Quo Vadis Otonomi Desa di Indonesia

Zainul Rahman (Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, Fisip, Universitas Padjadjaran)
Sumber :
  • vstory

VIVA – Otonomi desa secara normatif  telah ada sebab memiliki landasan hukum, di antaranya termaktub dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Secara mendasar, otonomi desa menekankan pada otoritas dan kewenangan bagi desa untuk melakukan tata kelola urusannya berdasarkan hak asal usul atau kekhasannya masing-masing. Hadirnya otonomi desa pada dasarnya diinisiasi untuk memberikan keleluasaan bagi desa dalam berinovasi dan memajukan serta memandirikan desa, khususnya dalam bingkai negara kesatuan.

Selanjutnya, jika merujuk pada UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, keberadaan desa mengarah pada wilayah yang mendapatkan otonom. Kebijakan tersebut juga mengimplikasikan adanya manajemen pemerintahan desa yang diserahkan sepenuhnya dan mandiri kepada desa melalui skema buttom up agar desa dapat berdiri secara mandiri dan menghadirkan kesejahteraan bagi masyarakat desa.

Berikutnya, meskipun otonomi desa telah diinisiasi melalui adanya berbagai regulasi seperti UU Desa berikut dengan regulasi/ kebijakan turunannya, namun terdapat indikasi bahwa konsep otonomi desa belum diejawantahkan sebagaimana mestinya. Secara filosofis, Widjaja menjabarkan bahwa otonomi desa ialah otonomi yang orisinil, bulat dan utuh serta bukan merupakan pemberian dari pemerintah. Artinya, konsep otonomi desa jika dirujuk dari  teori tersebut ialah berangkat dari sistem buttom up.

Menurut saya, mesti ada reposisi untuk mencari jati diri dari otonomi desa. Hal ini sebab konsep otonomi desa yang berkembang dan ditafsir umum selama ini ialah menyelaraskan kedudukan desa secara administratif, bukan untuk mengembangkan desa berdasarkan nilai yang dianut dan dijalankan oleh setiap desa. Hal ini juga menurut saya berimplikasi pada pengaturan desa yang sekadar sebagai bagian dari norma UU Pemda, imbasnya desa seakan menjadi bagian dari struktur Pemda dan otonomi desa seolah hanya menjadi cabang dari otonomi daerah.

Jika melihat proses penyelenggaraan pemerintahan desa yang terjadi di Indonesia hingga hari ini, desa cenderung tidak mampu benar-benar otonomi sebab adanya intervensi kuat dari negara melalui berbagai produk kebijakan, termasuk proses generalisasi desa. Mesti digarisbawahi, bahwa desa bukanlah serta merta bagian dari miniatur negara, hal ini berimplikasi pada kedudukan desa sebagai bagian dari turunan otonomi daerah. Otonomi desa mesti diperkuat dan diberikan kewenangan lebih agar tidak mudah diintervensi oleh produk otonomi daerah dan intervensi dari pemerintah pusat. Konsep ini tentunya tidak mengesampingkan bahwa desa merupakan bagian dari wilayah negara kesatuan. Artinya, perlu ada perkuatan terkait kedudukan desa sehingga desa bisa benar-benar otonomi dalam keberlangsungannya.

Kurang “kentara-nya” otonomi desa juga dapat disebabkan oleh adanya aspek yuridis yang mengarah pada sentralisme hukum. Quo Vadis atau arah otonomi desa kedepannya mesti diselaraskan telebih dahulu. Hal ini dapat dijalankan melalui adanya pluralisme hukum sehingga mampu memberikan keluasan bagi desa dalam mengelola urusannya berdasarkan kekhasannya masing-masing. Adanya pluralisme hukum merupakan konsep yang dapat memberikan makna lebih pada penguatan otonomi desa. Esensi pluralis dapat meminimalisir tendensi saling mendominasi antara sejumlah sistem hukum, khususnya antara sistem hukum desa dan sistem hukum negara. Melalui pola ini, desa diharapkan mampu lebih otonom dan mendapatkan kewenangan yang besar dalam mengelola dan mengembangkan wilayahnya.

Terakhir, konsep otonomi desa merupakan suatu hal yang penting untuk dioptimalkan. Hal ini juga linier dengan Nawa Cita Presiden Joko Widodo yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Oleh sebab itu, perlu adanya political will yang kuat dalam menghadirkan desa-desa yang lebih otonom. Hal ini tentunya cukup fundamental sebab berimplikasi besar dalam terwujudnya kemandirian dan kesejahteraan warga desa di Indonesia kedepannya. (Zainul Rahman, Mahasiswa Magister Ilmu Pemerintahan, Fisip, Universitas Padjadjaran)

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.