Mengurangi Risiko Bencana: Peran Penting Ilmu Teknik Sipil

Proses Konstruksi Bangunan
Sumber :
  • vstory

VIVA – Sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki risiko bencana tinggi. Bencana yang dimaksud tidak hanya terbatas berupa bencana alam.

Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor non-alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Tim SAR mengevakuasi jenazah korban bencana erupsi Semeru. (Foto ilustrasi)

Photo :
  • Humas Kantor SAR Surabaya

Dalam undang-undang yang sama, bencana digolongkan menjadi 3 (tiga) jenis sebagai berikut:

  • Bencana alam, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor;
  • Bencana non-alam, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non-alam seperti kecelakaan, kebakaran, epidemi, dan wabah penyakit;
  • Bencana sosial, yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia, seperti konflik sosial antarkelompok/antarkomunitas masyarakat dan teror.

Terkait potensi bencana alam, risiko tinggi yang dimiliki Indonesia disebabkan oleh letak kedudukannya baik secara geologis maupun geografis. Secara geologis, dari 7 (tujuh) lempeng utama bumi (Afrika, Antartika, Indo-Australia, Eurasia, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Pasifik) Indonesia berada pada pertemuan 3 (tiga) diantaranya yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, termasuk juga lempeng kecil Laut Filipina (geologinesia.com, diakses 11 Agustus 2022).

Kondisi tersebut menjadikan Indonesia rawan terhadap tsunami dan gempa bumi tektonik (disebabkan oleh pergeseran lempeng). Selain gempa bumi tektonik, Indonesia juga rawan terhadap letusan gunung api dan gempa vulkanik yang disebabkannya.

Lokasi bencana longsor di Kampung Awilega, Desa Ginanjar, Kecamatan Ciambar, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, pada Sabtu, 1 Mei 2021, yang mengakibatkan tiga warga tertimbun seorang di antaranya meninggal dunia.

Photo :
  • ANTARA/Aditya Rohman

Hal ini juga akibat letak kedudukan Indonesia, di mana pertemuan lempeng menghasilkan efek lanjutan berupa pembentukan gugusan gunung api (geografi.org, diakses 11 Agustus 2022).

Dan seperti yang sudah diketahui umum, Indonesia terletak pada serangkaian bentangan gunung api di sekitar Samudera Pasifik atau yang lebih dikenal sebagai Ring of Fire (Circum-Pacific Belt).

Dari segi geografis, Indonesia berada di kawasan beriklim tropis dengan posisi lintang bumi 07o LU – 12o LS dan posisi bujur bumi 95o BT – 141o BT, serta berada di pertemuan dua samudera (Samudera Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Benua Asia dan Australia) (Nur, 2010).

Kondisi tersebut membuat wilayah Indonesia rentan terhadap bencana banjir, tanah longsor, gempa runtuhan/terban (disebabkan oleh tanah longsor), cuaca ekstrim, gelombang ekstrim dan abrasi, serta kekeringan yang dapat memicu timbulnya kebakaran hutan dan lahan (IRBI, 2021).

Bertujuan untuk melindungi negara dan warga negaranya dari ancaman bencana, pemerintah Indonesia menyusun kebijakan dan peraturan tentang penanggulangan bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

Definisi tersebut lebih dikenal luas sebagai konsep manajemen bencana. Secara garis besar manajemen bencana dikategorikan dalam 4 (empat) fase yang saling berkaitan dan melengkapi, di mana keempatnya tidak harus selalu ada dan tidak harus dilaksanakan dengan berurutan (Ulum, 2014). Empat fase manajemen bencana, yaitu:

  • Fase mitigasi (mitigation). Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi atau memperkecil risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Termasuk dalam fase mitigasi adalah pencegahan bencana, yaitu rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko bencana baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak yang terancam bencana.
  • Fase kesiapsiagaan (preparation/preparedness). Kesiapsiagaan bencana merupakan serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui perencanaan, pengorganisasian, serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna. Termasuk dalam fase kesiapsiagaan adalah peringatan dini (early warning), yaitu rangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang.
  • Fase respons (response). Respon bencana merupakan serangkaian upaya yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, termasuk di dalamnya kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, pelindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.
  • Fase pemulihan (recovery). Pemulihan bencana merupakan serangkaian kegiatan untuk mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan, prasarana, dan sarana dengan melakukan upaya rehabilitasi dan rekonstruksi.

Fase mitigasi bencana bisa dikatakan sebagai starting point (titik awal) penanggulangan bencana dengan tujuan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Mitigasi bencana dalam undang-undang dilakukan melalui: 1). Pelaksanaan penataan tata ruang; 2). Pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur, tata bangunan; dan 3). Penyelenggaraan pendidikan, penyuluhan, dan pelatihan baik secara konvensional maupun modern. Jika lebih diperinci lagi, upaya mitigasi bencana dapat dilakukan melalui kegiatan sebagai berikut (bpbd.karanganyarkab.go.id, diakses April 2018):

  • Pengenalan dan pemantauan risiko dan potensi bencana;
  • Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;
  • Pengembangan budaya sadar bencana;
  • Penerapan upaya fisik, non-fisik, dan pengaturan penanggulangan bencana;
  • Identifikasi dan pengenalan terhadap sumber bahaya atau ancaman bencana;
  • Pemantauan terhadap pengelolaan sumber daya alam;
  • Pemantauan terhadap penggunaan teknologi tinggi;
  • Pengawasan terhadap pelaksanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, salah satu upaya mitigasi bencana adalah dengan pengaturan pembangunan, pembangunan infrastruktur dan tata bangunan. Guna mewujudkan upaya tersebut, maka ilmu teknik sipil menjadi salah satu ilmu yang perlu dipelajari.

Teknik sipil sendiri merupakan salah satu cabang ilmu teknik yang mempelajari tentang bagaimana merencanakan, merancang, membangun, dan merenovasi tidak hanya gedung dan infrastuktur tetapi juga mencakup lingkungan untuk kemaslahatan hidup manusia (id.wikipedia.org, diakses 11 Agustus 2022).

Dengan menggunakan ilmu teknik sipil, kita bisa membangun bangunan yang tahan gempa. Selain itu kita bisa juga membangun sistem dan saluran drainase perkotaan untuk mengantisipasi terjadinya banjir, membangun tembok penahan tsunami (seawalls) dan juga melakukan rekayasa geoteknik untuk mencegah terjadinya tanah longsor. Jadi, secara tidak langsung bisa dikatakan bahwa ilmu teknik sipil berperan dalam mengurangi risiko bencana.

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.