Tragedi Rempang: Kemanusiaan Digebuk, Kebudayaan Digerus

Furqan Jurdi Ketua Umum Pemuda Madani (foto: dok.pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Didampingi oleh Kepala Badan Otorita Batam, Gunernur Riau, Investor dan Wakil Menteri ATR/BPN, Airlangga Hartanto menteri Kordinator Bidang Perekonomian resmi mengumumkan dimulainya pembangunan Eco-City Batam pada tanggal 12 April 2023.

Seperti kebiasaan pejabat era ini, peluncuran itu diiring-iringi sebuah pantun dari Menko yang cukup bagus. “Pergi belajar mengaji di sampang, mengaji berguru ke Haji Bahri dengan program pengembangan kawasan rempang, kita jadikan Batam dan Kepri Pusat Investasi Negeri”. Kata Airlangga Hartanto.

Pantun itu bagus di awal, karena kalimat awalnya menggambarkan kebiasaan orang melayu yang selalu mengaji. Tetapi pantun itu membanggakan investasi. Demi investasi sampan dan rumah Haji Bahri tempat untuk mengaji dihancurkan. Lalu kemana lagi tempat untuk pergi belajar mengaji?

Bagi Muslim Melayu, mengaji itu kewajiban, ibadah, syiar sekaligus tarbiyah, karena itu surau dan sampan tempat mengaji harus tetap ada, harus terus dilestarikan sepanjang masa dan zaman.

Tetapi setelah Pantun Menko setelah Kitab Undang-Undang Cipta Kerja di sahkan investasi adalah segalanya, meski merobohkan surau, mengusir guru ngaji dan mengusir masyarakat asli.

Di atas tanah bertuan, dengan sejarah panjang yang hidup, pergusuran paksa terjadi secara kilat, tanpa melakukan upaya-upaya musyawarah. Tiba-tiba aparat dan senjata dikerahkan.

Dalam operasi mengosongkan Pulau Rempang itu perlawanan Rakyat mempertahankan tanah tempat mereka hidup mendapatkan represivitas. Aparat kepolisian menggunakan senjata dan gas Air mata, menangkap masyarakat secara besar-besaran.

Pelanggaran Hak Asasi Manusia terjadi: ada penggunaan senjata yang berlebihan, pengerahan pasukan berlebihan yang menyebabkan trauma di masyarakat. kekerasan negara pada rakyat yang mempertahankan hak mereka yang telah mereka wariskan berabad-abad itu, disebut pelanggaran HAM.

Praktik Maladministrasi mengikuti proses itu. Ombudsman RI menemukan tiga bentuk dugaan maladministrasi berupa penundaan berlarut, penyimpangan prosedur, dan penyalahgunaan kewenangan.

Pengusiran warga yang sudah mendiami Pulau Rampang Sejak 1843 itu bagi Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Batshul Masail difatwakan Haram. Haram berarti tindakan itu tidak baik, tidak benar, tidak boleh dilakukan. Haram, berarti perbuatan itu dosa.

Muhammadiyah melalui Majelis Hukum dan HAM meminta pemerintah untuk menghentikan Proyek Rempang Eco-City. Muhammadiyah juga mempersoalkan pengerahan polisi dan TNI yang berlebihan dengan sikap represif dari aparat memaksa warga pindah. Tindakan itu sangat brutal dan memalukan.

Meski kedua organisasi terbesar itu sudah bersuara, rupanya asa untuk ambisi investasi tak tersulut. pemerintah terus melakukan berbagai bentuk relokasi (“pengusiran”), ada yang dengan cara halus seperti yang Dilakukan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, ada yang kasar seperti dilakukan Polisi dan TNI.

Rakyat harus digebuk. Pesan itu yang tersirat dari pernyataan Panglima TNI Laksamana Yugo Margono. Siapa yang melawan, “piting” kata Panglima TNI. 1000 rakyat: 1000 TNI, satu lawan satu. Imbang kalau untuk pertandingan tinju, tapi satu lawan satu antara sipil dan militer dikategorikan menggunakan kekuatan maksimal. itu artinya mengarah ke kekerasan negara. Belakangan Panglima meminta maaf atas pernyataannya itu.

Tragedi Rempang mengingatkan kita akan program revolusi komunisme, menciptakan “manusia baru” dalam konsep Maoisme dan Leninisme. Agenda itu oleh Lenin sebagai agenda Revolusi, bagi Mao itu Revolusi Kebudayaan.

Supaya agenda menciptakan manusia baru itu terwujud, maka harus banyak kuburan massal. Kebudayaan harus digerus, akar sosial masyarakat harus dihilangkan, sejarahnya harus dihapus, kenang-kenangannya dihancurkan. Agama harus diberangus. Bagi Lenin agama adalah vodka yang memabukkan, maka manusia baru bagi Lenin adalah manusia tanpa agama.

Agenda selanjutnya, melakukan pendudukan dengan mengirim orang-orang ke kamp kerja paksa, dan membuat penampungan besar-besaran atas nama kerja kolektif. Memang gaya Lenin sangat kasar, sesuai dengan karakter zamannya.

Tentu cara rezim abad ini lebih halus, sehalus cara mereka menjadi otoriter dengan cara-cara menunggangi konstitusi. Slogannya revolusi mental, caranya menghancurkan mental, merusak karakter. Sederhana, Undang-undang dibuat terlebih dahulu atas nama rakyat. Tapi pemberlakuannya UU pula yang dijadikan alat menggebuk rakyat.

Agenda menciptakan manusia baru pun berbeda, yaitu dengan cara mengusir mereka dari tanah kelahirannya, dari tanah leluhurnya, beri mereka tempat tinggal baru, tempat yang tidak menggambarkan budaya dan identitas mereka. Pada akhirnya kemanusiaan itu hancur dan manusia baru tercipta. Dengan demikian agenda okupasi berjalan tanpa hambatan.

Manusia baru itu bukan manusia Dari tanah Rempang, mungkin juga bukan orang Melayu, tetapi orang lain sama sekali. Di atas puing-puing surau dan rumah guru ngaji berdiri gedung indah, tapi bukan tempat mengaji lagi, bukan rumah adat bangsa melayu lagi.

Cara Mao maupun Lenin untuk mewujudkan cita-cita manusia baru adalah memaksa masyarakat untuk merelakan kepentingan mereka demi dan atas nama kepentingan negara.

Alasan kepentingan negara itu juga menjadi dalih pemerintah untuk memelintir Pasal 33 UUD 1945. Mereka menggunakan frasa “dikuasai negara” untuk merampas tanah rakyat itu. Jadi semua “demi negara kalian harus rela diusir”.

Pasal UUD itu bagai pisau bermata dua, negara bisa bertindak melampaui batas. Karena definisi dikuasai negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat itu bisa ditafsirkan lebih subjektif oleh mereka yang berkuasa.

Pasal itu kelihatan “sosialis” demi kepentingan kolektif, tapi pasal itu juga memberi jalan lahirnya negara-negara kuat yang bisa mengendalikan hukum atas nama kepentingan umum. “Bumi, air dan kekayaan yang ada di dalamnya dikuasai negara”. Jadi Bumi itu milik negara, tanah itu milik negara dan negara bisa menjualnya dengan alasan demi pembangunan.

Upaya Menciptakan manusia baru untuk menghuni “bumi dan air” hanya terjadi dengan menghancurkan manusia itu sendiri. Agenda Rusia di bawah Lenin dan China di bawah Mao adalah monumen sejarah yang mengingatkan kita semua tentang biaya sosial akan upaya menciptakan manusia baru.

Jalan menciptakan sejarah baru, manusia baru, kebudayaan baru yang terpisah dari nilai-nilai luhur bangsa sudah di Mulai dengan Pemindahan Ibukota Negara. pembangunan IKN itu tidak terlepas dari agenda menciptakan manusia baru dan kebudayaan baru.

Supaya jalan penguasaan terjadi lebih cepat, pembangunan itu mengandalkan Asing. Maka eksodus besar-besaran dengan memindahkan masyarakat asli dan mendatangkan orang Asing dilakukan tanpa hambatan.

Mereka yang berinvestasi diberi tanah dalam waktu yang panjang dan memudahkan investasi bagi kaum pemodal sehingga mereka memegang industri penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.

Agenda eksodus besar-besaran dan perubahan total masyarakat inilah yang sedang berjalan secara simultan dalam 10 tahun terakhir. Agenda ini berlanjut terus dengan dalih investasi.

Investasi di Rampang maupun di IKN sudah melenceng tujuan investasi itu sendiri, menjauhkan masyarakat dari cita-cita luhur investasi untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesejahteraan orang banyak.

Kita tidak menolak investasi, tetapi investasi yang menghancurkan dan merusak alam dan manusia wajib ditolak. Kepentingan negara tidak boleh ditafsir secara subjektif oleh penguasa, harus berlandaskan pada keadaan objektif yang benar-benar melindungi kepentingan masyarakat bangsa dan negara dan tujuannya untuk memakmurkan rakyat.

Jadi melihat hiru biru Masyarakat Rempang  vs penguasa dan pengusaha, saya menyadari bahwa investasi yang dibangun pemerintah selalu dibarengi dengan kekerasan dan intimidasi.

Investasi untuk menciptakan lapangan kerja yang dijanjikan itu hanya omong kosong. tahun 2022 sebagaimana tercatat di Majalah Tempo (17/9) investasi yang 1.2000 triliun hanya melahirkan 1,3 juta lapangan Pekerjaan.

Investasi di Rampang Eco-City jelas merusak lingkungan, karena beririsan dengan hutan dan suaka alam. Rampang Eco-city menggerus lingkungan dan otomatis merusak perekonomian itu sendiri.

Rampang Eco-City harus dihentikan total untuk sekarang ini. bangsa dan masyarakat melayu Rampang Batam Riau harus tetap tinggal di sana, demi kebudayaan, identitas, tanah leluhur, yang melambangkan kekuatan nasionalisme dan watak ksatria.

Rampang adalah masalah kedaulatan. Batam adalah pintu barat Indonesia dan IKN adalah pintu utaranya. Kalau keduanya sudah dikuasai maka negara terancam diokupasi. Penduduk akan diusir dan terusir. Kalau itu terjadi maka selamat datang manusia baru dan selamat datang penjajah.(Furqan JurdiKetua Umum Perkumpulan Pemuda Madani)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.