Kebimbangan Politik Menuju Pilpres 2024

Furqan Jurdi Ketua Umum Pemuda Madani (foto: dok.pribadi)
Sumber :
  • vstory

VIVA - Kejutan politik datang dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar. Minggu, 13 Agustus 2023 di tengah situasi koalisi yang bimbang, kedua ketua umum partai itu  dengan raut wajah yang datar menandatangani dokumen koalisi mendukung Prabowo SUbianto sebagai Calon Presiden.


PAN dan Golkar sebenarnya sudah memiliki koalisi sendiri yaitu, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) bersama PPP.  Koalisi yang digadang-gadang mendobrak elektabilitas Airlangga Hartanto itu rupanya kandas di tengah jalan, karena elektabilitas Ketua umum Partai Golkar itu tidak kunjung merangkak naik meskipun sudah melakukan berbagai langkah politik.

Sesaat setelah deklarasi KIB pada tanggal 14 Agustus 2022, koalisi itu digadang-gadang akan mengusung Ganjar Pranowo sebagai Calon Presiden, sembari menunggu “arahan Presiden Joko Widodo”. Tapi arahan presiden tidak memberikan kejelasan mengenai sikap politiknya pada Pilpres 2024.

Ketiga partai itu menjadi bimbang bersamaan dengan kesimpangsiuran sikap presiden terhadap calon presiden. Pada awalnya sebelum Ganjar dideklarasikan oleh PDIP, Jokowi selalu bersama dengannya. Tapi sesudah deklarasi Capres itu, justru merenggang.

Sikap Jokowi yang kelihatan dualisme itu, membuat partai politik gamang. Antara Ganjar dan Prabowo, Jokowi belum memberikan tubuh politik yang jelas dan terang bagi partai koalisi pemerintah. Kegamangan berlanjut.

Tetapi fenomena politik muktakhir memberikan sedikit kejelasan meskipun masih samar-samar. Presiden Jokowi sepertinya merestui Prabowo sebagai Presiden selanjutnya. Anggapan itu terbaca dari tubuh politik Presiden yang selalu mengumbar kemesraan dengan bekas rival politiknya itu.

Dengan terus menerus bergandengan dengan Presiden, elektabilitas Prabowo Subianto semakin menanjak. Ketua Umum Partai Gerindra itu mendapatkan peningkatan elektabilitas politik yang cukup signifikan setelah “badan presiden” condong kepada dirinya. Bahkan pendukung-pendukung Jokowi dan relawan yang masih eksis sekarang berpindah Haluan, dari Ganjar Pranowo ke Prabowo Subianto. Hasil survey terakhir dari beberapa Lembaga survey seperti LSI (34,3%), Litbang Kompas (24,5 %) dan Indikator Politik Indonesia (36,8%) menempatkan Menteri pertahanan ini calon presiden dengan elektabilitas tertinggi.

Antara elektabilitas dan realitas sepertinya sedang akur bagi Prabowo. Kelompok relawan Jokowi yang dipimpin Emanuel Ebenezer yang dari awal memberikan dukungan kepada Ganjar, berbalik haluan mendukung Prabowo. Projo sebagai Relawan yang memiliki posisi penting di Jokowi juga mengklaim bahwa tubuh politik Jokowi cenderung Prabowo.

Meskipun sinyal kedekatan politik Presiden dan Prabowo cukup kuat dilihat dari kacamata politik, tetapi kenyataannya Jokowi masih menjadi petugas PDIP. Partai yang memenangkannya di Pilpres 2014 dan 2019. Partai Pemenang Pemilu 2014 dan 2019 itu telah menetapkan Ganjar sebagai Calon Presiden, artinya tugas selanjutnya kader PDIP adalah memenangkan Ganjar, tidak terkecuali Jokowi sebagai kader dan petugas partai.

Sebagai Presiden tentu Jokowi tidak etis mendukung dan mengkampanyekan Ganjar sebagai calon Presiden, tetapi secara politik dukungan Jokowi sangat dibutuhkan untuk memenangkan Ganjar dan PDIP di 2024. Dinamika ini membuat kandidasi Pilpres berada dalam dilema.

Kesimpangsiuran posisi politik Jokowi mencemaskan partai koalisi. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan tentu Jokowi tidak boleh cawe-cawe dalam Pilpres, karena mengingat posisinya itu dia hanya menyediakan fasilitas suksesnya Pilpres. Meskipun demikian, sebagai manusia politik, tentu Presiden punya frekuensi politik pada calon tertentu.

Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang akan di dukung Jokowi dalam Pilpres 2024? Apakah Jokowi akan meninggalkan PDIP di ujung jabatannya kemudian mendukung Prabowo, atau akan setia pada partainya dan tetap dalam satu garis komando ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri? Semua masih misteri dan dinamis.

Dalam kesimpangsiuran itu, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), partai yang “tegak lurus” kepada presiden dan pendukung utama Ganjar sebagai Presiden, tiba-tiba mengundang Prabowo secara “diam-diam” ke kantornya. Apakah PSI akan meninggalkan Ganjar, kemudian mendukung Prabowo?

Arah dukungan politik loyalitas Jokowi kepada Prabowo semakin terlihat setelah “pembela Jokowi” berbondong-bondong melakukan pertemuan dengan Prabowo. Sebaliknya, Ganjar mulai ditinggalkan oleh kelompok Jokowi, baik itu relawan maupun partai politik. Realitas Politik ini memperkuat posisi Prabowo untuk bertarung di Pilpres 2024 nanti.

Kejutan selanjutnya Aktivis 1998 Budiman Sujatmiko yang selama ini telah mengambil posisi sebagai “musuh politik” Prabowo, tiba-tiba bertemu dengan Prabowo dan menyatakan kesamaan visi dan misi. Budiman memuji Prabowo sebagai pemimpin masa depan. Sinyal positif dari aktivis 98 ini akhirnya menghapus stigma mengenai kecurigaan kepada Prabowo sebagai “pelanggar HAM”.

Orang-orang yang selama ini mengkritik Prabowo, menyebutnya sebagai pelanggar HAM dan mengejeknya sebagai “kandidat yang tidak pernah menang”, tetapi sekarang secara berangsur-angsur masuk ke dalam barisan politik Prabowo.

Dukungan politik yang tidak matang (instan), koalisi temporer, dan keputusan refleks partai politik memperlihatkan turbulensi politik yang cukup serius. Terlihat jelas anomali dan distorsi pada pembentukan koalisi politik. Partai-partai menjadi semakin pragmatis dan “koalisi dadakan” tanpa aturan main demokrasi yang berlandaskan nilai kesamaan dan visi perjuangan lenyap.

Turbulensi politik melahirkan demokrasi elektoral yang didominasi oleh: politik transaksi, politik uang, atau politik kekerasan. Misalnya, dominasi kekuatan uang dalam demokrasi akan mematikan kekuatan demokratis rakyat sendiri. Sementara elit saling “berebut kue” tanpa melihat aspirasi dan kehendak rakyat.

Koalisi yang lahir secara dadakan dan kemudian bermigrasi mendadak dari satu calon ke calon yang lain semakin memperlihatkan garis abu-abu antara konflik dan kerja sama, antara keterbelahan dan kesatuan, antara rivalitas dan aliansi, antara oposisi dan koalisi. Jelas menjadi semakin pragmatis dan jauh dari ideologis.

Hari-hari ini politik hanya semacam panggung para “badut” yang lalu lalang di layar kaca dengan topeng yang mengerikan. Demokrasi semakin menjauh dari nilai-nilai substansial, dan politik hanya sebatas koalisi kepentingan. Ini tidak terlepas dari sistem pemilihan Presiden yang menggunakan angka presidential threshold 20 persen sebagai syarat pencalonan Presiden dan wakil Presiden. Angka PT itu membuat partai parlemen seperti pemilik kedaulatan. Sementara partai di luar parlemen yang ikut pemilu hanya sebagai pelengkap tidak dianggap sebagai partai politik seutuhnya.

Karena itu partai-partai hanya sibuk mencari koalisi untuk memenuhi ambang batas. Kedaulatan rakyat dikebiri oleh rezim ambang batas, partai politik seperti “ternak politik” untuk mendapatkan kuota ambang batas.

Membaca Dinamika

Membaca dinamika politik ini secara sekilas, saya melihat potensi Prabowo mendapatkan dukungan yang luas sebagai modal di pilpres 2024 semakin besar. Setelah bergabung PAN dan Golkar koalisi Kebangkitan Indonesia Raya itu disebut koalisi paling gemuk. Modal politik dan modal sosial terus bertambah, Prabowo bahkan diprediksi akan memenangkan Pilpres 2024 nanti.

Meskipun koalisi semakin besar, Prabowo perlu melihat taktik politik lawan. Saya yakin Prabowo telah belajar banyak dari pengalaman-pengalaman politik yang telah dia lewati selama ini. Tentu pengalaman politik itu akan memberikan pengetahuan yang sangat berguna untuk menghadapi pemilu 2024.

Tetapi perlu diingat, semua di barisan pendukung Prabowo yang datang adalah kekuatan yang selama bertahun-tahun telah menjadi rival politik. Mereka bukan tidak bisa dipercaya, justru orang seperti Budiman Sudjatmiko memiliki integritas yang cukup untuk mempertahankan pendiriannya dan konsisten di garis perjuangan yang telah menjadi prinsipnya selama ini.

Sepertinya Budiman sedang berupaya mencari jalan politik. Apakah jalan itu untuk mengintip kekuatan lawan politik atau memang dia kecewa pada PDIP yang telah dia bela sejak mahasiswa dan tidak memberikan ruang dan penghormatan atas pengabdiannya selama ini? Tapi melihat gerakan Budiman dengan membentuk Relawan Prabowo-Budiman Bersatu (Prabu) pada 18 Agustus 2023.  Meskipun demikian, dukungan Budiman ke Prabowo masih mengejutkan sekaligus misteri.

Bisa saja ada dugaan, bahwa menuju pencapresan 2024 kekuatan politik sedang mencari sisi kuat maupun lemah para kandidat. Dugaan ini bisa ditujukan juga dengan merapatnya “loyalis Jokowi” maupun “pendukung Ganjar” adalah sebuah strategi politik.

Nasib berbeda dialami oleh Anies Baswedan. Isu yang berhembus, adanya upaya mencekal Anies Baswedan maju sebagai Capres. Dugaan pencekalan itu terlihat dalam beberapa hal, misalnya upaya penyidikan formula E yang sedikit dipaksakan oleh KPK. Bahkan cawe-cawe Jokowi di Pilpres dikaitkan dengan upaya menggagalkan Anies. semuanya masih dugaan, apakah benar Anies dicekal?

Kekuatan politik Anies hanya bergantung pada tiga partai politik di koalisi Perubahan, yaitu tergantung Partai Nasdem, Partai Demokrat dan  PKS. Kalau salah satu di antara tiga partai itu hengkang, maka Anies akan gagal dicalonkan sebagai Presiden.

Potensi gagalnya Anies maju sebagai Capres ini tidak mengganggu pencalonan Prabowo, tetapi berpotensi menciptakan polarisasi politik sehingga kekuatan yang pernah bertarung pada tahun 2019 dengan sendirinya akan kembali ke kelompoknya.

Betul bahwa hari ini banyak orang yang mengkerumuni Prabowo karena isu tiga pasangan calon. Tetapi apabila pasangan calon hanya dua, misalnya Anies benar-benar berhasil dicekal atau batal dicalonkan, maka Prabowo vs Ganjar akan mengerucut.

Pertanyaannya, kalau pasangan calon Presiden hanya Prabowo dan Ganjar, apakah orang-orang yang hari ini datang memuji Prabowo akan tetap mendukungnya atau mereka akan pergi ke tempat asalnya secara politik?

Prabowo harus menarik diri ke tengah, tidak terlalu terjebak pada kasak-kusuk politik. Lebih penting lagi harus keluar dari isu rivalitas politik, lebih-lebih isu “menjegal Anies”. Sebab kalau Prabowo ada dalam barisan itu yang memungkinkan pilpres hanya diikuti oleh dua pasangan calon maka kelompok politik yang mendukung Prabowo 2019 akan Kembali dan kelompok pendukung Ganjar yang mendukung Jokowi 2019 akan solid. Polarisasi politik akan sama bahkan lebih menegangkan lagi nanti di tahun 2024 apabila terwujud dua pasang calon.

Menurut saya, mencekal Anies atau ramai-ramai berupaya menggagalkan Anies sebagai calon presiden, sangat tidak diharapkan, karena dua pasangan calon akan menciptakan polarisasi dan dengan polarisasi itu terjadi permusuhan secara politik. Kalau Prabowo juga ikut dalam upaya itu, maka dia sendiri bisa diduga menjebak diri pada permainan orang-orang yang selama ini tidak senang kepada dirinya.

Sebagai pendukung Prabowo  dari tahun 2014 dan 2019, bahkan di tahun 2019 saya melakukan banyak hal baik melalui tulisan maupun gerakan politik, berharap Prabowo tidak mengulangi kesalahan yang sama dan terjebak pada euforia migrasi dukungan. Boleh jadi itu jebakan.

Kalau migrasi pendukung Jokowi ke Prabowo itu benar untuk memenangkan Prabowo sebagai presiden di tahun 2024, itu keberuntungan yang sangat luar biasa, tetapi kalau itu hanya sekadar taktik politik tentu ini akan berbahaya. Bisa saja mereka tiba untuk mendukung karena mereka bersepakat untuk mencekal Anies misalnya.

Anies dan Prabowo memiliki sumber pendukung yang hampir sama. Dari Sebagian pendukung Anies, mereka adalah orang yang membela dan mendukung Prabowo di tahun 2019. Pendukung Prabowo juga masih dari kalangan yang sama.

Kalau pilpres dilaksanakan dengan tiga pasangan calon, baik pendukung Anies maupun pendukung Prabowo akan Bersatu apabila salah satu di antara dua orang ini masuk putaran kedua.

Seperti yang dikatakan oleh Eep Saifullah Fatah, dia menduga kalau Pilpres diikuti oleh tiga pasangan, maka pada putaran pertama Ganjar akan menang. Kata Eep, kalau Anies masuk ke putaran kedua, maka Anies yang Menang dan kalau Prabowo yang masuk, maka Prabowo yang akan menang.

Analisa politik semacam ini harus diperhatikan dengan baik. Mencekal Anies artinya menciptakan Kembali polarisasi lama, belum tentu presiden Jokowi mendukung Prabowo di ujung nanti, begitu juga kepada Ganjar. Tetapi perlu diingat Jokowi adalah kader PDIP, Ganjar adalah Kader PDIP, keduanya PDIP, sama-sama dari Jawa Tengah. siapa Prabowo? hanya pembantu presiden yang sudah diberi jatah dan kedudukan oleh Jokowi.

Saya ucapkan dalil tersebut secara jujur, sebagai ingatan kita bahwa politik itu selalu dimulai dari kepentingan dan diakhiri dengan kepentingan. Secara pribadi saya masih sangat respect pada Prabowo. Dia adalah seorang jenderal yang moderat, dengan kapasitas intelektual yang bagus. Yang paling penting, dia jujur dalam politik, tidak dendam dan sangat terbuka kepada semua lawan politiknya.


Koalisi Sedang Bimbang

Mari kita kembali ke tahun 2022 sekitar kasak-kusuk politik pilpres dimulai. Pada 14 Agustus 2022 Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) gabungan dari tiga partai yaitu PAN, PPP, dan Golkar. Koalisi ketiga partai itu tidak memperlihatkan tanda-tanda akan mengusung calon dari kader masing-masing. Golkar misalnya ingin mengusung Airlangga Hartanto Ketua Umumnya sebagai Calon Presiden, namun elektabilitas Airlangga sangat kecil untuk bargaining calon presiden. Pada Akhirnya “koalisi dadakan” yang selalu menunggu “petunjuk presiden” itu mulai mencari jalan masing-masing.

PAN dan Golkar akhirnya mendeklarasikan Prabowo sebagai Capres. Sementara PPP, mulai menjajakan nama Sandiaga Uno sebagai bakal calon wakil Presiden ke Ganjar dan PDIP. Tapi beberapa hari lalu PDIP mempersilakan PPP hengkang dari koalisi apabila masih ngotot mengusulkan nama Sandi sebagai calon Wakil Presiden.

Sebelum mendeklarasikan Prabowo, Golkar dirundung masalah internal dengan berkembangnya isu mengenai Musyawarah Nasional Luar Biasa untuk menggantikan Airlangga dari posisi ketua Umum. Apalagi Airlangga sudah diperiksa oleh Kejaksaan Agung dalam kasus korupsi Minyak Goreng.

Di tempat lain Koalisi Gerindra dan PKB meskipun sudah semakin gemuk dengan bergabungnya PAN dan Golkar, tidak otomatis koalisi Kebangkitan Indonesia Raya itu menjadi aman. Dengan bergabungnya dua partai itu, komitmen politik untuk mengusung Muhaimin Iskandar sebagai Wapres berada dalam rebutan partai koalisi. Kebimbangan politik semakin menjadi-jadi.

Dalam kebimbangan politik, koalisi Kebangkitan Indonesia Raya ini menggandeng partai kecil seperti PBB yang sudah mendeklarasikan mendukung Prabowo sebagai capres, Partai Gelora meskipun belum melakukan deklarasi tapi tubuh politik Anis Matta dan Fahri Hamzah condong ke Prabowo.

Suasana kebisingan partai-partai tidak mempengaruhi PDIP, partai itu masih tenang, meski sekali-sekali memanggil kader untuk “diadili” karena condong ke capres yang tidak diusung PDIP. setelah mendeklarasikan Ganjar sebagai Presiden banyak politisi senior partai itu dipanggil di minta klarifikasi. PDIP sibuk melakukan klarifikasi. Meski demikian, PDIP tidak ikut kasak-kusuk mencari teman koalisi karena partai itu bisa mengusung sendiri capresnya. Sama dengan Capres Lain PDIP masih belum menentukan Cawapres Ganjar.

Koalisi Perubahan yang digagas oleh Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS pun tidak kalah khawatirnya dari yang lain. Tidak seperti Ganjar dan Prabowo yang sedang merebut legitimasi politik Jokowi, koalisi ini justru bimbang karena mereka melihat ada gelagat politik untuk menggagalkan Anies maju. Koalisi ini harus kerja extra dan hati-hati. Sebab kalau salah satu dari tiga partai koalisi ini keluar, maka Anies akan gagal maju sebagai calon presiden. Tentu yang sangat sulit adalah menemukan kata sepakat mengenai calon wakil presiden yang belum kunjung diumumkan. Perlu hati-hati, sedikit saja keliru bisa saja salah satu partai akan hengkang, dan koalisi bubar.

Dari semua kebimbangan politik ini apakah Prabowo, Anies dan Ganjar akan menjadi rival politik di tahun 2024, atau hanya dua pasangan calon yaitu Ganjar dan Prabowo? Semua masih dinamis sambil minum kopi, mari kita tunggu kejutan politik selanjutnya.(Furqan Jurdi, Ketua Umum Pemuda Madani)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.