Anomali Demokrasi Pilkada
- vstory
Pilihan sistem demokrasi sejatinya alat untuk memakmurkan warga. Dibanding sistem lain, demokrasi paling bisa menghormati dan menghargai hak warga negara. Demokrasi paling menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Demokrasi paling memungkinkan terbangunnya "persambungan" (representasi) antara pemimpin dengan konstituen.
Bahkan, demokrasi secara langsung (baca: pemilihan langsung) sebetulnya upaya agar terjadi hubungan timbal balik antara pemimpin-rakyat. Demokrasi langsung ingin membangun “ikatan emosional” antara pemimpin-rakyat. Prinsip-prinsip demokrasi di atas menjadi substansi dalam UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Kenyataannya, prinsip-prinsip ideal di atas masih utopis. Paradoks dan kontradiktif dengan realitas. Bahkan, tren menunjukkan makin jauh dari cita-cita mulia demokrasi. Proses pemilihan langsung gubernur, bupati, dan walikota (selanjutnya baca: kepala daerah) tak sesuai harapan. Proses penting mulai dari pencalonan, pelaksanaan kampanye dan pencoblosan hingga hasilnya belum sepenuhnya mencerminkan tujuan substansi demokrasi.
Kepala Daerah Korupsi
Banyak kepala daerah terpilih justru terlibat korupsi dengan modus gratifikasi, jual beli jabatan, pungutan uang haram, korupsi APBD sampai TPPU. Alih-alih memenuhi janji-janji saat kampanye, justru malah terjerembap dalam korupsi. Alih-alih menyejahterakan warganya justru sibuk menguras anggaran negara (APBD) untuk kepentingan kelompok dan keluarganya.
Tak terhitung jumlah kepala daerah terlibat korupsi. Tak terhitung nilai yang mereka korupsi. Dan anehnya bukan berkurang, justru makin banyak kepala daerah yang tertangkap gara-gara korupsi. Tahun 2021 melalui Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, ada 429 kepala daerah hasil Pilkada terjerat korupsi. Sementara, menurut laporan ICW, sebanyak 61 kepala daerah berstatus tersangka dalam rentang tahun 2021 sampai 2023.
Sebagai tambahan, berdasar data di situs kpk.go.id, sejak tahun 2004 hingga 2022 tercatat 22 gubernur dan 148 bupati/walikota telah ditindak oleh KPK. Jumlah ini bisa lebih besar lagi jika digabung dengan data dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI. ICW juga merilis sepanjang tahun 2010 hingga 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka. Ini menyedihkan.
Distorsi Pilkada
Pertanyaannya, kenapa pilkada menghasilkan pemimpin korup? Kenapa demokrasi langsung ternyata tidak menghadirkan kesejahteraan? Kenapa demokrasi langsung begitu mudahnya dimanipulasi? Dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan menggelayuti kita. Jawabannya, bukan karena kesalahan sistem demokrasi langsung, tapi karena proses Pilkada mulai pecalonan sampai pemilihan penuh anomali.
Pertama, rekomendasi transaksional. Meski asumsi ini agak sulit dibuktikan, sebagian besar rekomendasi calon kepala daerah beres dengan transaksi. Bukan rahasia lagi, partai-partai sudah menentukan tarif per kursi. Tarif itu tergantung kekayaan sumber daya alam sebuah daerah, besarnya APBD, dan konstelasi politik masing-masing daerah.
"Mahar politik”, begitu elite partai menyebutnya, dikeluarkan setelah SK tentang rekomendasi terbit. Meski ada partai politik berkoar pilkada tanpa mahar, faktanya tidaklah demikian. Proses seleksi calon kepala daerah sepenuhnya menjadi hak partai dan celakanya proses itu sangat tertutup. Proses seleksi (fit and propert test) tidak dilakukan secara terbuka. Begitu juga keputusan rekomendasi dilakukan tertutup.
Kedua, biaya politik tinggi. Selain harus “berkorban’ dana besar untuk memuluskan rekomendasi, seorang calon kepala daerah harus menyediakan anggaran besar untuk pelaksanaan kampanye dan pencoblosan. Calon harus mengeluarkan anggaran untuk branding image, sosialisi ke pemilih, kampanye besar, tim kampanye, biaya saksi, biaya relawan, dan biaya-biaya lain.
Untuk memastikan dukungan dan pemilihnya, calon harus menyiapkan anggaran besar untuk “ditabur” kepada pemilih. Hampir semua calon berduit melakukan money politics tanpa bisa dicegah dan dihukum oleh penyelenggara (Bawaslu). Politik transaksional ini tetap masif dan berlangsung begitu bebasnya. High cost politics mulai proses pencalonan, pelaksanaan kampanye, dan kegiatan menjelang hari “H” menjadi sumber utama korupsi.
Ketiga, main mata dengan DPRD. Banyak kepala daerah setelah dilantik harus berhadapan dengan anggota DPRD. Kepala daerah harus memastikan bahwa kebijakan dan programnya disetujui DPRD. Agar mulus maka terjadi “deal”. Akibatnya banyak janji-janji program kepala daerah tidak bisa direalisasi. Rencana program kepala daerah seringkali dikompromikan dengan anggota dewan.
Anggota Dewan terpilih juga punya beban yang sama, dana yang dikeluarkan saat pemilu, memperhatikan konstituen di dapilnya dan sebagianya. Seringkali kepala daerah terjebak dan harus menuruti keinginan dewan. Kasus pengurusan dana hibah untuk kelompok masyarakat (Pokmas) di Jawa Timur salah satu contohnya.
Faktor lain, sumber pendapatan resmi seorang kepala daerah sangatlah kecil. Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 tahun 2000, gaji pokok gubernur Rp 3 juta dan bupati/walikota bergaji pokok Rp 2,1 juta. Merujuk Perpres Nomor 68 tahun 2001 tentang Tunjangan Jabatan Bagi Pejabat Negara Tertentu, tunjangan jabatan seorang gubernur Rp 5,4 juta dan tunjangan jabatan seorang bupati/walikota Rp 3,7 juta.
Menurut PP Nomor 109 Tahun 2000, kepala daerah juga mendapat Biaya Operasional setiap tahun yang jumlahnya tergantung dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Biaya Operasional tersebut kisaran 0,15 persen sampai 3 persen. Biaya Operasional ini harus dilaporkan secara rinci dengan skema at cost (biaya dikeluarkan secara riil).
Penghasilan resmi (halal) seorang kepala daerah jauh lebih kecil dibanding seorang komisaris di BUMN kelas II. Padahal, tanggung jawab dan beban kerja kepala daerah jauh lebih besar ketimbang seorang komisaris. Masalah ini sudah dibahas berkali-kali oleh Pemerintah (Kemendagri) namun tetap saja tidak berubah.
Proses pilkada di atas, mulai dari rekomendasi yang transaksional, biaya tinggi kampanye dan pelaksanaan hari “H”, penghasilan kepala daerah yang sangat kecil (tidak layak) menjadi penyebab utama kepala daerah korupsi. Memang tidak semua kepala daerah korupsi, namun data korupsi kepala daerah terus bertambah dari tahun ke tahun. Kondisi ini hendaknya menjadi perhatian dan renungan bersama terutama bagi pemangku kebijakan.
Terakhir, budaya politik masyarakat kita juga masih rendah. Politik transaksional (money politics) dianggap biasa, bahkan seolah-olah menjadi keharusan. Semua ini akibat tingkat kesejahteraan dan pendidikan masih rendah. Namun, jika elite-elite partai, calon kepala daerah dan penyelenggara Pilkada berkomitmen mengurangi biaya politik tinggi, kondisi ini bisa diatasi, minimal bisa dikurangi secara perlahan.
A. Malik Haramain, Anggota Panja RUU Pilkada DPR RI 2014