Ancaman Radikalisme dan Terorisme Digital Jelang Pemilu 2024

Dok Pribadi sebagai ilustrasi.
Sumber :
  • vstory

VIVA – Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyebutkan bahwa sejak tahun 2010 aksi-aksi terorisme di dunia selalu memanfaatkan media sebagai alat propaganda dan perekrutan anggota. Internet menjadi salah satu media penting dalam menyebarluaskan paham-paham radikalisme dan terorisme. Selain menjadi kekuatan, kata Suhardi, internet juga menjadi ancaman dalam penyebaran hoax, penipuan, pornografi, bullying, prostitusi, SARA, ujaran kebencian, dan narkoba (kominfo.go.id 8/05/2019).

Fenomena ini telah diamati oleh para peneliti luar dan dalam negeri, memperlihatkan adanya tranformasi aksi-aksi radikalisme dan terorisme dari waktu ke waktu, dari cara yang konvensional ke menggunakan media baru (new media), hal ini memunculkan istilah cyber terrorism

Istilah ini pertama kali digunakan oleh Barry Collin tahun 1997, seorang peneliti di Institut Keamanan dan Intelijen, California, Amerika Serikat. Collin mendefinisikannya sebagai konvergensi cybernetics dengan terorisme. Yaitu aksi-aksi terorisme dengan memanfaatkan alat teknologi, informatika, program, media sosial, koding (software) dan kemampuan cyber lainnya.

Dari perkembangan dan semakin melebarnya cakupan penggunaan instrumen internet oleh kelompok radikal dan teroris, penulis menyebutnya dengan istilah digital terrorism (terorisme digital).

Saat ini, dunia digital bukan sekadar sebuah platform internet, melainkan sebuah meta realitas, yaitu realitas baru di mana setiap orang menggantungkan seluruh aktivitasnya. Dalam dunia meta realitas tersebutlah, kelompok radikal dan teroris menyebarkan manifesto, pesan ‘dakwah’ dan propaganda, statemen agitatif, penyebaran fitnah dan hoax, ujaran kebencian dan permusuhan terhadap sebuah kelompok, promosi tindakan kekerasan, penggalangan dukungan dan penguatan jaringan, melakukan interaksi antar jaringan di antar wilayah seluruh dunia, rekrutmen anggota baru, menyusun rencana aksi, penggalangan dana, serangan terhadap server pemerintah dan kelompok tertentu, penyadapan serta serangan cyber lainnya.

Transformasi dan semakin melebarnya cakupan aksi yang dilakukan kelompok ini melalui digital, sehingga Gary R. Bunt mengatakan bahwa globalisasi turut membidani lahirnya terorisme. Globalisasi dengan instrumen penting teknologi komunikasi dan informasi telah melahirkan fenomena terorisme baru yang secara fasih memanfaatkan kehadiran teknologi internet.

Ancaman Terhadap Pemilu 2024

Aksi seorang perempuan muda (24) yang mengacungkan senjaga api jenis FN dan hendak menyerang anggota Paspampres yang berjaga di depan Istana Negara Jakarta pada Selasa (25/10/2022) lalu memicu kekhawatiran masyarakat Indonesia tentang ancaman dan gangguan keamanan jelang pemilihan umum (pemilu) 2024 mendatang. Karena aksi yang dilakukan perempuan berinisial SE tersebut, walaupun tidak ada korban jiwa dalam tindakannya, namun sebagian pihak dikaitkan dengan jaringan terorisme.

Atas peristiwa ini, Kepala BNPT Komjen Pol. Boy Rafli Amar awal bulan ini, sudah mengingatkan kita semua bahwa foreign terrorist fighters (FTF) masih menjadi ancaman terhadap keamanan kawasan Asia Tenggara, khususnya di Malaysia, Filipina, dan Indonesia.

Dan di dalam negeri, aksi serupa meningkat seiring dengan adanya pelonggaran perjalanan antar wilayah dan intensitas politik jelang pemilu tahun 2024 mendatang (Viva.co.id 13/10/2022).

Pernyataan Kepala BNPT dan peristwa di Istana Negara, memperoleh legitimasi kuantitatif tatkala Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) pimpinan Boni Hargens dalam surveinya mengungkapkan bahwa radikalisasi dan politik identitas akan terus menguat dan ancam pemilu 2024.

Hal yang sama juga ditegaskan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Jenderal TNI (Purn.) Dr. H. Moeldoko, bahwa radikalisme dan politik identitas potensial terjadi dan jadi ancaman selama pemilu 2024.

Kekhawatiran Kepala BNPT, KSP dan Boni cukup beralasan melihat kenekatan dan transfomasi aksi yang dilakukan kelompok radikal dan terorisme sebagaimana dijelaskan di atas.

Selain itu, jika memperhatikan kembali bagaimana dinamika Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu, situasi politik yang cukup rumit, menjadi permulaan terjadinya pembelahan politik di masyarakat yang disebabkan karena menguatnya politik identitas. Politisasi identitas seperti ini terus berlanjut, puncaknya pada pemilu 2019, yang menyebabkan terbentuknya dua segregasi politik yaitu antara pendukung Joko Widodo dengan pendukung Prabowo Subianto.

Pembelahan politik dan politik identitas akan diikuti dengan berbagai isu-isu politis seperti penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, penyebaran ancaman dan permusuhan dengan kelompok tertentu, bahkan hingga berujung pada penyerangan fisik. Kondisi ini nyata mengganggu interaksi sosial masyarakat dan kehangatan berwarga negara.

Mengamati dinamika politik jelang pemilu 2024 dan nama-nama yang selalu teratas dalam berbagai survei sebagai calon presiden yaitu Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto, maka banyak pihak menilai pembelahan politik dan politik identitas akan terbawa dan kembali terjadi. Dengan demikian, penyebaran fitnah dan hoax, ujaran kebencian dan permusuhan terhadap sebuah kelompok, promosi tindakan kekerasan secara sangat fulgar akan mewarnai kontestasi politik ke depan. Kelompok masyarakat akan kembali terkotakkan menjadi tiga fatsun berdasarkan afiliasi pilihan politik mereka.

Dalam kondisi “polusi informasi” tersebut, dapat menjadi kesempatan dan momentum bagi kelompok radikal dan teroris untuk melancarkan agitasi dan propaganda, menyebarluaskan ajaran dan doktrin, perekrutan angota dan melancarkan serangan-serangan cyber sebagaimana yang dilakukan seorang hacker Bjorka, yang berhasil meretas situs-situs resmi pemerintah seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Aksi teror digital tersebut dilakukan dalam berbagai tujuan, yaitu ekonomi, ideologis, dan politik. Secara politik, kejahatan digital ini dilakukan dalam rangka untuk mendelegitimasi terhadap kelompok politik tertentu, mendelegitimasi konstitusi dan aparat penegak hukum, serta mendelegitimasi pemerintah dan hasil demokrasi yang konstitusional.

Proses delegitimasi merupakan upaya mendistorsi negara, pemerintahan, hukum dan demokrasi konstitutif, agar masyarakat kelas bawah “percaya” bahwa proses hukum, pemerintahan dan demokrasi yang dijalankan saat ini penuh dengan ‘kebohongan’, ‘manipulasi’, dan ‘ketidakadilan’. Padahal, semua itu merupakan sebuah propaganda politis yang sengaja dilempar untuk mengacaukan stabilitas politik. Hal ini dilakukan melalui platform media sosial seperti Telegram, Facebook, WhatsApp, YouTube, dan Twitter. Dengan demikian, untuk mengantisipasi semakin meluas dan masifnya gerakan kelompok ini diperlukan deteksi dini dan konvergensi antar semua komponen untuk melakukan pencegahan.

Langkah Pencegahan

Langkah Kemenkominfo pada tanggal 20 Oktober 2022 yang melakukan take down terhadap 11 televisi streaming dan sebanyak 83 URL yang bernuansa dan mempunyai konten radikalisme dan terorisme di Indonesia, merupakan sebuah kebijakan yang sangat bagus. Apa yang dilakukan Kemenkominfo, menambah daftar panjang jumlah akun dan konten media yang diblokir oleh pemerintah. Tercatat sejak tahun 2018 hingga 2021 ada 2.624.750 konten negatif, yang terdiri dari sebanyak 1.536.346 di antaranya berasal dari situs dan 1.088.404 dari media sosial.

Menurut Menkominfo Joni G. Plate, hal itu dilakukan dalam rangka pencegahan terhadap aktivitas kelompok-kelompok yang sedang menyebarkan paham, ‘dakwah’ dan perintah 'amaliah' melalui media sosial yang bernuansa radikal dan terorisme. Sistem yang digunakan yaitu Surveillance System dan Cyberground yang bekerja 24 jam, yang mengawasi ruang digital dan bisa membaca numerical alphabetical (Kumparan.com 20/10/2022).

Langkah pencegahan cepat yang dilakukan oleh pemerintah melalui Kemenkominfo tersebut sangat tepat, karena jika dibiarkan maka akun-akun media sosial yang sengaja dibuat untuk menyebarkan doktrinasi, ajaran, amalan, dan berita-berita untuk dipropagandakan dalam rangka mendukung dan melegitimasi aksi-aksi teror, radikal dan kekerasan atas nama keyakinan dan ideologi akan terus beranak pinang.

Dalam rangka mengantisipasi ancaman tersebut jelang pemilu 2024 pula sehingga KPU, Bawaslu, DKPP, Kemendagri, Polri, BSSN, Kemenpan RB, TNI, dan BIN akan membentuk Satuan Tugas Khusus (Satgassus), sebuah tim yang mengawasi pelanggaran di ruang digital, dan mencegah terjadinya gesekan dan perpecahan akibat konten-konten yang berkaitan dengan isu SARA, yang tone dan tendensinya negatif, mengakibatkan pembelahan masyarakat, hoax dan ujaran kebencian di ruang digital selama pemilu 2024.

Selain itu, juga diperlukan sosialisasi kepada masyarakat terkait penggunaan media sosial yang sehat dan aman dari informasi hoax dan fitnah. Agar masyarakat mengerti bahayanya berita bohong, konten-konten radikal dan ancaman terorisme di dunia digital. Penanggulangan terorisme baik itu di dunia nyata maupun di dunia maya memiliki karakteristik yang sama. Penanggulangan terorisme di dunia maya pun tidak bisa sekedar mengandalkan pemerintah dan mengedepankan pendekatan keras semata. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemolisian demokratis, mengajak masyarakat sebanyak-banyaknya, melibatkan tokoh adat, tokoh agama, dan influencer untuk menjadi agen kontrol media yang sehat. Sehingga dengan cara itu, apa yang dikhawatirkan Kepala BNPT, KSP dan kita semua tidak akan terjadi.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.