Pelayanan Kesehatan dan Tongkat Kekuasaan

Ilustrasi pasien dirawat
Sumber :
  • vstory

VIVA - Penduduk Pulau Penang Malaysia berjumlah 2 Juta jiwa. Kota Surabaya penduduk 3, 2 juta jiwa. Mall di Penang hanya satu, Rumah Sakit ada 11, tidak ada gedung bioskop. 4 hotel bintang 5 dan ada 6 hotel bintang 4, serta puluhan hotel bintang 3 dan hotel budget.

Semua full pasien dari Indonesia berobat di Penang.

Penerbangan dari Medan ke Penang 20 menit dan sehari ada 7X penerbangan dari Medan ke Penang.

Kalau Jokowi penasaran ingin tahu kenapa orang Indonesia berobat keluar negeri, terutama ke Penang, coba kirim Menkes atau Dirjennya untuk study tour.

Berobat di Penang lebih mahal dari Indonesia?
Siapa bilang?

Lebih murah dan mayoritas sembuh, tidak ada rawat inap walau operasi, kecuali operasi besar atau butuh claim asuransi.

So!
Bagaimana ?
Masih mau berobat di Indonesia ?

Bisulan saja harus rawat inap, diinfus, beli aneka obat, kalau beruntung seminggu menginap, pulang bawa sekantong aneka obat.

Di Penang selain tidak perlu rawat inap, jarang disuruh beli obat, kalaupun beli terkadang hanya 3 biji, anehkan?

Yang penyakitnya agak berat dan perlu obat sampai satu box atau lebih, dokter akan tanya dan beri saran, beli di luar rumah sakit lebih murah dan di Penang ada Apotik We Ling paling terkenal dan lebih Murah dari pada di rumah sakitnya

Masalah perbandingan layanan kesehatan rumah sakit di Penang bukan masalah kedokteran, tetapi lebih kepada tegaknya tongkat kekuasaan.

1. Pada saat pasien berobat, katakan dioperasi, ada risiko, disebut malpractice, atau malpraktek. Pada saat itu terjadi, pengawasan kontrol asosiasi dokter di Malaysia tegas menyelidiki.

2. Hukuman bagi dokter dan RS Malaysia beda seperti langit dan bumi dibanding Indonesia.

3. Hukum di Malaysia ikut Inggris seperti di film-film. Ada juri (warga biasa) keputusan juri adalah
• guilty
• not guilty

Bilamana keputusan guilty bersalah, maka Hakim memberi hukuman.

Sehingga di Malaysia industri hukum betul-betul memberi efek jera.

4. Hukum di Indonesia beda, ikut Belanda. Kitab KUHP merujuk pada falsafah bahasa belanda. Professor ahli hukum ada dua baru meninggal dunia Prof Sahetapy, dan Juswito Satrio,
Kabar duka datang dari jagat hukum. Kampiun hukum perdata Juswito Satrio atau yang familiar disebut J Satrio wafat di usia 86 tahun. J Satrio wafat dengan meninggalkan segudang ilmu yang dipakai berbagai kampus Fakultas Hukum dan juga dalam praktik notaris di Indonesia.

5. Tapi apapun kiblat nya, apakah Inggris atau Belanda tegaknya tongkat kekuasaan tidak tergantung system, buktinya pengacara international, mahkamah international sedunia ada di Den Haag, Belanda.

Kenapa industri hukum di Indonesia jatuh?

Yang kuasa bukan polisi, bukan jaksa, bukan TNI, bukan Mahfud, tapi duit.

Sepanjang duit (pemilik kapital) tidak dibuat jera, ya tongkat kekuasaan tidak bisa tegak. Mirip bakmi mutar-mutar.

 

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.