Sukuk Jadi 'Jurus' Pemerintah Tutup Defisit Rp326 Triliun

Peluncuran sukuk ritel
Sumber :
  • Andika Wahyu

VIVA – Posisi utang pemerintah pusat hingga akhir Januari 2018, telah mencapai Rp3.958,66 triliun atau nyaris Rp4.000 triliun. Angka itu naik sekitar Rp20 triliun dibandingkan posisi akhir tahun lalu yang sebesar Rp3.938,7 triliun.

Defisit APBN Oktober 2021 Capai Rp548,9 Triliun

Jika dirinci, total utang tersebut berasal dari pinjaman sebesar Rp752,38 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rp3.206,28 triliun.
 
Meski porsi surat utang sudah cukup besar, pemerintah saat ini tak mengurungkan niatnya meluncurkan SBN. Kali ini, pemerintah meluncurkan SBN dalam bentuk Sukuk Negara Ritel seri SR-010.

Lantas, untuk apa pemerintah menambah utang?

Sri Mulyani Prediksi Dua Hal ini Buat Defisit APBN 2022 Lebih Rendah

Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, Luky Alfirman, penerbitan sukuk adalah demi menutup defisit APBN 2018 yang ditetapkan sebesar Rp326 triliun.

"Jadi, utang itu kita enggak ujug-ujug bikin utang. Itu sudah rencananya membiayai itu untuk defisit yang tahun ini Rp325,9 T. Nah, itu dari mana? Ya dari utang, dari penerbitan SBN (Surat Berharga Negara) tadi," kata Luky, ditemui di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat 23 Februari 2018.

Defisit APBN per Oktober 2021 Turun Jadi 3,29 Persen

Ia mengatakan, utang itu juga merupakan produk dari APBN. Dalam artian, utang akan menjadi instrumen negara untuk menutup defisit anggaran yang telah ditetapkan dalam APBN.

"Utang itu produk dari APBN, maksudnya penerimaan dan belanja selisihnya itu ada defisit. Itu kan dibiayain oleh utang," katanya.

Dia pun menargetkan, penerbitan sukuk ritel hari ini dengan tingkat imbal hasil sebesar 5,9 persen per tahun itu mampu menarik minat masyarakat untuk membeli. "Responsnya mudah-mudahan bagus untuk sukuk ritel ini," ujarnya. (asp)

Menteri Keuangan Sri Mulyani

Ada Proyek Ibu Kota Baru, Sri Mulyani Jaga Defisit APBN Sesuai Target

Sri Mulyani mengatakan, defisit APBN maksimum 3 persen mulai tahun 2023 akan diupayakan tetap terjaga.

img_title
VIVA.co.id
18 Januari 2022