ChatGPT - “When Love and Hate Collide”

Penggalan obrolan dengan ChatGPT. Sumber gambar: © arthead – stock.adobe.com, editing oleh @earw4n
Sumber :
  • vstory

VIVA – Buat penggemar musik khususnya musik cadas atau rock, judul artikel ini tentu akan langsung mengingatkan kita pada lagu bernuansa balada yang dibawakan oleh group musik rock yang berasal dari negerinya Ratu Elizabeth II …, eh, maaf, Raja Charles III, yaitu Def Leppard.

Lagu balada yang buat sebagian orang mungkin terdengar rada mellow ini bercerita tentang hubungan sepasang kekasih yang penuh konflik dan ketegangan, namun tidak dapat berpisah satu sama lain karena perasaan cinta dan gairah yang sangat intens. Paradoks cinta dan benci digambarkan dengan sangat baik di sini, apalagi karena liriknya dibawakan oleh suara khas sang vokalis Joe Elliot dengan iringan petikan gitar Phil Collen dan gebukan drum legendarIs Rick Allen.

Penggambaran dua emosi yang saling bertentangan ini jugalah yang mungkin saat ini bisa disematkan pada ChatGPT sebagai salah satu contoh teknologi kecerdasan buatan (AI) disruptif yang dicintai sekaligus ditakuti atau dibenci.

Jika dalam seri pertama artikel ini penulis sudah memberikan gambaran berbagai contoh penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari (yang mungkin kita sendiri juga tidak sadar sudah sering kita gunakan), maka sangat wajar apabila kita berasumsi bahwa AI ini pun juga pada akhirnya akan merambah dunia pendidikan dengan pengaruh yang lebih besar lagi.

Sebagaimana halnya teknologi disruptif yang mampu mengubah cara kerja kita dengan memperkenalkan aliran kerja yang lebih terotomatisasi, lebih efisien, serta memberikan alternatif solusi yang variatif, maka teknologi AI pun akan membawa perubahan yang sama dalam dunia pendidikan.

Penggunaan teknologi sebagai alat bantu pembelajaran dalam dunia pendidikan sebenarnya bukan hal yang baru ataupun aneh. Sebagai alat bantu pembelajaran, penggunaan laptop, tablet, ataupun smartphone bisa menampilkan materi-materi pelajaran berbentuk audio-visual yang lebih hidup dan interaktif sehingga membantu pemahaman siswa terhadap materi ajar.

Dunia pendidikan pun sudah menggunakan teknologi jaringan, web, pengolahan multimedia, kompresi data, dan sebagainya secara lebih intensif dalam tiga tahun terakhir sejak pandemi Covid 19 merebak. Ini misalnya ditunjukkan dalam bentuk penggunaan platform e-learning daring / online, tatap muka online dengan menggunakan platform video conference, atau bahkan penggunaan teknologi metaverse untuk menggelar kelas virtual baik itu secara langsung ataupun tidak.

Platform E-Learning bukan sekadar tempat untuk menempatkan materi pembelajaran bagi siswa, tapi juga mengubah bagaimana siswa bisa menentukan pace atau laju belajarnya sendiri sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Pengalaman belajar siswa menjadi lebih personal dengan adanya bantuan platform E-Learning ini. Pengajar juga bisa memanfaatkan fasilitas evaluasi pada platform E-Learning untuk melakukan assessment baik itu secara manual, otomatis, ataupun gabungan dari keduanya.

Aktivitas siswa dalam belajar, melakukan pengumpulan tugas, kuis, dan sebagainya yang terekam dalam platform e-learning juga bisa menjadi bahan untuk analisis kemajuan pencapaian pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar seperti ini tentu sangat kontras dengan cara belajar tradisional berbasis buku (kertas) yang terbatas hanya pada interaksi di dalam ruangan kelas (fisik) antara murid dan guru.

Di lain pihak, penggunaan teknologi dalam dunia pendidikan ini, meskipun memiliki pengaruh yang cukup signifikan, tetap berada pada kapasitas sebagai penunjang kegiatan belajar mengajar secara keseluruhan. Artinya, keberadaan guru sebagai fasilitator dalam kegiatan belajar mengajar tidak bisa digantikan sepenuhnya oleh teknologi-teknologi di atas.

Lalu, bagaimana dengan penggunaan teknologi kecerdasan buatan AI dalam pendidikan?

Ini pun juga sebenarnya bukan hal yang luar biasa, karena kalau kita merujuk pada teknologi kecerdasan buatan yang digunakan oleh mesin pencari Google saat ini, maka sebenarnya teknologi kecerdasan buatan ini pun juga sudah memiliki intensitas penggunaan dan dampak yang cukup signifikan dalam dunia pendidikan.

Jadi, jika dalam beberapa waktu terakhir ini kita mendengar adanya teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT yang digunakan oleh siswa untuk membuat tugas sekolah, esai, atau paper, kita sebenarnya tidak perlu kaget. Itu adalah progresi yang lumrah sebagai dampak adanya perkembangan teknologi. Hanya memang perlu diakui bahwa dengan penggunaan teknologi pemrosesan bahasa alami atau natural language processing (NLP) yang digunakan oleh ChatGPT maka teks yang dihasilkan oleh ChatGPT ini terasa lebih alami, lebih berisi, atau terlihat ‘lebih cerdas’ ketimbang hasil yang diberikan oleh Google search.

Saking ‘cerdasnya’ ChatGPT ini, perusahaan penerbit Springer Nature melakukan kerjasama dengan sebuah perusahaan penulisan kecerdasan buatan dalam penerbitan sebuah buku penelitian yang sepenuhnya ditulis oleh AI. Sebuah artikel di penerbitan berkala Scientific American bahkan membahas percobaan yang dilakukan oleh penulisnya dalam menggunakan model bahasa GPT-3 (Generative Pre-trained Transformer yang digunakan oleh ChatGPT) untuk menulis sebuah makalah akademis tentang dirinya sendiri.

Aspek etika dalam dunia pendidikan menjadi isu yang lebih dominan dengan adanya ChatGPT ini. Penggunaan model bahasa berskala besar yang menjadi sumber pembelajaran ChatGPT menjadikan penggunaan alat bantu ini memiliki nuansa plagiarisme pada teks yang dihasilkannya. Kemudian karena penggunaan model bahasa ini jugalah maka teks yang dihasilkan cenderung kurang orisinil karena adanya kecenderungan keluaran teks yang bersifat repetitif.

Kedua hal inilah yang dianggap menghambat tercapainya tujuan pembelajaran siswa, karena tidak adanya proses kreatif, pemikiran kritis, dan independensi intelektual. Di sinilah kita bisa melihat bagaimana pentingnya peran seorang guru untuk bisa melakukan intervensi agar capaian pembelajaran siswa masih tetap bisa dicapai.

Dan memang, teknologi yang digunakan seperti dalam ChatGPT ini masih menunjukkan beberapa kekurangan. Misalnya, untuk saat ini, ChatGPT (dan aplikasi-aplikasi lain yang sejenis) masih belum dapat mengkomunikasikan ide dan konsep yang kompleks. Kemudian, sesuai dengan prinsip dasar desain dari teknologi ChatGPT itu sendiri, maka sebenarnya teknologi tersebut masih belum memiliki pahamaman serta kreativitas yang memadai terhadap bahasa dan pikiran manusia (yang pada intinya memang benar-benar kompleks).

AI dalam dunia pendidikan seharusnya bisa digunakan untuk membantu meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Misalnya, karena teknologi AI mampu memproses data dalam jumlah yang signifikan, maka teknologi ini bisa kita gunakan untuk mengidentifikasi pola-pola pembelajaran murid untuk memprediksi keluaran hasil pembelajaran mereka, dengan tujuan melakukan antisipasi jika seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan atau di luar dugaan. Penyerapan materi pelajaran pun bisa disesuaikan dengan laju pemahaman dan kebutuhan siswa masing-masing, sehingga learning experience yang dirasakan oleh pelajar bersifat lebih personal (‘personalized learning’).

Kualitas pembelajaran pun juga bisa menjadi target penggunaan AI dalam dunia pendidikan. Misalnya, AI bisa digunakan untuk membantu tenaga pengajar mengidentifikasi permasalahan belajar yang dialami oleh siswa. AI ini pun juga bisa membantu pengajar dalam proses penilaian dan evaluasi, serta memprediksi capaian yang akan diraih oleh pelajar.

Dari sini, jika ada perbaikan yang perlu dilakukan, atau jika ada potensi permasalahan dalam proses belajar siswanya, maka pengajar dapat mengidentifikasi hal-hal tersebut sedini mungkin dan melakukan tindakan koreksi yang dibutuhkan sebelum benar-benar terlambat. AI pun bisa menjadi teknologi pendukung dalam pemberian umpan balik secara instan kepada pengajar dan pelajar, selain juga memberikan kemudahan dalam akses informasi yang dibutuhkan.

Yang barangkali perlu diingat bahwa ke semua aspek penggunaan teknologi AI dalam dunia pendidikan seperti di atas harus dilakukan dengan catatan bahwa pengajar dan pelajar yang menggunakan teknologi AI seperti ChatGPT sudah memiliki modal dasar ilmu (knowledge) sesuai dengan bidang masing-masing. Modal dasar ilmu inilah yang akan menjadi benteng terkikisnya pola berpikir kritis dan kreatif (yang sering dikhawatirkan) jika alat bantu berbasis AI seperti ChatGPT digunakan dengan cara ditelan mentah-mentah.

Dengan kata lain, dibutuhkan adanya intervensi manusia yang berkelanjutan dalam hal ini. Diharapkan bahwa dengan cara seperti itu maka penggunaan AI dalam dunia pendidikan dapat dilakukan dengan cara yang etis dan bertanggung jawab.

Kutipan yang diambil dari ngobrol-ngobrol atau chat dengan ChatGPT di bawah ini mungkin bisa memberikan gambaran bagaimana sebaiknya kita menggunakan teknologi berbasis AI seperti ChatGPT; kutipan ini adalah respons yang diberikan oleh ChatGPT ketika penulis meminta ChatGPT untuk menggambarkan dirinya sendiri:

“…  I can provide suggestions on grammar, sentence structure, vocabulary, and even generate ideas for writing prompts. However, it's important to keep in mind that ChatGPT is just a tool, and it shouldn't replace critical thinking or research skills …  use it as a supplement to your own knowledge and expertise…”

Jadi, seperti halnya berbagai macam teknologi disruptif yang dirasakan oleh manusia sepanjang sejarah perkembangannya, seperti penggunaan api, penggunaan mesin uap, teknologi internet, dan sekarang teknologi kecerdasan buatan, kuncinya semua ada di tangan manusia. Mau dibawa untuk merusak tentu bisa, tapi secara etis tentu akan lebih baik jika semuanya itu digunakan untuk kemaslahatan bersama.

ChatGPT pun juga kurang lebih sama; terlalu mencintainya ("love") bahkan mendewa-dewakannya serta menggunakannya secara ‘membuta’ tidak akan membawa manusia pada kemajuan yang diinginkan, tetapi serta merta langsung membencinya (“hate”), tanpa terlebih dahulu mengetahui secara persis bagaimana seharusnya teknologi ini digunakan, juga sama-sama tidak bergunanya. Di sinilah bagaimana human wisdom atau kebijaksanaan manusia dibutuhkan.

Terakhir, kembali pada lagu “When Love and Hate Collide” dari Def Leppard, maka penggalan liriknya berikut barangkali bisa memberikan penutup: “… You could have a change of heart if you would only change your mind…” 

(Artikel ini merupakan bagian kedua dari seri artikel mengenai teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Bagian pertama bisa dibaca di artikel berikut: Teknologi Kecerdasan Buatan (AI): dari Fiksi ilmiah hingga Realita)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.