Dana Haji untuk Pembangunan Infrastruktur, Bolehkah dalam Islam?

Ilustrasi gambar : Haji
Sumber :
  • vstory

VIVA  – Dana Haji adalah dana setoran biaya penyelenggaraan ibadah haji, dana efisiensi penyelenggaraan haji, dana abadi umat, serta nilai manfaat yang dikuasai oleh negara dalam rangka penyelenggaraan ibadah haji dan pelaksanaan program kegiatan untuk kemaslahatan umat Islam.

Adapun infrastruktur secara umum, arti infrastruktur seringkali dikaitkan struktur fasilitas dasar untuk kepentingan umum. Beberapa contoh infrastruktur dalam bentuk fisik antara lain jalan, jalan tol, stadion, jembatan, konstruksi bangunan, jaringan listrik, bendungan, dan sebagainya. Pembangunan infrastruktur merupakan modal atau kapital dalam upaya peningkatan produktivitas perekonomian negara serta usaha peningkatan taraf hidup masyarakat secara luas.

Sumber dana haji berasal dari dua sumber : (1) Dana bersumber dari jamaah haji yang disebut dengan biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), (2) Dana bersumber APBN. Selain dari dua sumber pendanaan di atas, ada juga dana haji yang berasal dari hasil optimalisasi setoran awal (Indirect Cost).

Pengelolaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur adalah bagian dari manifestasi UU No.34 Tahun 2014 tentang pengelolaan keuangan haji. Mengenai penggunaan investasi terhadap keuangan haji, UU tersebut memberi amanah pada Bab V tentang tata cara pengelolaan keuangan haji pasal 46 ayat 2 : “Keuangan Haji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditempatkan dan/atau diinvestasikan.

Sementara itu dalam hukum Islam ada istilah maslahah mursalah. Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung oleh syara’ dan juga tidak ditolak oleh syara’ melalui dalil dalil terperinci. Artinya, tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya.

Pengelolaan keuangan haji untuk investasi pembangunan infrastruktur sebagian dana tersebut diinvestasikan pada Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk negara, serta investasi lain yang memungkinkan untuk ditetapkan oleh BPKH yang sesuai dengan prinsip – prinsip syariah.

Pengelolaan dana haji untuk pembangunan infrastruktur dari sudut pandang maslahah mursalah diperbolehkan selama penerapannya tidak menyalahi prinsip syariah, serta manfaat yang dihasilkan harus dapat dirasakan langsung oleh masyarakat khususnya calon jamaah haji yang sudah mendaftar.

Presiden berniat untuk menggunakan dana haji untuk pembangunan infrastruktur. Pernyataan ini menjadi perdebatan pro kontra. Sebagian dari mereka yang tidak setuju menginginkan agar dana haji ini untuk kepentingan jamaah seperti sewa hotel, sewa pesawat, katering, dan pernik pernik haji. Tapi, banyak juga yang setuju dana haji untuk infrastruktur, mengingat selama ini, pemerintah membangun infrastruktur dengan jalan hutang.

Sebenarnya, dua keinginan dapat diformulakan mengingat dana haji cukup besar yaitu Rp 100 triliun adalah angka besar, maka bisa digunalan untuk keduanya. Sebagian kira-kira 25 persen untuk kepentingan ibadah haji dan sisanya untuk infrastruktur.

Jika mampu merumuskan sebagaimana di atas, maka dana haji akan memberi dampak ekonomi bagi jamaah itu sendiri juga bagi masyarakat dan perekonomian secara nasional.

Pada tahun 2010, pemerintah menetapkan setoran awal haji regular sebesar Rp 25.000.000,00. Tingginya semangat umat Islam Indonesia untuk mendaftar tidak seimbang dengan kuota calon jamaah haji yang diberangkatkan setiap tahun sehingga membuat daftar tunggu keberangkatan haji semakin panjang.

Hal ini menciptakan akumulasi dana setoran awal calon Jemaah haji yang mengendap di rekening Kementerian Agama terus meningkat. Kemudian pada tanggal 26 Juli 2017 Presiden Jokowi melantik Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Pelantikan BPKH ini juga diiringi dengan wacana tentang pemnfaatan potensi dana haji guna pembangunan infrastruktur.

Pembahasan wacana dana haji untuk pembangunan infrastruktur disetujui oleh ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji dan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji adalah payung hukum pengelolaan keuangan haji.

Pemanfaatan dana haji yang begitu besar perlu ditinjau melalui perspektif maqosid asy-Syar‘iah, guna mengukur sejauh mana pemanfaatan dana haji di Indonesia sejalan dengan tujuan-tujuan syariat.

Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang meneliti data-data dari bahan pustaka. Sumber data yang digunakan adalah sumber sekunder yakni sumber tertulis jurnal, sumber tertulis yang relevan dengan penelitian ini. Kemudian analisis ditinjau dengan perspektif maqoosid asy-Syari‘ah, terutama dari segi perlindungan harta (hifz al-mal) untuk memberikan sebuah pandangan tentang dana haji yang dialokasikan ke infrastruktur.

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa dana haji untuk investasi infrastruktur dibolehkan menurut maqosid asy-Syari‘ah dengan catatan pelaksanaannya menggunakan prinsip syariah. Pemanfaatan dana haji di bidang infrastruktur, sekaligus mendukung program pemerintah era Jokowi yang menggenjot sektor infrastruktur dengan harapan dapat meningkatkan daya saing, pertumbuhan dan pemerataan ekonomi sosial. Pengelolaan dana haji untuk infrastruktur juga sudah sesuai dengan perlindungan harta (hifz al-mal) karena turut mensejahterakan rakyat, adanya perputaran uang, dan adanya pembangunan ekonomi.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.