Pisanomic, GDP, Hanya Mitos
- vstory
VIVA - Tahun 2000 Jerman gempar. Nilai PISA siswa-siswa Jerman di bawah negara-negara OECD. Negara itupun berbenah cepat. Kritikan-kritikan dari dalam negeri dilayangkan dengan keras kepada pemerintah. Sistem pendidikan Jerman dinilai diskriminatif terhadap imigran. Bukan hanya Jerman, semua negara peserta PISA jadi insecure terhadap pendidikannya. Terkecuali negara-negara dengan rangking tinggi. India, menjadi negara yang tidak terima dengan nilai PISA di tahun 2009. India tidak terima peringkatnya duduk di 72 dari 73 negara. Itulah keikutsertaan India yang pertama sekaligus terakhir dalam sejarah test PISA sejak tahun 2000 hingga 2022. Entah nanti di 2025 India akan bergabung sebagai negara partisipan atau tidak belum ada kabar-kabar ke arah sana. Pemerintah India dalam konfrensi pers terakhir, membatalkan keikutsertaan India di tahun 2022 akibat ketidaksiapan siswa-siswa India karena pandemi Covid 19
Teori bahwa GDP yang tinggi dalam hal ini jelas saja didominasi oleh negara maju secara rasional bisa diterima. Negara-negara maju Merdeka ratusan tahun duluan dibandingkan negara miskin dan berkembang. Mereka bahkan sudah membangun sistem pendidikannya di saat negara miskin dan berkembang bahkan sejak masih menjadi negara kolonisasi mereka. Tahun 1800 an dan tahun 1900 an pemimpin -pemimpin Indonesia kuliah di Belanda dengan status bahwa Indonesia masih jajahan Belanda. Sehingga tidak heran di saat negara-negara miskin dan berkembang baru melangkah, negara-negara maju sudah mapan dengan segala macam kemajuan yang sudah ada ratusan tahun dan jauh melangkah di hadapan negara-negara miskin dan berkembang tersebut.
Ketika merdeka pun, tidak serta merta negara-negara dunia ketiga itu langsung bangkit membangun infrastruktur. Tidak, mereka masih harus menghadapi kelaparan dan penyakit-penyakit mematikan serta kas negara yang kosong. Walhasil bebas dari penjajahan demografi dan pemerintahan, masuk ke fase kedua yaitu penjajahan dalam bentuk utang. Seperti kita ketahui bersama, negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional isinya adalah negara-negara yang di zaman kolonialisme juga yang menjajah negara-negara dunia ketiga tersebut hanya saja saat itu bentuk hubungan antara negara-negara ini sudah lebih setara.
Sehingga kalau dikatakan bahwa pendidikan negara-negara berkembang tertinggal dua ratus tahun bahkan tiga ratus tahun wajar-wajar saja. Bukan cuma pendidikan bahkan segala lini. Tidak perlu insecure kalau dikatakan pendidikan kita masih jauh tertinggal karena dikaitkan dengan kemajuan ekonomi.
Di tengah-tengah teori GDP yang tinggi mempengaruhi rangking pendidikan. Munculah Vietnam. Negara yang masih memar akibat perang hingga tahun 1975 ini, membuat kejutan. Tahun 2012 Vietnam mengalahkan rangking negara-negara maju di PISA. Amerika, Inggris, Prancis , dan Australia tekuk lutut di bawah rangking Vietnam. Vietnam yang di tahun 2012 bahkan menjadi partisipan dengan GDP terendah melejit jauh meninggalkan negara-negara GDP tinggi. Segala teori-teori ekonomi luluh lantak dihajar rangking PISA Vietnam.
Tidak cuma itu di tahun 2015 dan tahun 2018 rangking Vietnam tetap moncer. Dua peneliti bank dunia Suhas D. Parandekar dan Elisabeth K. Sedmik menguraikan bahwa siswa-siswa Vietnam sangat keras dalam belajar di sekolah. Bahkan mengambil pelajaran di luar kelas dalam jumlah jam yang cukup tinggi yaitu 16 jam seminggu. Vietnam mengajarkan banyak hal di tes PISA dan meruntuhkan teori GDP adalah penentu prestasi suatu negara di Tes ini. Sebagai sesama negara Asean, sudah saatnya kita studi banding ke Vietnam. Tidak usah jauh-jauh main ke Eropa. Secara geografis kita dan Vietnam memiliki banyak kesamaan di samping status yang sama-sama negara berkembang.
Vietnam mengajarkan kepada dunia, bahwa dites PISA yang bergengsi, hukum PISANOMIC tidak selamanya berlaku. Kita tidak bisa menyamaratakan bahwa ekonomi satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan berprestasi di dunia internasional. Ada faktor lain yang sangat berperan yaitu kerja keras.