Menyorot Kasus Penganiayaan Mario Dandy Satrio kepada David Ozora

Ilustrasi penganiayaan.
Sumber :
  • www.pixabay.com/bykst

VIVA – Aksi penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy Satriyo adalah bentuk dari pergeseran nilai sosial pada masyarakat Indonesia. Penganiayaan yang dilakukan Mario Dandy terhadap korban David Ozora merupakan salah satu contoh bentuk dari kekerasan anak muda yang tidak dapat disepelekan begitu saja dan menunjukkan bagaimana sebuah kenakalan yang berakhir dengan kekerasan, serta mengandung unsur tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku.

Menelusuri kronologi penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy ini, perempuan dianggap sebagai “dalang”, yang membuat laki-laki mampu melakukan kekerasan, dan telah menjadi fenomena sosial yang dikenal sebagai sindrom Blame the Women.

Dilansir dari The Washington Post berupa wawancara psikiater forensik Elissa Benedek dari Universitas Michigan bahwa sindrom Blame the Woman adalah pelabelan negatif pada perempuan. Dalam pelabelan negatif ini, perempuan dicap sebagai Bad Woman atau Bad Witches. Melalui cap ini masyarakat memandang perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya suatu kekerasan atau kekejian.

Adapun ciri utama dari sindrom Blame the Woman ini adalah perempuan dianggap memiliki kekuatan yang sangat besar sampai bisa memengaruhi orang lain berbuat kejahatan, sehingga perempuan tak lain adalah dalang atas segala kehancuran. Perempuan dianggap begitu “licik” hingga bisa terlibat secara tidak langsung dalam melakukan perbuatan jahat dan pantas untuk dihakimi, disalahkan, dan dikecam.

Pandangan seperti ini terhadap perempuan, tak lain adalah beban gender, perempuan dalam masyarakat diharuskan menjadi baik. Jika perempuan gagal memenuhi standar, mereka akan dianggap sebagai perempuan yang tidak baik dan tidak bermartabat.

Kekerasan dan gaya hedonisme yang dilakukan Dandy merupakan pola pengasuhan yang salah dari orang tua. Pola asuh yang cenderung permisif, misalnya, anak serba boleh, tidak memberikan aturan yang jelas dan tegas, serta cenderung memanjakan, sehingga anak tega melakukan kekerasan seperti itu dan memperlihatkan bahwa anak mempunyai “power” dan haus akan penghargaan serta pengakuan bagi dirinya dari lingkungan sekitar.

Kasus ini juga menunjukkan bahwa pola pengasuhan sangat berpengaruh pada perilaku seorang anak. Peran keluarga dan lingkungan sekitar sangat penting dalam tumbuh kembang kepribadian seorang anak.

Kasus ini menjadi pembelajaran bagi para orang tua untuk membantu anak-anaknya mampu mengendalikan emosi di saat marah, sehingga tidak bertindak gegabah yang merugikan diri sendiri dan membahayakan orang lain. Karakteristik remaja yang secara emosi masih labil atau tidak memikirkan dampak panjang, juga mendorong remaja kian mudah untuk melakukan aksi kekerasan terhadap sesamanya.

Demi mencegah semakin banyaknya tindak kekerasan yang dilakukan oleh remaja, peran orang tua dan lingkungan sekitar sangat penting dalam mengajarkan anak mengenai budi pekerti, empati, memberikan contoh dalam pemecahan masalah dengan orang lain, dan cara interaksi dengan lingkungan sosial menjadi sangat penting untuk membentuk karakter anak sehingga tidak berperilaku buruk. Namun, jika sang anak yang sudah cukup dewasa dan melakukan tindakan pidana wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya di muka hukum.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.