Pemberlakuan Tax Holiday saat Pajak Minimum: Untung atau Buntung?

Ilustrasi grafik perekonomian (Source: https://www.istockphoto.com/id)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Bahlil Lahadalia, Menteri Investasi dan Kepala BKPM, menentang sikap Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang pemberlakuan pajak minimum global (GMT) 15 %.

Di tengah upaya pemerintah Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dengan menarik investasi asing, kebijakan pemberlakuan tax holiday saat pajak minimum menjadi sorotan. Tax holiday yang seharusnya pada pemberlakuannya menjadi insentif bagi perusahaan baru menjadi dikaitkan dengan pemberlakuan adanya pajak minimum, sehingga menyebabkan adanya paradoks baru yang muncul. Adanya konsep hilirisasi atas pertumbuhan investasi di Indonesia seharusnya didukung oleh pemerintah dengan pemberlakuan beragam fasilitas.

Fasilitas tersebut yakni dengan pemberlakuan adanya tax holiday. Pemberlakuan tax holiday sendiri berupa kebijakan atas pembebasan pengenaan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan) selama jangka waktu yang telah ditentukan. Hal tersebut secara langsung diatur berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 pada pasal 18 ayat 7, dan lebih lanjut dibahas dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.011/2011 s.t.d.t.d PMK 130/PMK.010/2020. Atas ketentuan tersebut, pemberlakuan tax holiday ini diberikan paling lama dalam jangka waktu 20 tahun dan paling singkat 5 tahun, sejak dimulainya produksi komersial.

Atas ketentuan fasilitas tersebut, ketika digabungkan dengan pemberlakuan pajak minimum menjadi salah satu penghambat adanya hilirisasi investasi di Indonesia. Penerapan pajak minimum apabila diberlakukan pada saat tax holiday pengenaan pemajakannya berdasarkan subjek pajak investasi tersebut. Hal itu mengakibatkan kurangnya penarik investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

Berdasarkan hal tersebut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah mendeklarasikan ketentuan terkait untuk Kepresidenan G20 Indonesia, yakni berupa penerapan kedua pilar yang bertujuan mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi dan globalisasi ekonomi. Pada poin pilar yang kedua berupa penerapan global tax minimum yang ditentukan sebesar 15% untuk perusahaan multinasional, tetapi selama tax holiday mengalami penurunan tarif di bawah 15?rlaku aturan subjek pajak untuk royalti, bunga, dan pembayaran pihak terkait lainnya yang dikenakan pajak pada tingkat nominal 9%.

Dengan ini ketentuan pemberlakuan insentif investasi tidak sesuai apabila diterapkan pada saat tarif pajak minimum. Karena atas pemberlakuan pada saat pajak minimum memiliki tujuan untuk pendistribusian hak pajak yang lebih adil dengan tarif yang telah ditentukan.

Sistem Tax Holiday sejatinya telah ada dalam konteks perpajakan Indonesia, muncul bersamaan dengan penerbitan UU No. 1 tahun 1967 dan UU No. 11 tahun 1967 mengenai Penanaman Modal Asing (PMA). Peraturan ini dirancang untuk memberikan berbagai kemudahan perpajakan Indonesia yang di mana kebijakan tax holiday ini dulunya diterapkan sebelum reformasi pajak pada tahun 1983, terutama pada sektor industri hulu di tahun 1980-an. Langkah ini berhasil menciptakan industri hulu dengan nilai tambah yang signifikan. Namun, aturan mengenai tax holiday dihapuskan ketika UU Pajak Penghasilan No. 7 diberlakukan pada 1 Januari 1984. Berdasarkan data statistik, kebijakan ini ternyata berhasil menarik minat sejumlah besar investor asing untuk melakukan investasi besar-besaran di Indonesia. Hal ini tercermin dari peningkatan jumlah investasi asing langsung atau investasi domestik yang mengalir ke Indonesia dari tahun ke tahun. Dampak dari kebijakan ini terbukti positif bagi ekonomi Indonesia dengan meningkatkan tingkat pekerjaan dan kontribusi pajak penghasilan terhadap pendapatan karyawan. Selain itu, sektor usaha kecil dan menengah (UKM) juga mengalami pertumbuhan yang lebih banyak, terkait dengan investasi asing langsung (FDI) atau penanaman modal dalam negeri (PMDN). (Pohan, 2018, hal 282).

Akan tetapi, dengan kebijakan the two pillar solution yang ditetapkan dalam BEPS Project oleh negara-negara yang tergabung dalam G20 atau OECD Inclusive Framework on BEPS, pemberlakuan fasilitas tax holiday nantinya akan terancam. Terdiri atas dua pilar, pilar kedua dalam The two pillar solution merupakan rencana kebijakan GloBe (Global Anti-Base Erosion Rules) dan STTR (Subject to Tax Rules).

Pada pilar dua ini terdapat kebijakan tentang solusi agar dapat mengurangi kompetisi pajak dengan memberlakukan tarif pajak minimum sebesar 15%. Hal tersebut bertujuan supaya perusahaan nasional tidak melakukan penghindaran pajak dengan mengalihkan pendapatan perusahaan dari yurisdiksi pajak tinggi menjadi yurisdiksi pajak rendah. (Worokinasih et al., 2022). Dengan diberlakukannya tarif pajak minimum sebesar 15% tentunya memiliki dampak pada Peraturan Menteri Keuangan No. 130/PMK.010/2020 mengenai Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan yang mengatur dalam pengurangan tarif PPh bagi Wajib Pajak hingga sebesar 100%. Maka dari itu, kebijakan pilar dua jika diimplementasikan di Indonesia akan berdampak besar terhadap fasilitas tax holiday bagi perusahaan multinasional di Indonesia hingga penerimaan pajak negara. (Wahidiyah & Hermawan, 2023)

Argumen Pro Tax Holiday saat Pajak Minimum

Pemberlakuan tax holiday pada saat pajak minimum dapat mencegah adanya pergeseran laba dan penghindaran pajak, hal tersebut terjadi karena adanya tarif tetap yang diberlakukan sesuai kesepakatan yang berlaku. (Sorbe and Johansson, 2017). Dengan penerapan tarif tersebut kondisi pada saat pajak minimum juga mewajibkan untuk dikenakan pajak.

Kondisi yang mewajibkan untuk mengenakan pajak sesuai dengan kesepakatan yang berlaku membantu untuk menjaga keadilan serta mencegah negara-negara yang terlibat melakukan persaingan pajak dengan memberikan tarif yang fluktuatif.

Dengan pemberlakuan pajak minimum bersamaan dengan tax holiday dapat meningkatkan kesetaraan bisnis, karena dapat mengurangi keuntungan perusahaan yang memanfaatkan insentif pajak dibandingkan dengan yang tidak. Hal tersebut dapat membantu negara menghasilkan pendapatan dan mengurangi potensi kerugian pendapatan yang terkait dengan insentif pajak (Redonda and Neubig, 2018). Atas kesepakatan pajak minimum global yang diterapkan pada saat tax holiday ini dapat bertujuan untuk membangun sistem pajak Internasional yang lebih adil dan lebih efektif.

Argumen Kontra Tax Holiday saat Pajak Minimum

Di sisi lain, dampak atas pilar dua yang dirasakan oleh setiap negara yaitu dengan ditetapkannya pajak minimum sebesar 15%, tidak terkecuali bagi Indonesia yang sebelumnya memiliki kebijakan perpajakan mengenai insentif pajak yaitu fasilitas tax holiday. Pilar dua dinilai akan mengurangi efektivitas pemberlakuan fasilitas insentif pajak tersebut sebagai strategi dalam meningkatkan pasar investasi di Indonesia. Dalam PMK Nomor 130/PMK.011/2011 yang mengatur mengenai fasilitas tax holiday atau Pemberian Fasilitas Pembebasan atau Pengurangan Pajak Penghasilan Badan, dijelaskan bahwa perusahaan baru dengan minimal penanaman modal baru sejumlah Rp 100.000.000.0000 (seratus miliar rupiah) akan diberikan fasilitas berupa pengurangan sebesar 100% atau 50?ri jumlah PPh badan yang terutang. Maka dari itu, jika adanya pengurangan tersebut, tarif pajak efektif yang ditanggung oleh Wajib Pajak Badan akan berpotensi dibawah 15% (Wahidiyah & Hermawan, 2023).

Pada pilar dua disebutkan bahwa jika ditemukan selisih antara tarif pajak minimum dengan tarif pajak efektif di negara sumber di mana perusahaan multinasional tersebut berinvestasi, maka akan menyebabkan diberlakukannya pajak di negara domisili dengan income inclusion rule dan/atau dengan undertax payment rule. Dengan demikian, perusahaan multinasional akan dikenakan top up tax dari negara domisili perusahaan tersebut berasal (Setyawan, 2022). Jika hal tersebut terealisasi maka kebijakan perpajakan perusahaan multinasional tersebut akan dialihkan kepada negara sumber dan akan berpengaruh terhadap penerimaan perpajakan negara.


Dalam pasal 2 ayat (4) PMK Nomor 130/PMK.011/2011, dijelaskan atas jangka waktu pengurangan Pajak Penghasilan Badan yang diberikan yaitu antara lima sampai dua puluh tahun menyesuaikan nilai rencana penanaman modal perusahaan tersebut. Maka dari itu, kepastian hukum atas perpajakan tax holiday juga menjadi salah satu tantangan dalam pemberlakukan pilar dua. Dikarenakan jika suatu perusahaan multinasional memiliki threshold peredaran bruto lebih dari EUR 750.000.000 yang telah melakukan kegiatan usahanya di Indonesia serta telah mendapatkan fasilitas tax holiday sebelum diimplementasikannya pilar dua, maka apa yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam menghadapi masalah tersebut ketika pilar dua juga ditetapkan di Indonesia.

Analisis dan Evaluasi

Berdasarkan tantangan serta permasalahan atas pemberlakuan tax holiday saat pajak minimum, diperlukannya susunan ulang kebijakan pajak insentif agar negara tidak berpotensi kehilangan penerimaan pajaknya. OECD menyarankan bagi para negara berkembang untuk melakukan evaluasi kembali atas kebijakan fasilitas tax holiday yang sedang dan akan diberikan. Dalam laporan Tax Incentives and the Global Minimum Corporate Tax: Reconsidering Tax Incentives After the GloBE Rules, disebutkan beberapa poin penting yang bisa digunakan sebagai benchmark bagi negara yang akan memberikan insentif pajak.

Poin pertama yaitu pemberian insentif pajak diberlakukan kepada perusahaan yang tidak tercakup dalam ketentuan GloBE, kemudian pemberian insentif sebaiknya diterapkan dalam lingkup yang lebih kecil, pemberian insentif dengan basisi pengeluaran seperti aset berwujud atau gaji akan terkena dampak tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan memakai basis pendapatan, selanjutnya insentif berupa pemulihan biaya aset berwujud tidak dipengaruhi oleh kebijakan GloBE, dan poin yang terakhir yaitu pemberian insentif dengan bentuk hibah tunai dan pajak yang dapat dikembalikan sebagai pendapatan juga tidak terpengaruh dengan kebijakan GloBE. Selain itu, pemerintah diharapkan dapat melakukan evaluasi terhadap kebijakan pajak insentif serta menentukan bentuk insentif yang akan diberikan kepada perusahaan multinasional secara tepat sehingga pasar investasi di Indonesia tetap berjalan secara efektif serta Indonesia tidak terancam dalam sisi fiskal atau penurunan terhadap penerimaan pajak negara.

Kesimpulan

Penerapan kebijakan tax holiday pada saat pajak minimum memiliki dampak yang signifikan. Ketentuan yang diatur berdasarkan OECD tidak diberlakukan secara utuh di sini, sehingga kondisi pengenaan pajaknya tidak dilakukan secara optimal. Pemberlakuan tax holiday bersamaan dengan pajak minimum apabila dipaksakan akan berdampak terhadap penurunan penerimaan perpajakan dari perusahaan multinasional terkait. Hal tersebut terjadi karena adanya pemberlakuan top-up tax sesuai dengan domisili perusahaan. Fasilitas yang diberlakukan saat pajak minimum ini tentunya akan memberikan dampak besar bagi sumber pemasukan negara ke depannya, mulai dari tertutupnya investor untuk menanamkan modal di Indonesia, kehilangan sumber penerimaan perpajakan, dan berdampak langsung terhadap wajib pajak badan di Indonesia karena tidak terjaminnya kepastian hukum yang sesuai. (Setya Wati, Tazkia Putri Aisyah, Mahasiswa Ilmu Administrasi Fiskal, Universitas Indonesia)


 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.