Demokrasi dalam Arus Globalisasi: Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan
- vstory
Penulis: Yayan Hidayat (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Politik Universitas Indonesia)
The Economist menggambarkan situasi kegentingan demokrasi berlangsung secara sistemik di berbagai belahan dunia. Bahkan, Indonesia dikategorikan sebagai 'demokrasi yang cacat' atau flawed democracy. Demokrasi secara global menghadapi penurunan yang signifikan dalam skala global selama lebih dari satu dekade, bahkan juga terlihat tanda-tanda nyata atas gelombang balik demokratisasi ke otoritarianisme.
Kepentingan ekonomi global seringkali mengabaikan hak asasi manusia. Negara seringkali berpihak pada perusahaan multinasional atas nama kepentingan investasi daripada berusaha memenuhi dan menghormati hak warga negara atas pembangunan yang partisipatif.
Globalisasi dan Tantangan Demokrasi
Globalisasi mengaburkan batas-batas negara, mengintesifkan hubungan antar bangsa, dan menciptakan masalah lintas batas seperti perubahan iklim hingga ketimpangan ekonomoi. Held berpandapat bahwa demokrasi tradisional tidak dapat lagi menangani kompleksitas ini secara efektif. Held juga mengkritik bentuk globalisasi neo-liberal yang cenderung mengabaikan kesenjangan sosial dan ketimpangan ekonomi. Menurutnya, globalisasi semacam ini memperlemah kedaulatan negara dan merusak prinsip-prinsip demokrasi karena kekuasaan lebih banyak terkonsentrasi di tangan aktor-aktor non-demokratis, seperti perusahan multinasional dan lembaga keuangan internasional.
Para sarjana terbagi menjadi tiga kelompok dalam melihat globalisasi, yakni kelompok hiperglobalis, kelompok transformasionalis, dan kelompok skeptis. Inti pandangan hiperglobalis dapat dirangkum sebagai sejarah baru kehidupan manusia dimana "negara tradisional telah menjadi tidak lagi relevan, lebih-lebih menjadi tidak mungkin menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Globalisasi ekonomi akan menghasilkan gejala "denasionalisasi" ekonomi melalui pendirian jaringan-jaringan produksi transnasional, perdagangan, dan keuangan.
Kelompok kedua adalah transformasionalis. Inti pandangan kelompok ini adalah adanya keyakinan bahwa globalisasi adalah kekuatan utama di balik perubahan-perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang tengah menentukan kembali masyarakat modern dan tatanan dunia. Para transformasionalis mempunyai keyakinan bahwa globalisasi yang berlangsung dewasa ini telah menempatkan kembali kekuasaan, fungsi, dan pemerintahan nasional. Salah satu poin penting dari kaum transformasionalis adalah negara tidak lagi dapat bersembunyi di balik klaim kedaulatan nasional.
Selanjutnya, kelompok ketiga adalah kelompok skeptis. Tesis utama kelompok ini adalah globalisasi bukanlah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah yang panjang. kekuatan global sangat bergantung pada kekuatan mengatur dari pemerintahan nasional untuk menjamin liberalisasi ekonomi terus berlanjut. Kelompok skeptis menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi akan memarginalkan negara-negara dunia ketiga karena perdagangan dan investasi hanya mengalir di negara-negara kaya.
Demokrasi dalam Krisis?
Tesis umum kaum neoliberal mengenai kebebasan pasar dan demokratisasi politik adalah gagal. Sebaliknya, globalisasi ekonomi yang menegaskan dominasi pasar atas negara telah membuat demokrasi menjadi semakin buruk. Ancaman demokrasi berasal dari perusahaan-perusahaan multinasional yang kini telah merepresentasikan dirinya menjadi kekuatan ekonomi dan politik global. Makin besar kekuatan politik korporasi dan pihak-pihak yang bersekutu dengan mereka, maka makin lemah kekuatan politik rakyat, dan makin lunturlah makna demokrasi.
Ini terjadi karena globalisasi ekonomi tidak serta-merta menciptakan kemakmuran sebagaimana dikemukakan oleh para pendukung globalisasi ekonomi, tetapi sebaliknya globalisasi ekonomi telah menciptakan ketimpangan dalam distribusi pendapatan dan meluasnya kemiskinan. Dengan kata lain, globalisasi ekonomi yang mengagung-agungkan kebebasan pasar telah merampas hak sebagian besar warga negara, dan dalam beberapa kasus menghancurkan modal sosial.
Demokrasi Kosmopolitan
Held mengembangkan gagasan tentang pemerintahan kosmopolitan yang didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan global, hak asasi manusia universal, dan akuntabilitas lintas batas. Dalam model ini, institusi internasional memainkan peran sentral dalam mengatur masalah global, tetapi tetap mengakar pada prinsip-prinsip demokrasi. Ia juga menekankan pentingnya memperkuat organisasi global seperti PBB dan lembaga multilateral lainnya untuk memastikan mereka lebih inklusif, transparan, dan akuntabel.
Model demokrasi tradisional yang berpusat pada negara tak lagi memadai untuk menangani isu-isu lintas batas seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, hak asasi manusia, dan migrasi. Problem ekonomi politik seringkali menjadi faktor dari munculnya praktik yang mendistorsi demokrasi. David Held mengusulkan pendekatan kosmopolitan yang berupaya menciptakan kerangka kerja demokrasi yang melampaui batas-batas negara.
Buku Demokrasi dan Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan karya David Held (2004) merupakan usaha untuk memodifikasi demokrasi sehingga tetap bertahan dalam dunia yang berubah. David Held menyoroti evolusi demokrasi modern, terutama dalam kaitannya dengan perubahan-perubahan besar dalam sistem politik dan ekonomi global. Ia menguraikan bagaimana demokrasi, yang awalnya berakar pada sistem negara-bangsa, kini menghadapi tantangan dari globalisasi yang semakin intensif.
Judul Buku: Demokrasi & Tatanan Global: Dari Negara Modern hingga Pemerintahan Kosmopolitan
Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan Pertama: Oktober 2004
Halaman: 405 + xxxi