Bangun Kerja Sama, Sukseskan Pendidikan Tanpa Kekerasan
- vstory
VIVA - Baru-baru ini dunia pendidikan kembali dikejutkan dengan meluasnya video perihal kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar SMP di Cilacap, Jawa Tengah kepada rekannya. Video yang berseliweran di jagat media sosial tersebut menunjukkan adanya kekerasan siswa SMP yang memukul, menendang dan menyeret temannya. Ini tentu menjadi tamparan bagi kalangan pendidik dan lembaga pendidikan bahwa ternyata praktik pendidikan kita hari ini masih kerap didominasi dengan berita-berita perihal perundungan, kekerasan antar teman, dan kasus-kasus yang menambah citra buruk bagi lembaga pendidikan.
Video yang berlangsung selama 4 menit 14 detik tersebut mempertontonkan siswa yang sedang gembira melakukan penganiayaan kepada teman sebayanya, tak hanya itu, pada vidio tersebut juga terlihat beberapa rekan yang lain ikut menikmati tanpa ada upaya meleraikan pembulian tersebut. Ironis, sungguh perlakuan yang miris dan disayangkan, pasalnya pelaku yang masih berusia belasan tahun (14) bisa sebringas itu melakukan tindak kekerasan terhadap temannya yang juga berusia 14 tahun. Tentu kejadian ini menambah daftar kasus kekerasan yang terjadi di satuan pendidikan.
Fenomena perihal kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan tentu menjadi alarm keras bagi dunia pendidikan nasional. Data juga menunjukkan bahwa presentase terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah masih dikatakan tinggi, hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Muchlisin yang mencatat bahwa sejak tahun 2023 tercatat sebanyak 93 kasus kekerasan di lingkungan sekolah.
Bentuknya beragam, mulai dari intoleransi, diskriminasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, perundungan, hingga bentuk lain. Selain itu, Biro Data dan Informasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) membagikan data kekerasan terhadap anak di sekolah pada rentang waktu Januari sampai April adalah sebanyak 251 yang didominasi oleh anak usia Sekolah Dasar (6-12 tahun). Sebanyak 251 korban tersebut terdiri dari 142 perempuan dan 109 anak laki-laki. Alarm ini sudah seharusnya menjadi dorongan bagi pemangku kebijakan untuk mengeluarkan regulasi yang mampu meminimalisir terjadinya kekerasan di lingkungan pendidikan.
Diterbitkannya regulasi Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP) menjadi angin segar bagi dunia pendidikan. Pasalnya, kebijakan ini jika dengan baik diimplementasikan, maka akan mampu menjadi ikhtiar untuk meminimalisir terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah. Dalam kebijakan ini, dijelaskan jenis-jenis kekerasan, namun selain dengan memahami jenis-jenis perundungan, dengan adanya peraturan ini masyarakat juga perlu memahami dan mengetahui cara mencegah kekerasan pada anak atau peserta didik di satuan pendidikan. Pertama peserta didik memiliki hak untuk berpendapat dan berpartisipasi, bukan sebagai objek penerima semata. Oleh karena itu hargai dan dengarkan pandangannya. Kemudian yang kedua peserta didik perlu dilindungi karena merupakan kelompok rentan yang masih dalam masa tumbuh kembang, dan bergantung pada orang dewasa.
Regulasi ini tentu harus disambut dengan upaya-upaya untuk mewujudkannya. Sebab, kita tentu tidak menginginkan adanya anggapan bahwa regulasi yang dikeluarkan oleh Mendikbudristek ini hanya menjadi macan galak dalam tulisan, tetapi lemah dalam implementasi di lingkungan pendidikan.
Implementasi Peraturan Menteri Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi nomor 46 tersebut perlu menyinergikan beberapa pihak, terutama sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat sekolah. Salah satu upaya untuk menyambut angin segar ini adalah dengan mengaktualisasikan permendikbudristek tersebut adalah melalui upaya-upaya penyadaran serta penguatan karakter siswa. Penguatan karakter siswa lewat profil pelajar Pancasila yang berisi nilai-nilai karakter baik dalam kurikulum merdeka harus mampu diaktualisasikan dengan komprehensif oleh pihak sekolah.
Institusi pendidikan sebagai tempat terbaik dalam membentuk karakter dan mengembangkan minat peserta didik, memang seharusnya didorong untuk menciptakan ruang teraman dan ternyaman bagi setiap siswa untuk berekspresi, berpartisipasi dan berkolaborasi. Atmosfir lingkungan sekolah yang memprioritaskan penguatan karakter siswa melalui profil pelajar Pancasila, diharapkan mampu menjadikan institusi pendidikan tersebut minim bahkan tidak ada kekerasan ataupun perundungan.
Urgensi untuk menanggulangi dan mencegah maraknya kekerasan di lingkungan sekolah tersebut dengan penguatan kehadiran regulasi yang mendukung diharapkan mampu diterapkan dan diimplementasikan. Payung hukum yang diluncurkan oleh Kemendikbudristek ini tentu tidak bisa berdiri sendiri, perlu adanya kerja sama semua pemangku kepentingan untuk mengimplementasikan peraturan tersebut, sebab tanpa kerja sama maka upaya yang telah dikeluarkan oleh Kemendikbudristek akan sia-sia. Selain dari pihak sekolah, orang tua siswa sebagai juga bisa berkontribusi melalui upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan sekolah. Salah satu caranya adalah dengan bergabung menjadi anggota TPPK sebagai perwakilan orang tua di sekolah anak masing-masing.
Orang tua perlu mendorong dan memastikan sekolah anaknya telah membentuk TPPK di sekolah dan sudah terbentuk satgas. Sebagai upaya pencegahan kekerasan di satuan pendidikan, orang tua juga dapat berpartisipasi dengan turut serta mengkampanyekan dan melakukan sosialisasi terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan baik melalui media sosial maupun kepada orang tua lain serta lingkungan sekitar. Satuan pendidikan juga perlu melakukan edukasi dengan melakukan sosialisasi tata tertib dan program dalam rangka pencegahan dan penanganan kekerasan di satuan pendidikan kepada seluruh warga satuan pendidikan. Bagi pemerintah daerah, juga perlu memasifkan sosialisasi program pencegahan dan penanggulan kekerasan ini dengan melakukan sosialisasi kepada satuan pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya serta menyelenggarakan pelatihan bagi TPPK dan satuan tugas.
Bagi Kemendikbudristek juga diharapkan melakukan sosialisasi program ini secara merata, mengeluarkan pedoman ataupun modul yang bisa dijadikan referensi untuk setiap satuan pendidikan, serta memasifkan pelatihan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan satuan pendidikan. (Renci, Aktivis Perempuan Asal Lampung)