Teknologi Kecerdasan Buatan (AI): dari Fiksi ilmiah hingga Realita

Teknologi kecerdasan buatan meniru cara kerja otak manusia. Gambar dari © arthead – stock.adobe.com
Sumber :
  • vstory

VIVA – Hari gini siapa yang tidak kenal dengan nama James Cameron? Sutradara terkenal berkebangsaan Kanada dengan catatan karir lebih dari 40 tahun dalam dunia perfileman global ini kita kenal dari karya-karyanya seperti "The Terminator" (1984) beserta sequelnya "Terminator 2: Judgment Day" (1991), "Titanic" (1997), "Avatar" (2009), "Avatar: The Way of Water" (2022), "Aliens" (1986), ataupun "Rambo: First Blood Part II" (1985) dan "Piranha II: The Spawning" (1982).

Menurut box office Mojo https://www.boxofficemojo.com/chart/ww_top_lifetime_gross/?area=XWW&ref_=bo_cso_ac yang mencatat 10 film terlaris dunia hingga saat ini, tiga film di antaranya berasal dari garapan tangan dingin James Cameron. Istimewanya, ketiganya ini berada pada posisi empat besar, yaitu "Avatar" (posisi pertama), "Titanic" (posisi ketiga), dan "Avatar: The Way of Water" (posisi keempat).

Hal lain yang mungkin patut dicatat mengenai seorang James Cameron adalah ide kreatifnya yang cukup visioner dan boleh dibilang maju dibandingkan amannya. Ini ditunjukkan dalam film garapannya yang dirilis pada tahun 1984 (hampir 40 tahun yang lalu!), yaitu "The Terminator".

Film ini bercerita tentang seorang cyborg (yang diperankan oleh Arnold Schwarzenegger) dari masa depan yang dikirim ke masa kini untuk membunuh seorang wanita bernama Sarah Connor (yang diperankan oleh Linda Hamilton) yang akan melahirkan seorang pemimpin (manusia) bernama John Connor (diperankan oleh Edward Furlong) yang akan memimpin perlawanan melawan mesin.

 Sebagai film yang bisa digolongkan ke dalam genre fiksi ilmiah, sebenarnya "The Terminator" yang juga mengusung skenario perjalanan lintas waktu ('time travel') bukanlah yang pertama mengusung tema teknologi canggih berbasis kecerdasan buatan (artificial intelligence, AI). Dalam hal ini James Cameron mungkin sedikit kalah cepat dibandingkan dengan Ridley Scott yang mensutradarai film "Blade Runner" (1982) dan dibintangi oleh aktor ganteng Harrison Ford serta si cantik Sean Young. Kedua film ini berandai-andai bagaimana AI dan teknologi dapat mempengaruhi masa depan dan bagaimana manusia beradaptasi dengan teknologi yang canggih.

Kedua film besutan James Cameron dan Ridley Scott tersebut bisa digolongkan ke dalam film-film pioner yang bercerita tentang AI dan dampaknya pada kehidupan manusia. Selain kedua film tersebut, ada juga film-film yang serupa: "Blade Runner" (1982), "The Terminator" (1984), "RoboCop" (1987), "The Iron Giant" (1999), "Bicentennial Man" (1999), "The Matrix" (1999), "A.I.

Sebenarnya, kalau boleh ditarik lebih awal lagi, maka film-film dari keluarga "Star Trek" di tahun 1960-an dari seorang Gene Rodenberry ataupun "Star Wars: A New Hope" (1977) dari seorang George Lucas juga menggambarkan entitas berbasis mesin yang memiliki kecerdasan buatan (dengan segala keterbatasannya).

Kesemua film tentang AI di atas rata-rata mengeksplorasi bagaimana AI dan teknologi bisa mempengaruhi kehidupan manusia. Interaksi antara manusia dan AI serta permasalahan etika dan moral yang terkait dengan pengembangan dan penggunaan teknologi digambarkan dalam berbagai setting dan latar belakang cerita, karakter, serta genre yang berbeda-beda antara satu film dengan film yang lainnya. Jika, misalnya, dalam "Blade Runner" masa depan digambarkan dengan suram dan kelam dalam nuansa kritik terhadap teknologi dan eksploitasi AI, sementara serupa dengan ini di "The Terminator" atau "The Matrix" AI digambarkan sebagai 'musuh' yang mengancam eksistensi manusia, maka AI dalam "Bicentennial Man" ataupun "Artificial Intelligence" digambarkan sebagai 'teman' bagi manusia serta memiliki perasaan dan kemampuan untuk membangun hubungan emosional dengan manusia, dan bisa memiliki fungsi sebagai asisten yang memiliki sifat-sifat positif seperti loyal, setia, dan baik hati terhadap manusia.

Di sisi lain, aspek filosofis dan etika dari AI digambarkan dalam "I, Robot" ataupun "Ex Machina" yang memperdebatkan hak dan kewajiban sebuah entitas yang memiliki kecerdasan buatan, dan bagaimana manusia seharusnya berinteraksi dengan entitas ini. Pertanyaan-pertanyaan mengenai sejauh mana manusia boleh menciptakan dan memanfaatkan AI ini digambarkan dalam  hampir semua film bertemakan AI di atas.

AI dalam film-film di atas juga digambarkan dalam berbagai macam varian. Beberapa film menggambarkan AI sebagai robot atau mesin, sedangkan film lain menggambarkan AI sebagai program atau sistem komputer. Kita mungkin tidak sadar, bahwa AI dalam kehidupan nyata kita saat ini sebenarnya sudah berada di antara kita tanpa kita sadari dan sudah kita pergunakan.

Sebagai contoh, ketika kita berjalan-jalan dan mal untuk sekedar cuci mata di toko sepatu ataupun baju, sering kali tiba-tiba di HP atau smartphone kita muncul iklan tentang sepatu dan baju tersebut, padahal kita tidak merasa menggunakan aplikasi apapun. Tidak jarang, media sosial kita tiba-tiba dipenuhi oleh tawaran produk terkait, dan terhubung langsung dengan aplikasi belanja online yang ada di smartphone kita. Ini adalah salah satu contoh bagaimana AI bekerja saat ini. Tentu ini bukanlah AI dalam bentuk robot atau cyborg seperti yang ada pada film-film fiksi ilmiah, tetapi ini adalah AI dalam bentuk program komputer berupa sistem rekomendasi (recommender system).

Pengguna fanatik gadget seperti smartphone tentu juga sudah sangat familiar dengan asisten virtual seperti Google Assistant, Siri, ataupun mungkin Alexa. Dengan asisten virtual ini, maka kita bisa 'mendelegasikan' pekerjaan seperti pencarian web, pembukaan aplikasi, panggilan telepon, bahkan pengetikan pesan teks dan sebagainya tanpa harus menggunakan tangan dan jari-jemari kita; alih-alih, pekerjaan-pekerjaan tersebut cukup dilakukan dengan memberikan 'perintah' secara verbal yang relevan. Hal ini dimungkinkan karena asisten virtual tersebut diperlengkapi dengan teknologi pembelajaran mesin (machine learning) dan pengenalan suara, sehingga asisten virtual (yang tidak lain adalah program komputer) mampu 'memahami' dan memproses perintah suara yang kita berikan.

Dunia bisnis dan industri kita saat ini juga sudah familiar dengan penggunaan AI ini. Misalnya, AI digunakan sebagai alat bantu perusahaan untuk meningkatkan kualitas pelayanan terhadap customer, proses pengambilan keputusan, pengaturan jadwal dan peningkatan efisiensi. Pada website-website resmi perusahaan ataupun aplikasi-aplikasi mobilenya, tidak jarang kita temukan berbagai macam bentuk asisten virtual yang bisa membantu kita (sebagai customer) untuk mencari informasi produk dan layanan serta mencari solusi permasalahan yang mungkin kita hadapi. Di dunia manufaktur, AI bisa kita gunakan untuk mengendalikan mesin-mesin produksi, pengawaan kualitas produk, serta analisis data.

Bagi pengendara mobil/motor ataupun driver ojol, maka penggunaan aplikasi navigasi yang populer seperti Google Maps atau Waze saat ini sudah seperti menjadi hal yang wajib. Dengan aplikasi-aplikasi ini, maka kita bisa mengetahui route jalan yang perlu dihindari karena macet ataupun mengetahui perkiraan waktu sampai di tujuan. Bagi driver ojol, tentu ini akan sangat membantu tingkat pelayanan mereka kepada pelanggan.

Di sini, teknologi AI dalam bentuk machine learning-lah yang digunakan; pada Waze, misalnya, teknologi ini dapat mempelajari pola lalu lintas dengan memanfaatkan data dan input dari pengguna-penggunanya secara real time. Teknologi sistem rekomendasi juga digunakan oleh Google Maps untuk merekomendasikan lokasi-lokasi tertentu seperti lokasi bisnis, hiburan, ataupun fasilitas publik yang sekiranya sesuai dengan kebutuhan ataupun preferensi penggunanya.

Google search juga mungkin sudah menjadi alat bantu wajib bagi semua orang saat ini. Mesin pencari ini menjadi pintu pertama hampir semua orang dalam mencari informasi yang dibutuhkan. Untuk emak-emak, misalnya, mesin pencari ini bisa menjadi tahap awal untuk mencari resep makan siang yang enak. Hasil pencarian resepnya nanti bisa diarahkan ke platform video streaming YouTube, misalnya, sehingga yang didapat tidak hanya resep makanan dalam bentuk tertulis tapi juga instruksi dalam bentuk audio-visual yang bisa dicontoh langsung.

Google search juga bisa menjadi alat favorit bapak-bapak dalam mencari tempat hangout yang nyaman sambil berbisnis ataupun sekedar bersantai setelah bekerja.

Untuk pelajar dalam berbagai tingkatan, Google search sudah menjadi alat bantu yang haram ditinggalkan dalam mengerjakan tugas, PR, skripsi, bahkan kuis dan ujian. Google search, tanpa kita sadari, sudah menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang membantu mesin pencari ini untuk lebih memahami permintaan penggunanya.

Dengan lebih paham, maka Google search bisa menyesuaikan hasil pencarian dengan kebutuhan si pengguna dan menyajikan hasil yang relevan. Teknologi AI pada Google search, yang bertumpu pada teknologi pembelajaran mesin dan deep learning, juga membantu pengurutan hasil pencarian sehingga hasil yang paling relevan bagi penggunanya akan ditempatkan di urutan teratas.

Dari berbagai contoh penggunaan AI dalam kehidupan kita sehari-hari saat ini, meskipun AI tidak tampil dalam bentuk yang 'glamor' seperti yang digambarkan dalam film-film Hollywood, tapi AI dalam bentuk yang mungkin lebih bersifat virtual atau tidak kasat mata juga mampu memberikan dampak dan pengaruh yang cukup signifikan pada manusia. AI dalam bentuk yang tidak kasat mata ini sudah menjadi teknologi disruptif bagi kehidupan kita karena AI memiliki kemampuan untuk mengubah cara kerja kita dengan memperkenalkan aliran kerja yang lebih terotomatisasi, lebih efisien, serta memberikan alternatif solusi yang variatif.  (Catatan: Tulisan ini adalah artikel pertama dari seri dua artikel tentang teknologi kecerdasan buatan)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.