. Negara yang menganut mazhab demokrasi, dan negara yang menganut tidak ada demokrasi tapi ekonominya meningkat. Contoh negara yang mengambil mazhab demokrasi ya kita, juga Amerika. Sementara mazhab ekonomi yang penting kesejahteraan rakyatnya meningkat itu tidak peduli apakah mau tertutup, mau terbuka, masa bodoh, itu seperti yang dilakukan China dan kawan-kawan. Nah, dua mazhab itu yang selalu berbenturan.
Jadi apa yang diharapkan publik dalam hal transparansi informasi?
Pada saat undang-undang ini dilahirkan, undang-undang ini kan memiliki filosofi. Filosofinya apa? Bahwa informasi adalah suatu kebutuhan, suatu hak asasi manusia. Itu landasan pertamanya. Landasan kedua adalah, negara kita menganut mazhab demokrasi. Di dalam mengambil mazhab demokrasi, maka informasi menjadi suatu keharusan. Harus transparan.
Alasan ketiganya itu tadi, tuntutan reformasi, menciptakan good governance. Good governance kan tata kelola penyelenggara negara yang baik, ini yang ketiga. Yang keempat, terciptanya masyarakat yang transparan. Dari empat alasan itu, itulah lahir Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 tahun 2008. Kalau kita lihat lebih jauh, dari keempat landasan filosifis itu, kemudian kita masuk ke batang tubuh atau pasal-pasal dan ayat-ayat. Dan memang kalau kita bicara hak asasi manusia, transparansi, good governance, itu semua bukan barang yang mudah, itu barang yang susah.
Kenapa demikian?
Karena seperti yang tadi saya sampaikan, kita terbiasa tertutup kemudian langsung masuk ke masa keterbukaan seperti sekarang. Misalnya kalau saya dulu terbiasa bagun pagi kemudian langsung disuguhkan kopi dan roti, dan itu dibayar dengan menggunakan uang negara, dan masyarakat tidak tahu. Ini "bahasa-bahasa lapangan" ya. Nah, sekarang itu harus diketahui masyarakat. Malu dong saya menikmati kopi dan roti di pagi hari menggunakan uang negara. Nah, seperti ini tidak siap saya, yang harusnya terbuka, saya tutupi itu. Nah di situ lah, muncul tarik-menarik hingga sekian lamanya. Masa reformasi tahun 98-99, tapi Undang-undang itu baru jadi tahun 2008.
Apa dampak UU yang terlalu lama itu bagi Komisi Informasi?
Jelas kelembagaan Komisi Informasi mengalami dampak, seperti ada dan tiada lah istilahnya.Pada tahun pertama, senior-senior kami telah berusaha membuktikan di era pertama itu lembaga ini berjalan dengan baik. Kemudian masuk ke fase kedua, kita mengalami fase stagnasi. Periodeisasi kita empat tahun kan, apalah arti empat tahun untuk perjalanan sebuah lembaga. Di sisi lain, kita harus lakukan good governance, masyarakat informasi ini adalah barang baru bagi masyarakat Indonesia. Berbeda dengan (lembaga) Pemilu, berbeda dengan lembaga (anti) korupsi. Korupsi tidak disosialisasikan, ada atau tidak ada orang yang di OTT, KPK pasti ngetop dengan sendirinya. Pasti menjadi sorotan masyarakat, sorotan media. Bedanya di sini KIP dengan meeka. Nah, jadi harus ada suatu pergerakan yang progresif dari kelembagaan komisi informasi di republik ini untuk menunjukan eksistensinya.
Bagaimana dengan kondisi internal lembaga?
Saat ini tidak ada kendala, tapi ke depan program itu kan harus juga menguatkan. Kalau ada kendala di internal, ini tentu menghambat. Artinya gini, tidak ada kendala aja kita susah, apalagi kalau ada kendala, kan gitu. Itu faktanya, dan publik pun tahu itu. Oke lah kita lupakan masa lalu, kita fikirkan bagaimana kedepannya lembaga ini. Artinya perkembangan komisi informasi dari tahun 2010 yaa, undang-undangnya kan tahun 2008, tapi dibentuknya KI Pusat itu kan 2009, setelah itu baru berjalan, terus berjenjang. Berarti sekarang itu kurang lebih 9 tahun. Nah saya balik bertanya, kalau anak usia 10 tahun kelas berapa dia di sekolah? Kelas 5. Anak kelas 5 itu kira-kira bisa tidak dia belajar bahasa Inggris, belajar rumus-rumus fisika, dsb? Tidak. Artinya, apa yang bisa dilakukan anak usia 10 tahun sih? Itu dalil alam lho. Oke lah itu kita kesampingkan, dengan dalil kebutuhan informasi. Keterbukaan Informasi ini kan seperti yang tadi saya katakan, ini kan barang baru. Sebelumnya kan masa tertutup.
Jadi publik juga masih belum siap dengan keterbukaan informasi?
Iya. Orang juga masih gagap dengan keterbukaan informasi itu sendiri. Makanya saya katakan masyarakat kita saat ini mengalami shock culture dengan masa keterbukaan informasi saat ini. Jadi saya selaku Ketua Komisi Informasi Pusat, suka atau tidak suka harus mengakui bahwa ada hambatan pada sisi itu, sehingga perkembangan lapangan ke publik memang terjadi stagnasi. Oleh karena itu pada era sekarang ini, pada fase kami, akan mendongkrak itu semua. Kami akan melakukan berbagai upaya, untuk berkiprah,untuk hadir di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bicara soal 10 tahun, sudah sejauh mana atau kira-kira berapa persen realisasinya dari target lembaga anda?
Kalau kita bicara target tentu yang harus dilihat adalah parameter. Apa parameter yang dipakai pada era sekarang? Kalau bicara target kita itu kan ada RPJMN, SDGS. Sekarang kami itu ada target RPJMN, SDGS itu sustainable, target dari negara yang diberikan kepada kami. Satu, penyelesaian sengketa informasi, yaitu harus 65 persen dari total tumpukan perkara yang masuk ke kami. Kami menerima ada sekitar 2800 tumpukan perkara dari masa lalu atau masa sebelumnya yang belum selesai. Kalau di era kami sekarang paling hanya sekitar 30 – 50 perkara yang masuk. Tapi bukan itu. Kami ditargetkan untuk menyelesaikan minimal 65 persen tumpukan perkara yang sudah masuk kepada komisioner sebelum kami.
Artinya ketika Anda memimpin lembaga ini, Anda mewarisi PR dari komisioner sebelumnya?
Iya, bisa dikatakan kami menerima warisan perkara dari kepemimpinan yang sebelumnya sekitar 2800 perkara. Dan di dalam RPJMN kami ditargetkan sampai 2019 nanti untuk menyelesaikan minimal 65 persen tumpukan perkara itu harus selesai. Selain itu ada target sebagai Badan Publik, Kepatuhan Badan Publik terhadap Undang-Undang. Jadi kami ada beberapa target. Itu baru dua. Target yang ketiga adalah sertifikasi PPID atau Pejabat Pengelola Informasi Dokumentasi di Badan-Badan Publik. Jadi setiap badan publik harus ada PPID. Dan target keempat adalah pembentukan KI-KI (Komisi Informasi) Provinsi. Nah, target itu harus dipenuhi semua. Sekarang pertama, target yang harus dipenuhi yang pertama sesuai dengan RPJMN itu, anda bisa bayangkan bagaimana mungkin target 2800 tumpukan perkara itu bisa diselesaikan dengan cara ajudikasi KI? Kan harus diselesaikan dengan sidang ajudikasi atau non-litigasi. Itu ketentuan undang-undang.
Banyak sekali yang harus diselesaikan?
2800 perkara itu bukan hal yang mudah. Nah, disitu lah kita mengkaji, melihat serta menganalisa perkara-perkara itu. Untuk menyelesaikan itu semua harus kita cari out of the box atau diluar konteks yang tidak menyalahi norma-norma aturan yang berlaku, karena kalau dengan sesuai regulasi artinya harus proses sidang ajudikasi, itu semua gak bakal selesai itu target RPJMN 2019, di mana 65 persen harus selesai. Gak cukup pasti waktunya untuk 2800 perkara itu. Satu kali register saja, itu mungkin bisa dua kali, tiga kali, lima kali, bahkan bisa tujuh kali bersidang. Karena itu tergantung proses sidangnya. Belum lagi jarak dari sidang pertama ke sidang kedua, ketiga. Itu kan tidak satu kali sidang selesai. Hari ini sidang, sidang berikutnya bisa minggu depan, dua minggu ke depan, dan sebagainya. Jadi tidak akan cukup waktunya.
Lalu apa yang dilakukan untuk menyelesaikan target?
Jadi harus out of the box memang yang harus kita lakukan. Nah, kebetulan di ranah peraturan, itu ada yang disebut istilah FIAR (Fact Inisiative Request) jadi permintaan informasi publik dilakukan berulang-ulang tanpa ada korelasi jelas dengan tujuan. Misalnya, saya minta ke badan publik X, 10 informasi publik. Begitu juga saya minta ke badan publik B, 10 hal yang sama. Nah, ternyata penumpukan perkara banyak pada posisi itu, 80 persen pada posisi Fact request. Lalu bagaimana cara mengatasinya? Kalau kita selesaikan melalui persidangan biasa, risikonya adalah waktu. kemudian kami melakukan kajian, diskusi dan segala macamnya. Dan kita memiliki kewenangan untuk mengeluarkan SK tentang FIAR. Di dalam SK FIAR yang sudah kami tandatangani kemarin, mekanismenya bisa diselesaikan dengan sidang, dan bisa juga diselesaikan dengan Rapat Pleno saja, yang kemudian kita putuskan sekian register misalnya. Pada saat diputuskan jumlah register 100 misalnya, maka kita bisa putus 100 perkara.
Besoknya juga demikian. Nah, proses membikin SK nya saja itu enam bulan tuh waktunya, itu SK saja. Mekanismenya adalah Diskusi Publik, FGD, terus sampai Rapat Pleno. Di Rapat Pleno diputuskan SK, baru kita SK kan, dan bisa dipakai. Jadi kurang lebih sekitar satu bulan lalu lah, SK itu keluar, dan dengan SK itu lah kami akan mencapai target RPJMN. Sekarang kita proses menyelesaikan tumpukan perkara itu. sekarang itu sekitar dan mudah-mudahan ini akan selesai. Karena kita sudah petakan ke 2800 perkara itu kan, dan semuanya sudah diregisterkan. Dari 2800 perkara itu, 85 persennya itu kena FIAR, tanpa sidang.
Jadi 2800 perkara itu semua akan diselesaikan tanpa sidang semua?
Kan ada dua cara. Ada yang sidang dan ada yang tanpa sidang. Jadi sidang tetap ada. Dua kali sidang tidak hadir, kita bisa putuskan perkara itu. tapi kan tetap saja panjang kan waktunya kan. Target kita itu bulan Agustus target RPJMN 65 persen dari 2800 tumpukan perkara akan tercapai. Sampai bulan Desember tahun ini mungkin bisa habis semua itu. Makanya kita lakukan out of the box itu, karena kalau tidak kita keluarkan SK itu tidak akan pernah selesai itu. Jadi target RPJMN 65 persen tumpukan perkara itu harus diselesaikan bisa dikatakan sudah tercapai.
Kemudian target kedua. Pelaksanaan Badan Publik terkait Kepatuhan Badan Publik terhadap UU KIP. Itu dalam terminologinya kita melakukan Monitoring dan Evaluasi atau Monev. Semua badan publik itu kita Monev itu 75 persen. Itu sederhana.
Berapa jumlah Badan Publik? Menurut peraturan Menpan RB, itu ada 7 klasifikasi Badan Publik. Perguruan Tinggi, Lembaga Non-struktural, Kementerian, BUMN, Pemerintahan Provinsi, Organisasi Masyarakat/LSM yang menggunakan anggaran dari pemerintah, dan termasuk Partai politik. Itu ada sekitar 300an badan publik. Dan itu semua 75 persen harus berpartisipasi di dalam pelaksanaan undang-undang. Nah, kita menggunakan tools Monev. Kita pakai Monev. Kita yakin akan berjalan target itu.
Ketiga itu adalah bentuk sosialisasi kepada masyarakat atau publik. Itu parameternya 1000 orang dan sekitar 200an badan publik. Dan itu sudah kita lakukan, artinya sudah berjalan sosialisasi itu.
Target keempat yaitu pembentukan Komisi Informasi (KI) provinsi. Sekarang itu kan provinsi kita totalnya 34 kan, dari 34 provinsi sudah ada 30 KI Provinsi, jadi kurang empat provinsi. Empat provinsi itu mana saja? Maluku Utara, Kalimantan Utara, Papua Barat, tiga itu provinsi baru. Satu lagi adalah provinsi baru kemasan lama, yaitu NTT.
Bagaimana Anda melihat kepatuhan Badan Publik terhadap Keterbukaan Informasi itu?
Kalau kondisi sekarang mereka bisa dikatakan cukup menggeliat. Terbukti dengan PPID nya aktif. Itu setahun dua tahun terakhir ini. Tetapi, masalahnya kan UU KIP ini kan dari tahun 2008, nah selama ini kemana saja mereka? Kalau melihat undang-undang yang diketuk 2008, harusnya kan kalau bahasa undang-undang, itu berlaku kan pada saat undang-undang ini diundangkan. Artinya kan ada fase sekitar delapan tahunan dari undang-undang itu dikeluarkan. Itu kalau kita bicara kepatuhan Badan Publik. Dan jangan pernah anggap remeh fase dua periode sebelum kami, atau fase awal-awal berdirinya KIP itu. Dua fase sebelum saya, mereka melakukan juga, tapi kan nyatanya Badan Publiknya seperti paranoid gitu untuk membuka informasi kepada publik.
Sampai sekarang apakah badan-badan publik itu masih seperti paranoid?
Sudah mulai berkurang. Apa parameternya, saat ini informasi yang tidak dapat dibuka sekarang sudah dibuka tanpa harus diminta. Kalau dulu orang datang minta informasi, badan publiknya sudah alergi duluan. Dan itu terjadi pada fase-fase sebelumnya. Tapi sekarang semua badan publik sudah punya dan membuka itu, malah dengan Monev yang kita lakukan kita bisa melihat, oh ternyata badan publik sudah punya inovasi-inovasi digital, seperti aplikasi digital, membuat website, dan sebagainya. Artinya dalam hal membuka informasi, sudah semakin canggih jika dibandingkan dulu.
Artinya, menurut Anda kesadaran Badan Publik dalam menjalankan Kepatuhan Badan Publik sesuai dengan UU 14 Tahun 2008 sekarang ini juga semakin meningkat?
Iya, betul. Seperti yang tadi saya jelaskan di awal, bahwa filosofi dasar lahirnya undang-undang ini kan agar terciptanya good governance. Jadi harus ada good will dari pimpinan badan publik untuk melaksanakan good governance. Pada saat pimpinannya tidak good will, tidak memiliki itikad untuk itu, maka disini lah permasalahannya. Kan good governance itu ada di badan publik, bukan di pribadi atau perorangan masyarakat. karena di badan publik ada kekuatan uang, di mana ada kekuatan kebijakan di situ yang mempengaruhi masyarakat. Proses keluarnya kebijakan itu harus transparan, nah jadi itulah yang harus kita pastikan. Jadi tugas Komisi Informasi itu bukan hanya mengurusi masalah sengketa-sengketaan saja. Sengketa adalah akibat dari tertutupnya badan publik terhadap permintaan informasi publik, karena kita bicara informasi publik, bukan informasi pribadi. Harus dibedakan informasi publik dan informasi pribadi itu. Informasi publik adalah suatu keniscayaan. Karena kita menganut sistem demokrasi, demokrasi itu adalah keterbukaan informasi. Di dalam dunia sekarang, siapa yang menguasai informasi, dia yang menguasai dunia.
Bagaimana level kesadaran masyarakat sendiri soal hal tersebut?
Kalau masyarakat sendiri memang masih belum menjadi suatu habit atau budaya. Mengapa demikian? Karena memang 'barang' ini masih relatif baru dan di mata masyarakat bisa dikatakan masih kurang “seksi." Tapi coba kalau ditanyakan tentang siapa caleg, siapa calon gubernur, atau siapa calon presiden yang mau dipilih, pasti mereka lebih tahu daripada ditanya tentang KIP. Dan itu masyarakatnya tidak salah, karena keterbukaan informasi buat masyarakat masih belum menjadi habit atau budaya, karena sebelumnya ada fase di mana informasi itu tertutup. Tapi kalau kita mau bandingkan di luar negeri, Komisi Informasi ini barang “seksi.” Di luar negeri itu tidak ada KPK, dan informasi publik atau transparansi itu di luar negeri itu sudah diajarkan kepada para siswa sejak di bangku tingkat SD.
Menurut Anda, apakah cita-cita dari undang-undang ini akan tercapai?
Kalau tercapai pasti harus tercapai. Makanya dibuatlah Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 ini, makanya dibuatlah lembaga ini. Tapi kan ini semua masalah perjuangan, artinya proses. Tapi yang saya ingin tekankan disini, spiritnya Komisi Informasi adalah dalam hal informasi publik. Dan itu barang yang sangat seksi, karena dalam Undang-undang KIP itu jelas sekali dikatakan, bahwa keterbukaan informasi itu adalah hak masyarakat, dan masyarakat berhak memperoleh informasi publik itu. Makanya itu yang terus dibangun. Hanya saja memang itu tidak mudah, karena adanya loncatan budaya.
Menurut Anda apa yang menyebabkan masyarakat tidak terlalu peduli dengan Undang-undang Keterbukaan Informasi ini?
Karena tingkat kesadaran masyarakat kita masih minim. Contohnya, Anda ke Bandara, dan disuruh ke Pintu 5, tapi ketika Anda menunggu ada pengumuman bahwa Anda atau penumpang diminta pindah dan naik pesawat ke Pintu 3. Dan itu mendadak. Sebenarnya penumpang bisa protes lho, bukan langsung pindah. Tapi kan rata-rata masyarakat menerima saja tanpa peduli atau ingin tahu penyebab dipindahkannya dari Pintu 5 ke Pintu 3. Itu kan sebenarnya proses perencanaan, proses dikeluarkannya kebijakan. Jadi sebenarnya penumpang itu berhak mendapatkan informasi kenapa bisa dipindah? Kenapa pesawat delayed? Belum lagi kalau kita bawa barang banyak kan, belum lagi kalau kita bawa orang sakit, dan lain sebagainya.
Contoh kedua, kalau anda naik kereta atau commuter line biasanya kan waktunya tepat. nah, ketika suatu hari kereta telat datang, kemudian ada pengumuman informasi di stasiun bahwa kereta terlambat karena telah terjadi gangguan listrik di Stasiun Tanah Abang. Ketika ada pengumuman penumpang kan ada yang mencari transportasi alternatif, ada juga yang menunggu selesai. Artinya adanya informasi itu menjadi lebih baik dari pada tidak ada. Tapi itu biasanya masyarakat kita itu baru sadar kalau sudah ada kejadian. Karena keadaan itu lah masyarakat baru sadar dibutuhkan informasi. Mestinya seperti hal yang tadi saya contohkan itu tanpa harus menunggu adanya informasi kita bisa menanyakan informasi, kita punya hak lho.
Problemnya, bagaimana dengan masyarakat yang belum paham bahwa mereka punya hak untuk mendapatkan informasi itu?
Itu lah, makanya kami ada tugas sosialisasi, makanya di kami ada bidang Advokasi Sosial Edukasi (ASE). Di KI tingkat pusat itu ada lima bidang. Bidang ASE, Bidang kelembagaan, Bidang Penelitian dan Dokumentasi, Bidang Regulasi dan Kebijakan Publik. Di tingkat daerah ada tiga bidang. Nah untuk sosialisasi itu kita ada bidang tersendiri. Ini kita bicara Tupoksi Internal yaa, sehingga dia membuat program untuk mensosialisasikan kepada masyarakat kepada badan-badan publik lainnya.
Dari 2800 kasus yang harus diselesaikan, mana pemohon yang lebih banyak masyarakat perorangan atau ormas?
Campur. Karena yang disebut pemohon adalah, pertama warga negara Indonesia, kedua organisasi masyarakat yang berbadan hukum. Jadi campur, ada yang pribadi, ada yang organisasi.
Apa kasus yang paling banyak?
Sebenarnya beragam, yang dimintai itu biasanya terkait informasi masalah kesehatan, masalah tanah (sertifikat, HGU). Biasanya ini tanah yang digunakan untuk pentingan tambang atau Sumber Daya Alam, perkebunan, dan lain lain. Terus juga masalah keuangan, masalah pendidikan, Dana Bos, terus juga terkait dengan penggunaan Dana Desa, beragam lah.
Selama tiga periode pengurusan, bagaimana sosialisasi undang-undang ini?
Kalau sosialisasi kita tetap lakukan, tapi kita memang menyadari bahwa kita ada keterbatasan di dalam hal teknis sosialisasi. Makanya kita mensiasatinya dengan organisasi atau lembaga yang dapat mereperesentasikan masyarakat yang jumlahnya mencapai 260 jutaan jiwa. Karena agak sulit jika sosialisasinya satu per satu. Makanya kita tekankan di kelembaga-lembaga, juga partai politik. Karena partai politik kan lembaga yang punya pengaruh besar, mereka ada konstituennya. Makanya kemarin kita menandatangani kerjasama Keterbukaan Informasi Publik dengan partai-partai politik.
Apakah keuangan Parpol juga bagian dari informasi publik yang seharusnya bisa diminta untuk dibuka?
Partai politik menurut Undang-undang Nomor 14 tahun 2008 adalah bagian dari badan publik. Jadi masuk dia sebagai lembaga publik. Baru kemarin kami menandatangani kesepakatan dengan semua partai politik, dan partai politik sudah aware, mereka komitmen akan melakukan atau membuka informasi tentang parpol.
Terkait Pemilu, apakah berarti partai politik wajib membuka tentang keuangan partai politik kepada publik?
Nah, ini yang harus dibedakan. Kalau terkait kepemiluan kan tetap saja ada badan publik atau lembaga penyelenggara pemilu, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. Karena kita bicara lembaga publik. maka yang harus kita pastikan, yang berhak meminta itu semua adalah KPU, Bawaslu dan DKPP. Artinya, partai politik itu harus melaporkannya ke KPU bukan kepada Komisi Informasi. Karena aturan undang-undangnya begitu. karena misalnya caleg, soal dana kampanye, kan memang harus dilaporkan ke KPU.
Tapi apakah masyarakat berhak tahu akan hal itu?
Iyaa, masalahnya KPU-nya mau terbuka atau tidak? Bawaslu-nya mau terbuka atau tidak? Kalau setahu saya, untuk hal itu (keterbukaan informasi publik) atas lembaga KPU, Bawaslu itu mereka berada di peringkat yang baik.
Lalu kerjasama KIP dengan partai politik seperti apa? Apakah sebatas memastikan Partai politik menyerahkan data ke KPU atau penyelenggara Pemilu saja atau ada kerja sama lainnya?
Kalau porsinya Pemilu tetap saja ke KPU, karena memang Tupoksinya itu KPU. Bicara pemeriksaan keuangan ada KPK, bicara informasi publik ada Komisi Informasi. Jadi di mana peran Komisi Informasi? Peran kita memastikan badan publik seperti KPU itu membuka informasi dengan transparan. Di mana peran partai politik? parpol punya kewajiban memberikan informasi yang akuntabel, transparan kepada masyarakat. Hanya saja mereka menyerahkan atau melaporkan data itu melalui KPU selaku penyelenggara pemilu. Jadi kita memastikan partai politik meyerahkan data itu kepada KPU, dan kita juga memastikan KPU itu membuka informasi dari partai politik itu baik tentang keuangan dana kampanye, dsb itu kepada publik.
Artinya, sebagai peserta pemilu partai politik harus melaporkan atau membuka informasi itu kepada KPU. Sebagai badan publik partai politik juga harus membuka informasi kepada masyarakat atau publik?
Iya betul. Dan pada kerjasama kemarin itu mereka sudah siap membuka semuanya kok baik kepada KPU selaku penyelengga pemilu maupun kepada masyarakat.
Sekarang di luar Pemilu. Soal dokumen TPF Munir. KIP sudah mengeluarkan putusan agar pemerintah membuka dokumen TPF Munir. Tapi faktanya pemerintah tidak melaksanakan putusan dan justru mengajukan banding terhadap putusan KIP itu ke PTUN. Bagaimana anda melihat itu? apakah itu merupakan suatu bentuk jangan2 pemrintah sendiri juga tidak menganggap serius terkait dengan keberadaan KIP yang telah memutuskan itu?
Negara ini kan negara hukum. Komisi Informasi adalah lembaga yang lahir dari hukum konstitusi. Dalam konstitusinya dikatakan, para pihak bisa menggugat. Di dalam undang-undang pihak termohon maupun pemohon, apabila merasa keberatan dengan putusan Komisi Informasi meraka bisa mengajukan gugatan banding ke PTUN. Terus kalau hasil dari PTUN masih keberatan lagi, itu masih bisa terus sampai ke tingkat MA. Itu ranah yudikasinya. Dan kasus munir ini kan hanya salah satu kasus saja, padahal sebenarnya banyak juga kasus yang lain, yang diputuskan oleh KIP, kemudian putusan KIP digugat banding lagi oleh Termohon maupun Pemohon. Mungkin karena kasus Munir jadi kelihatan seksi, tapi sebenarnya itu wajar saja, karena konstitusi kita mengatur itu.
Memang putusan KI itu memiliki kekuatan hukum dan harus dilaksanakan, itu Iya. Tapi kan kalau termohon menggugat balik boleh saja dong. Karena memang putusan Komisi Informasi itu tidak final. Kan mazhab hukum kita kan Trias Politika. Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. Dan ranah Yudikatif pastinya kan pengadilan. Kalau KIP ini kan lembaga Kuasi, mengambil sebagian. Makanya Komisioner Komisi informasi itu tidak harus orang yang ahli hukum. Berbeda dengan pengadilan, Hakim, MA dan MK, itu pasti orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum.
Artinya cukup banyak termohon atau pemohon kembali mengajukan gugatan ke PTUN?
Mungkin bahasanya gini, artinya memang di situ ada ranah yang telah diatur oleh undang-undang. Masalahnya sekarang adalah, kepentingan dia bagaimana? Kepentingan badan publik atau kepentingan warga? Kami sudah berupaya maksimal untuk mengeluarkan putusan, tapi kalau merasa subjektivitas kepentingannya merasa terganggu atau merasa menang sendiri, kan tetap gugat balik pastinya.
Kalau dibilang banyak tidak juga sih. Saya di Pusat ini kan baru beberapa bulan, paling baru satu kasus yang banding ke pengadilan tingkat selanjutnya, itu pun kalau jadi. Waktu saya di Jakarta sekian tahun paling hanya tiga-empat perkara. Ada juga yang tidak sampai banding, ada juga yang melaksanakan putusan KI.
Ada yang melaksanakan ada yang tidak melaksanakan putusan kami. Lalu di mana posisi KI? Itu sudah tidak masuk ranah Komisi Informasi lagi. Kami sudah putus mempertemukan pemohon dan termohon, kemudian diputuskan. Ya sudah selesai tugas KI, melaksanakan tugasnya dengan mengeluarkan putusan saja.
Artinya KI tidak punya wewenang meminta mereka untuk tetap menjalankan putusan?
Iyaa, selesai tugas KI. Tidak bisa kita memaksa termohon sampai pada tingkat eksekusi misalnya.
Apakah tak ada sanksi?
Engga ada. Jadi tergantung yang dirugikan. Kalau yang dirugikan merasa harus dilanjutkan ke ranah pidana ya mereka lanjutkan. Tapi KI sudah putus disitu, tidak ada lagi “sangkut paut."
Okelah KI tidak dapat punya wewenang untuk itu, lalu siapa yang bisa memberikan sanksi?
Kalau menurut undang-undang memang tugas kita hanya menyelesaikan sampai di situ saja. lalu bagimana kalau para termohon dan pemohon masih ingin melanjutkan? Yang merasa dirugikan kan masih bisa melanjutkan dengan mempidanakan misalnya.. kan memang tidak ansih selesai di UU KIP saja. kan ada juga oneprestasi dan segala macamnya. Dan ada juga badan publik yang sampai dipidanakan (kalau ada yang merasa dirugikan), dilaporkan ke Tipikor juga ada, ke Polda, itu bisa dilakukan dan sah-sah saja. tapi ada juga yang diam saja, artinya selesai di situ saja (tidak melanjutkan), Kan kita tidak tahu kan.. karena sebenarnya filosofi undang-undang KI itu adalah filsafat etika. Dia tidak berkorelasi langsung seperti halnya UU Korupsi.
Apakah dapat dikatakan putusan KI itu tidak mengikat seperti halnya hukum positif?
Anda bisa cek di pengadilan, berapa banyak putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap tapi tidak dijalankan oleh tergugat atau pengadilan itu sendiri, atau tidak dieksekusi? Cek saja coba. Apalagi lembaga Kuasi seperti KI. Lembaga pengadilan yang tidak melakukan eksekusi juga banyak, silahkan cek saja kalau tidak percaya.
Apakah Anda melihat itu sebagai sebuah kendala atau kelemahan dalam regulasi UU KI?
Tidak. Kalau kita bicara konteks hukumnya memang seperti itu. Kewenangan yang diatur oleh undang-undang memang seperti itu.
Akhirnya banyak anggapan KI tidak mempunyai taji dalam menjalankan tugasnya. Bagaimana Anda menanggapi itu?
Regulasinya tidak bisa kita lawan. Sekali lagi kan undang-undangnya berbicara seperti itu. Kita bekerja berlandaskan undang-undang, berlandaskan konstitusi, sampai di situ lah kita. Mestinya pemohon atau yang merasa dirugikan itu cerita ke kita, tidak diam begitu saja. Kalau ada yang bercerita pasti kita advokasi,kita arahkan untuk mengajukan gugatan ke ranah pengadilan. Karena kalau tugas kita memang hanya sampai di situ saja. Karena ranah eksekusi itu ranahnya pengadilan, yang bisa mengeksekusi itu memang pengadilan, bukan kita.
Mungkin keterbatasan wewenang ini yang membuat KI menjadi tidak populer di publik?
Kalau saya sih melihatnya tidak seperti itu. Justru dibalik. Lembaga ini sangat seksi, saking seksinya ini barang, lembaga ini bisa mengerdilkan dan dikerdilkan. Kalau bicara populer saja sebenarnya ini bicara proses. Tadi sudah saya sampaikan, sejarah keluarnya undang-undang ini saja jaraknya lama. Saya punya mimpi, jika kita bisa transparan, maka seluruh rakyat indonesia bisa mendapatkan kesehatan gratis. Karena seksinya lembaga ini. Semua lembaga tidak bisa sembarangan mengeluarkan kebijakan. Tapi memang frame berbalik, era seperti itu di sini (transparan) masih terjadi gegar budaya itu.
Berapa banyak kasus di KI yang dilanjutkan ke pengadilan?
Kita tidak tahu itu. karena setelah mereka kita tangani, banyak yang tidak lapor ke kita. Dan kebiasaan orang kita itu tidak ada yang meneruskan lapor. Jadi selesai di situ saja, diam saja sampai di situ. Masa kita yang harus nanya-nanya sama mereka sih? Emang kurang kerjaan apa kita, hehehe. Tapi, dari sekian banyak kasus yang kita tangani, hampir 85 persen tuntutan pemohon itu dikasih atau diberikan, karena itu kan atas kesepakatan dua pihak kan dalam mediasi. Tapi kalau yang putusan itu kan Ajudikasi itu sifatnya (memaksa), sehingga di situ berlaku rumus yang artinya ada yang memberikan permintaan pemohon, ada juga yang tidak.
Nah, kalau ranah undang-undang ada yang merasa dirugikan dari permintaan itu, baik pemohon maupun termohon merasa dirugikan, maka mereka bisa mengajukan gugatan ke pengadilan. Nah persoalannya memang setelah urusan keduanya selesai di KI biasanya tidak ada yang berkordinasi atau cerita ini bisa dilanjutkan seperti apa dan ke mana. Ada sih yang setelah diputuskan kemudian tidak dijalankan, yang merasa dirugikan konsultasi ke kita dan kita advokasi untuk kemudian diarahkan ke pengadilan, itu ada. Tapi tidak banyak. Karena itu tadi masalahnya, habit itu, masyarakat kita masih belum menjadikan ini sebagai habit.
Saya katakan, kalau memang pemohon itu benar-benar serius pada tuntutannya, pasti mereka melanjutkan. Tapi kalau pemohon itu hanya ingin “memanfaatkan” undang-undang saja atau tidak serius yaa sudah, kenapa saya katakan demikian, karena memang faktanya ada juga yang hanya ingin memanfaatkan undang-undang ini untuk kepentingan lain. Dan jangan salah, itu banyak lho. Mereka menggugat tapi memang tujuan sebenarnya bukan itu. Mereka “petualang informasi,” dan itu ada seperti itu.
Sekarang ini masih ada lembaga publik yang enggan memberikan informasi dengan dalih informasi yang diminta adalah informasi yang dikecualikan. Sebenarnya bagaimana dengan definisi informasi yang dikecualikan itu?
Di dalam undang-undang disebutkan bahwa informasi yang dapat dibuka adalah informasi setiap saat, informasi serta merta, informasi berkala. Dan informasi dikecualikan adalah pengecualian. Pada posisi yang itu, informasi yang harus dibuka itu, memang harus dibuka transparan. Berbeda dengan informasi yang dikecualikan. Di dalam undang-undang disebutkan hak badan publik, kewajiban badan publik.
Di dalam undang-undang juga disebutkan hak pemohon dan kewajiban pemohon, sama nih, sama-sama ada hak dan kewajiban bagi pemohon dan badan publik. Nah, hak badan publik itu membuat informasi dikecualikan. Dan hak badan publik juga menolak permintaan informasi apabila informasi itu tidak dikuasai oleh badan publik itu sendiri. Misalnya, AJI bergerak di bidang jurnalistik, tapi kalau ada orang yang datang ke AJI meminta laporan keuangan Bank Indonesia kan berarti bukan kewenangan AJI mengeluarkan atau mengabulkan permintaan pemohon kan. bagaimana mau dikasih, kan beda bidangnya. Ini saya sedikit cerita fakta ini yaa, ada tiga orang pemohon meminta ke Bank Indonesia, mereka minta peta harta karun peninggalan zaman dulu yang katanya ada di bawah Gedung Bank Indonesia. anda bayangkan itu, fakta loh ini, ada permintaan itu. Bank Indonesia nya juga bingung bagaimana memenuhi permintaan itu.
Kriteria informasi yang dikecualikan apa saja?
Di dalam pasal 17 undang-undang 14 tahun 2008 tentang KIP itu disebut tentang informasi yang dikecualikan. Informasi yang dikecualikan itu adalah informasi yang menyangkut item proses hukum, tentang pertahanan dan keamanan, Ketahanan Ekonomi, kemudian hak pribadi (Privasi). Jadi cantolannya di situ, itu lah yang kita sebut MALE (Maximum Accept Limited Exception) dan itulah batasnya keterbukaan informasi publik.
Dan didalam undang-undang itu untuk kategori sebuah informasi itu dikatakan sebagai informasi dikecualikan itu ada prosesnya, ada yang namanya Uji Konsekuensi. Jadi tidak bisa main katakan ini informasi dikecualikan ini tidak, tidak bisa demikian. Dan di dalam Uji Konsekuensi itu juga panjang prosesnya, harus ada pandangan para pakar, rujukan hukumnya, harus ada diskusi, dan lain sebagainya. Dan itu harus dilakukan oleh Badan Publik agar dapat sampai pada sebuah informasi itu adalah informasi yang dikecualikan. Karena itu hak Badan Publik.
Memang banyak orang yang tidak tahu itu dan menjadi korban kebohongan Badan Publik dengan mengatakan bahwa sebuah informasi itu sebagai informasi yang dikecualikan, karena memang terlihat sangat subjektif informasi dikecualikan itu. Nah, Komisi Informasi dapat melakukan uji publik terhadap informasi Badan Publik yang dikatakan dikecualikan itu. proses uji konsekuensi itu kita lihat, harus ada pembuktian dokumen di dalam sidang, karena kita harus bicara fakta. Karena memang ada syarat-syarat, sebuah informasi disebut sebagai informasi dikecualikan. Itu harus kita lihat, outputnya harus ada kekuatan hukum berupa putusan Badan Publik ditandakan oleh putusan top leader/ pemimpinnya. Jadi pada saat dia bicara informasi dikecualikan tapi dia tidak bisa membuktikan dokumennya, ya itu palsu, bohong dia, artinya paranoid dia dengan permintaan itu. karena memang ada yang seperti itu, Badan Publik yang bilang informasi yang dikecualikan tapi tidak punya bukti bahwa informasi itu adalah informasi yang dikecualikan. Tapi memang ada juga yang benar mereka bisa membuktikan dokumennya.
Artinya informasi yang dikecualikan itu dapat di uji di KI?
Iyaa, Komisi Informasi di provinsi atau di tingkat pusat. Bagaimana cara kita melihatnya, jadi nanti kita melihatnya gini, apabila informasi itu dibuka, lebih banyak mana dampaknya, lebih besar positifnya atau lebih besar negatifnya? Kalau dampak positifnya yang lebih banyak ya harus dibuka, meskipun itu dikecualikan. Tapi kalau dampak negatifnya lebih banyak, maka itu harus dikecualikan. Makanya ada istilah MALE.
Kalau bicara pemilu, apa peran yang bisa dimainkan oleh KIP terkait dengan keterbukaan informasi di Pileg, Pilpres mendatang?
Banyak. Roh dalam UU KIP itu prinsipnya kan ada tiga yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi masyarakat. Pada posisi Pemilu mana tahapan yang tidak diketahui oleh publik? Semua proses tahapan itu kan harus dibuka, harus transparan, akuntabel dan harus diketahui oleh masyarakat. Di situ lah peran Komisi Informasi melaksanakan pengawasan atau mengawal transparansi dan akuntabilitas proses pemilu itu sendiri. kalau bentuk eventnya kan banyak lah ya teknis itu yaa.. biasanya itu kerjasama antar lembaga publik, KIP dengan penyelenggara pemilu, KPU, Bawaslu. Dan itu sudah kita lakukan, dan KPU serta Bawaslu sangat aware akan hal itu, sampai di daerah-daerah itu kita dilibatkan.
Apa saran KIP untuk masyarakat agar masyarakat tidak salah memilih caleg dan capres pemilu mendatang?
Gini, sebagai lembaga atau badan publik tentunya harus memberikan informasi dengan transparan dan akuntabel kan, badan publik lembaga penyelenggara pemilu harus melakuakn itu. pada posisi masyarakat, masyarakat juga harus memonitor, harus mengawal semua proses keterbukaan informasi itu. karena kita sebagai lembaga publik KIP itu di dalam menyelesaikan sengketa yang diamanatkan undang-undang itu kita itu sifatnya pasif, harus ada delik aduan. Kalau tidak ada yang melapor ya kita tidak bisa menindaklanjuti itu. Makanya kami tetap butuh partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan, memonitor proses Pemilu yang menjadi kewenangan para penyelenggara pemilu itu. disamping itu kami tetap melakukan pengawasan atau monev itu tadi.
Kalau badan publik seperti lembaga pemerintah atau partai politike mempunyai kewajiban memberikan informasi publik lalu bagaimana dengan personal seperti caleg-caleg itu?
Iyaa itu bisa juga ditanyakan. Tapi persoalannya dimana menanyakannya? Pasti ke penyelenggara Pemilu dong menanyakannya. Ke KPU, masa ke KI, karena tidak akan ada datanya di KI. Informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, diterima, disimpan dan diperoleh oleh badan publik.
Sejauh ini apa yang menjadi kendala KI dalam proses menjalankan atau mengimplementasikan undang-undang ini?
Kalau kendala sih ada aja ya. Tapi yang terpenting partisipasi masyarakat itu. Kami ini kan jumlah komisioner 7 orang, di wilayah 5 orang. Dan karyawan kita juga tidak berjumlah ribuan. Artinya, ada keterbatasan di dalam hal mengontrol semua badan publik itu semua. Teritorial Indonesia itu luas sekali. Kedua, anggaran, karena biar bagaimanapun anggaran kan sangat dibutuhkan dalam menjalankan program kita. artinya paling tidak minimal program-program penting kita dibackup.
Jadi sejauh ini anggaran belum menjadi kendala?
Dibilang kendala juga tidak, dibilang tidak kendala juga tidak, karena sejauh ini kita pada posisi. Prinsipnya meskipun keterbatasan anggaran, kita harus tetap melaksanakan program-program prioritas. Sekarang sih berjalan. Tapi harapannya kan kita bisa kenceng nih jalannya, mau loncat kan, ekspektasi masyarakat kepada kami harus kami tingkatkan. Yaa, anggarannya sekarang itu memang belum mendukung ke arah sana. Tapi, mudah-mudahan sih tahun depan itu lain lagi, karena kalau tahun ini kami given kan, kami jadi November akhir, tapi anggaran kan setahun sebelumnya kan, kita tidak terlibat.
Kalau partisipasi publik sendiri sejauh ini bagaimana?
Kalau partisipasi publik itu yang kita cluster yaa, pada posisi yang berbadan hukum itu mereka aktif di tingkat provinsi, di tingkat pusat itu aktif, terutama teman-teman CSO, teman-teman wartawan, itu aktif. Tapi terkadang mereka kan mereka tidak memakai organisasinya, mereka memakai atas nama pribadinya.
Apakah KIP punya target agar lembaga ini benar-benar menjadi lembaga yang “dilihat” masyarakat?
Ya, kami kan punya visi misi di lembaga ini yang harus kami wujudkan. Itulah yang akan kami lakukan untuk menuju target itu. Tahun pertama ini kita konsolidasi, karena kan ada penumpukan perkara kemarin, yang suka atau tidak suka harus kita selesaikan. Karena lembaga publik ini berkelanjutan. paling tidak kita butuh satu tahun menyelesaikan itu, makanya kita lakukan out of the box tadi. Itu target yang diatur oleh RPJMN.
Apakah keterbatasan itu menjadi kendala? Ada kah rencana revisi UU KIP sendiri untuk meningkatkan wewenang?
Wacana revisi undang-undang itu sudah bergulir tiga tahun lalu oleh para senior kami sebelumnya. Tapi kan itu ada prosesnya, itu bagian dari ikhtiar. Tapi sekali lagi tadi, kewenangan atau ranah eksekusi itu adanya di lembaga mana? Karena kami kan lembaga kuasi. Apakah KI harus memiliki kewenagan seperti Mahkamah Agung? Kalau seperti itu nanti, tata negara kan menjadi kacau. kewenagan itu memang yang kita miliki, kalau kewenangan eksekusi itu yaa memang kewenangannya peradilan sebagai lembaga yudikatif. Kalau ada para pihak yang merasa dirugikan maka lanjutkan saja ke pengadilan. Kalau pengadilan tidak berani mengeksekusi, pemohon juga bisa melaporkan kepada yang berwenang untuk melaporkan hakim yang tidak menjalankan putusannya itu. Jadi memang tata kelolanya seperti itu.
Terakhir, apa prioritas anda dalam memimpin lembaga KI periode ke depan?
Kita punya visi misi yang kita terjemahkan dalam program kerja dan renstra. Pertama adalah target RPJMN dulu yang harus kami selesaikan. Ini target negara yang diberikan kepada kami.
Kedua, kita punya visi misi empat tahun kedepan, yaitu penguatan lembaga. Dan ini menjadi hal prioritas. Penguatan lembaga itu sampai di seluruh Indonesia lho ya. Kembaga kami ini baru 9 tahun, apa yang bisa kami lakukan dengan waktu itu, berbeda dengan lembaga seperti KPU atau KPK.
Nah, program apa yang kami lakukan? Adalah program yang akan menimbulkan habit di masyarakat, mengubah budaya menjadi masyarakat informasi. Itu jangka panjang.