Kenaikan Harga BBM Berdampak Buruk kepada Penduduk Miskin

SPBU
Sumber :
  • vstory

VIVA – Beberapa hari menjelang berakhirnya bulan Agustus 2022, beredar kabar di masyarakat bahwa harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan mengalami kenaikan pada tanggal 1 September 2022 dengan rincian BBM jenis Pertalite dari harga Rp. 7.650,- menjadi Rp. 10.000 atau naik 30,72 %, Pertamak dari Rp 12.500,- menjadi Rp. 16.000,- atau mengalami kenaikan sekitar 28 ?n BBM jenis Bio Solar subsidi dari Rp. 5.150 menjadi Rp. 7.200,- atau naik 39,81 %.

Mengapa hal ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah? Karena BBM jenis ini yang paling banyak dikonsumsi masyarakat menengah ke bawah. Akhirnya yang diumumkan pemerintah melalui Pertamina, per 1 September BBM yang mengalami kenaikan untuk jenis Pertamax Turbo menjadi Rp. 15.900-, Dexlite Rp 17.100,  dan Pertamina Dex jadi 17.400,-. Dampak dari kenaikan harga ini akan tercatat di laporan Berita Resmi Statistik (BRS) pada 1 Oktober 2022.

Berdasarkan jejak digital tentang kenaikan harga BBM berpotensi meningkatkan tingkat kemiskinan di Indonesia, seperti dituturkan oleh Dr. Margo Yuwono, Kepala Badan Pusat Statistik bahwa pada bulan Maret 2005, harga bensin naik 32 ?n solar 27,3%. Selanjutnya pada bulan Oktober 2005, harga bensin kembali dinaikkan 87?n solar 104%, yang ternyata pada waktu itu memicu kenaikan inflasi 11,7%.

Jadi kenaikan harga BBM berdampak buruk kepada penduduk miskin dari sisi kuantitas (jumlah). Selama 2005-2016, tingkat kemiskinan naik dari 15,97% menjadi 17,75 %. Selanjutnya menurut beliau, pada tahun 2013-2014, pemerintah kembali menaikkan harga BBM sebanyak dua kali. Pada bulan Juni 2013, harga bensin naik 44,4 %, sedangkan solar 22,2%. Kemudian pada tahun 2014, harga bensin kembali naik 30,8?n solar 36,4%. Dan ternyata kenaikan BBM ini mendorong kenaikan inflasi sebesar 8,38% secara tahunan.

Meskipun secara persentase penduduk miskin menurun pada 2013-2015, namun menurut Pak Margo, jumlahnya bertambah. Bahkan, tingkat kedalaman (P1) dan tingkat keparahan (P2) kemiskinan meningkat baik pada periode 2005-2006 dan 2013-2015. Dari data BPS mencatat, angka kemiskinan, Maret 2013 mencapai 11,37?n sempat menurun menjadi 11,25% pada 2014 dan 11,22% di 2015. Sementara itu, jumlah orang miskin pada Maret 2013 mencapai 28,07 juta jiwa, kemudian naik menjadi 28,28 juta jiwa di Maret 2014 dan Maret 2015 menjadi   28,59 juta jiwa.

“Mengapa inflasi 2013-2014 lebih rendah dibandingkan 2005”? Karena selama 2013-2014, kebijakan bantuan sosial mulai tertata bagus, sehingga inflasi bisa ditekan. Sedangkan untuk kelas menengah dan rentan diberikan bansos yang langsung ke penerima manfaat, sehingga inflasi tidak terlalu tinggi.

Oleh karena itu, berdasarkan pengalaman tersebut, Pak Margo meminta pemerintah mengendalikan harga energi, karena hal ini akan tertransmisikan ke tingkat inflasi. Selain itu, kenaikan BBM menurunkan laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada tahun berikutnya.

Menurut BPS, 56 ?ri total pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini disumbang oleh konsumsi rumah tangga. Jika terjadi inflasi tinggi tentu akan menggerus pengeluaran rumah tangga. Pada tahun 2006, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 3,2%, lebih rendah dari tahun sebelumnya yang tumbuh 4%. Kemudian pada 2013, 2014, dan 2015, pertumbuhan konsumsi rumah tangga masing-masing 5,43%, 5,15?n 4,96%.

Pak Margo menyatakan bahwa kondisi saat ini, pertumbuhan ekonomi cukup baik dan angka kemiskinan mampu ditekan di bawah 1 digit (single digit). Namun, jangan sampai terjadi salah kebijakan sehingga pemerintah tidak bisa mengendalikan harga di masing-masing daerah yang bisa berdampak pada peningkatan angka kemiskinan dan memberikan efek sosial secara luas.

Jadi penting mengendalikan harga energi menjadi catatan penting supaya tidak memberikan impact kepada inflasi. Untuk itu Mendagri meminta kepala daerah ikut mengendalikan inflasi di daerah masing-masing. Mengefektifkan dan mengefiensienkan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) yang beranggotakan dinas/instansi daerah agar bisa memberikan early warning ke kepala daerah apabila terjadi kenaikan harga yang di luar kewajaran yang berdampak kenaikan inflasi. Sehingga daerah dengan cepat merespon dengan tindakan misalnya dengan menggelar operasi pasar dll.

Terjadinya inflasi karena dampak kenaikan harga BBM baru akan terlaporkan pada Berita Resmi Statistik (BRS) bulan berikutnya. Dari BRS 1 September 2022 terlaporkan, ternyata Kota Yogyakarta pada bulan Agustus 2022 mengalami deflasi  0,12 persen.

Andil terbesar yang mendorong terjadinya deflasi adalah bawang merah yang turun sebesar 34,63 persen. Tingkat inflasi kalender (Agustus 2022 terhadap Desember 2021) sebesar 4,24 persen dan tingkat inflasi tahun ke tahun (Agustus 2022 terhadap Agustus 2021) sebesar 5,52 persen .

Secara nasional dari 90 kota yang dihitung angka inflasinya, 79 kota mengalami deflasi dan 11 kota mengalami inflasi. Secara nasional, terjadi deflasi 0,21 persen, inflasi tahun kalender 3,63 persen dan inflasi tahun ke tahun 4,69 persen.

Dari masyarakat bawah sangat terasa sekali kalau terjadi inflasi, sebagai contoh “issu” tentang akan terjadinya kenaikan BBM sudah menaikkan harga di tukang sayur yang keliling dari rumah ke rumah, misalnya harga sayur kenikir yang biasanya Rp 2.000, per ikat sudah naik menjadi Rp. 4.000- per ikat.

Meskipun ada juga yang antre BBM di SPBU tetapi tidak sebanyak dahulu yang sampai panjang antreannya. Sebetulnya bisa dikatakan terjadinya kenaikan harga psikologis, artinya kenaikan BBM akan mengakibatkan naiknya semua harga barang. Hal ini yang perlu dijaga dan dikendalikan pemerintah tentang kepastian harga dan ketetapan harga yang akan menjaga stabilitas di tengah masyarakat. Masyarakat lebih tenang dan damai.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.