Demokrasi Tanpa Digitalisasi?

Ilustrasi aktivitas di media sosial.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA  – Sesuai dengan countdown timer yang terpasang di portal Komisi Pemilihan Umum (KPU), per awal tahun ini 2023, waktu kita menuju pesta demokrasi hanya ‘tersisa’ 408 hari lagi. Jika dikonversikan ke hitungan tahun menjadi 1 tahun, 1 bulan, dan 13 hari. Waktu tersebut terus bergerak menuju hari H yang telah ditetapkan pada tanggal 14 Februari 2024. 

Untuk itu, kata tersisa sengaja penulis berikan tanda petik. Alasannya tidak lain karena mengingat kondisi psikologis para politisi yang akan berjuang memperebutkan kursi idamannya masing-masing. Perjalanan hari itu bagi mereka sungguh sangat terasa sempit. 

Apalagi bagi calon kandidat yang belum mempunyai tingkat popularitas yang tinggi. Pun andaikata memiliki popularitas tinggi, toh belum tentu elektabilitasnya bagus. Elektabilitasnya bagus pun, belum tentu kelak dicoblos oleh masyarakat. Ketika ada yang mencoblos nantinya, juga belum tentu menang.

Singkat kata. Butuh stamina yang kuat dan amunisi yang tidak alakadar. 

Sebagai petarung, kita yakin mereka tidak akan mudah menyerah. Untuk menang, banyak faktor yang menentukan. Ditambah lagi dengan derasnya arus informasi yang didukung oleh perkembangan pengguna internet di Indonesia. 

Setidaknya, menurut temuan dari survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet di Indonesia tumbuh sebesar 77,02%. Sehingga jumlah pengguna internet Indonesia mencapai 210.026.769 jiwa. Hampir sama dengan jumlah penduduk Indonesia sendiri. 

Kondisi ini bisa menjadi peluang sekaligus tantangan bagi kita yang hidup di alam demokrasi. Termasuk para politisi dengan partai politiknya yang kelak akan ikut serta dalam kontestasi politik di 2024. 

Tidak cukup dengan memperindah dan update di official website, mereka juga harus rajin ‘kongkow’ di berbagai sosial media yang ada. Mulai dari rajin membuat postingan, sampai balas-membalas komentar-komentar yang berdatangan. 

Tidak cukup sampai di sini, mereka juga harus mengasyikkan diri di ruang maya itu. Mengikuti gaya follower yang super gaul, meskipun hanya sendiri sudah memasuki fase jadul. 

Tidak peduli seberapa persen tingkat gaptek-nya. Interaksi melalui jaringan digital memang sudah menjadi kewajiban. Sampai akhirnya, tidak hanya politisi namun banyak masyarakat Indonesia, terutama figur publik atau yang ingin menjadi figur publik, baik secara personal maupun kelembagaan memiliki ‘tangan kanan’ dalam pengelolaan sosial media dan/atau webnya.

Tanpa disadari juga, kita pun mulai mengenal berbagai profesi yang dulunya sempat tak terpikirkan. Muncul tren-tren profesi baru. Tidak hanya memunculkannya saja, tren permintaan pada profesi ini juga semakin meningkat drastis. Bahkan, spesialis-spesialis baru ini telah bertransformasi menjadi unit-unit kerja baru. 

Suka atau tidak, penuhnya ruang-ruang digital ini memiliki pengaruh yang signifikan bagi perkembangan demokrasi. Sesuai dengan pemahaman jamaknya, demokrasi diterjemahkan sebagai dijaminnya hak warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melesatnya interaksi warga ini kemudian menuntut semua orang tanpa terkecuali untuk mengambil peluang: untung dan tenar.

Di satu sisi, kita bisa melihat siapapun mempunyai peluang untuk ‘berhasil’ hanya dengan postingan-postingannya di dunia maya. Tidak seberapa penting asal usulnya, namun ketika timing-nya tepat, tidak ada yang bisa menahan lajunya untuk bisa dikenal. Dipuja banyak orang. Viral. Beragam benefit didapat.

Begitu juga sebaliknya. Siapapun yang tadinya dikenal dan dipuja banyak orang bisa mengalami titik baliknya. Jika postingannya ‘tersandung’ atau tiba-tiba ada kesalahan fatal yang tidak diterima oleh segelintir netizen. Bagaikan bom waktu semua itu akan viral juga. Viral yang menyebabkan jutaan follower yang tadinya menjadi penggerak like, love, and save akan berbalik arah. Unfollow. Menjadi haters

Akhirnya kondisi yang demikian membuat kehidupan semakin riuh dengan berbagai pendapat. Suara-suara sudah tak terbendung. Orang-orang bebas berpendapat tanpa perantara, tanpa batas waktu, dan bahkan tanpa saringan kata. 

Bahkan di antaranya tanpa ragu berani memberikan vonis akhir. Baik atau buruk. Jika terkait dengan para kandidat yang akan mencalonkan diri. Netizen pun bisa memberikan dorongan: dipilih atau jangan.

Dengan demikian, jangan heran dengan semakin mendekatnya jarak pesta demokrasi yang akan kita rayakan, maka akan semakin ramai panggung-panggung tebar kebaikan hadir di jagat digital. 

Terlepas itu hanyalah sebuah pencitraan atau bukan. Terlepas suara itu berdasarkan kebenaran atau hanya sebatas dengungan para buzzer. Kelak, suara netizenlah yang akan menguliknya.

Fakta ini tidak bisa dihindari. Sebuah konsekuensi logis hidup di alam demokrasi yang telah dibumbui dengan akselerasi arus informasi yang di antaranya berwujud  ratusan juta akun sosial media yang ada.  (Syafbrani ZA, Praktisi Pendidikan & Konsultan Publikasi, Bergiat di Universitas Trilogi Jakarta)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.