Menerapkan Budaya Positif di Sekolah

Menerapkan Budaya Positif di Sekolah
Sumber :
  • vstory

VIVA – Dalam filosofi pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, bahwa merdeka berarti tidak hanya bebas dari kontrol orang lain, tetapi seseorang dikatakan merdeka juga jika ia mampu mengotrol dirinya sendiri untuk melakukan suatu hal.

Dalam teori kontrol yang disampaikan oleh Dr Willian Glasser, hal yang dapat mengontrol seseorang adalah dirinya sendiri. Teori inilah yang menjadi dasar dalam penerapan budaya positif dan nilai nilai kebajikan di sekolah.

Jika kita ingin mengubah murid, yang memiliki kontrol untuk mengubah adalah diri murid sendiri. Untuk itulah dibutuhkan motivasi dari dalam diri (motivasi instrinsik) pada murid. Motivasi ini adalah motivasi pada level tertinggi karena murid tidak hanya melakukan sesuatu karena hukuman ataupun penghargaan, tetapi murid melakukan sesuatu karena menghargai dirinya sendiri dan ingin menjadi seseorang yang ia inginkan.

Dalam menerapkan budaya positif di sekolah, sering kali kita memberikan hukuman ataupun penghargaan kepada murid. Namun sesungguhnya, upaya ini masih dalam tahapan level yang terendah. Hal ini karena hukuman dan penghargaan bersifat jangka pendek.

Restitusi adalah pilihan yang dapat digunakan dalam menumbuhkan motivasi dari dalam diri murid. Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004).

Menurut  Diane Gossen,  posisi guru di sekolah dibagi menjadi 5 posisi yaitu; 1. Posisi Penghukum, 2. Posisi Pembuat Merasa Bersalah 3. Posisi Teman 4. Posisi Pemantau, 5. Posisi Manajer.

Dari ke 5 posisi di atas, posisi manajer lah yang paling ideal karena posisi ini tidak memberikan hukuman maupun konsekuensi, namun memberikan pilihan untuk dapat menyelesaikan masalahnya.

Dalam menyelesaikan masalah, guru dapat menggunakan suatu teknik berdialog yang dinamakan segitiga restitusi. Tahapan pertama dalam segitiga restitusi adalah menstabilkan identitas.

Pada tahapan ini, guru menstabilkan identitas murid yang merasa gagal karena telah melakukan kesalahan. Poin dalam tahapan ini adalah setiap orang pernah mengalami kesalahan dan berhak memperbaikinya.

Tahapan kedua adalah memvalidasi kesalahan. Dalam tahan ini, guru menuntun murid untuk dapat menyadari kesalahan yang diperbuatnya. Setelah itu, tahapan ketiga adalah tahapan Menanyakan keyakinan. Di sini guru menanyakan kembali keyakinan yang telah menjadi kesepakatan bersama dan menuntun murid untuk menemukan gambaran diri yang ingin dicapainya.

Setelah tiga tahapan telah dilakukan, guru dapat membantu siswa menentukan upaya upaya apa saja dalam rangka memperbaiki kesalahan, siapa saja yang bisa membantu dan mulai kapan akan dilakukan upaya tersebut. Sehingga setelah melakukan segitiga restitusi, murid kembali menjadi seorang yang percaya diri dan termotivasi. (Rif’atul Fajriyati S.Pd., Calon Guru Penggerak Angkatan 5, Kota Tanjungpinang)

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.