Laut, Nelayan dan Asa Pembangunan Berkelanjutan
- vstory
VIVA – Lautan mempunyai peran penting bagi negara Indonesia. Dengan julukannya sebagai negara maritim, wilayah negara kita hampir tiga perempatnya berupa lautan. Hal tersebut tentu menjadikan lautan sebagai potensi sumber daya yang tak ternilai harganya. Selain itu lautan juga menjadi pendukung ekonomi dan penopang kehidupan manusia utamanya nelayan dari hasil produksi perikanan tangkap maupun budidaya.
Jika melihat data SUTAS 2018 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah Rumah Tangga Usaha Pertanian (RTUP) Penangkapan Ikan berjumlah 780.037 dan RTUP budidaya ikan sekitar 863.703 di seluruh Indonesia. Besarnya jumlah nelayan yang menggantungkan hidup dari lautan Indonesia, tentu membutuhkan kondisi lautan yang terjaga dari degradasi atau kerusakan alam.
Namun alih-alih kondisi lautan semakin membaik, beberapa data menunjukkan kondisi lautan kita berada dalam titik kritis. The Wolrd Bank dalam laporan kuartal ekonomi Indonesia Juni 2019 pun menyatakan bahwa problematika seperti isu lingkungan menjadi salah satu tantangan besar yang menghadang pembangunan ekosistem laut di Indonesia. Hal tersebut tentu berpotensi multiplier effect terhadap kesejahteraan penduduk yang menggantungkan penghidupan pada lautan baik jangka pendek maupun jangka panjang.
Asa membenahi ekosistem laut agar lebih baik sebenarnya mulai terjawab, salah satunya melalui pembangunan ekosistem laut yang berkelanjutan. Hal tersebut tertuang pada Sustainable Development Goals (SDGs) tujuan ke-14, yaitu melestarikan dan memanfaatkan secara berkelanjutan sumber daya kelautan dan samudera untuk pembangunan yang berkelanjutan. Harapannya sumber daya laut yang kita punyai sekarang dapat dirasakan manfaatnya oleh generasi kita di masa depan.
Masih Tercemar
Namun mimpi hanya sekadar mimpi, lautan Indonesia masih tercemar dan jauh dari kata baik-baik saja. Sampah masih menjadi masalah utama yang mengancam kesehatan lautan kita. Presiden RI pun mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut pada tanggal 21 September 2018. Melalui peraturan tersebut, diharapkan sampah di lautan Indonesia dapat berkurang hingga 70 persen di tahun 2025.
Mengingat berdasarkan data Podes 2018, perilaku membuang sampah di sungai/saluran irigasi/danau/laut menjadi terbanyak kedua yang dilakukan oleh penduduk di desa tepi laut setelah membuang sampah sampah di dalam lubang/dibakar. Setidaknya terdapat 2.650 desa tepi laut yang sebagian besar penduduknya membuang sampah di sungai/saluran irigasi/danau/laut.
Sampah yang terbuang ke laut pun tak pelak menyebabkan pencemaran air laut. Sebanyak 1.926 desa tepi laut di Indonesia mengalami pencemaran air. Jika dirinci, sumber pencemaran air laut yang berasal dari sampah rumah tangga terjadi di 1.163 desa tepi laut, sampah pabrik terjadi di 569 desa tepi laut dan sampah dari sumber lainnya terjadi di 194 desa tepi laut. Selain pencemaran, sampah juga menyebabkan kerusakan lingkungan biotik dan membahayakan populasi yang ada di laut.
Keadaan lingkungan biotik laut tercermin dari fenomena biologis misalnya habitat hidup ikan, kawasan hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Data Statistik Sumber Daya Laut dan Pesisir tahun 2021 menunjukkan luas hutan mangrove di Indonesia sekitar 2,177 juta Ha, dengan kondisi sedang sekitar 10 persen dan rusak 20,93 persen. Luas padang lamun sekitar 1,15 juta Ha, dengan kondisi baik hanya sekitar 22,31 persen. Terumbu karang juga memperlihatkan kondisi tak jauh beda, tercatat terumbu karang dalam kondisi baik hanya sekitar 22,96 persen pada tahun 2017. Kondisi lingkungan biotik yang baik memungkinkan akan menjadi habitat ikan dan biota laut lainnya dalam tumbuh dan berkembang biak. Kerusakan yang terjadi tentunya berdampak luas pada berbagai aspek kehidupan nelayan. Mulai dari turunnya jumlah populasi ikan dan kualitas ikan yang ditangkap, sehingga akan menurunkan penghasilan nelayan.
Multiplier Effect
Kerusakan lingkungan yang terjadi bukan tak mungkin akan berefek lanjut pada penurunan pendapatan nelayan hingga kemiskinan. Tentu bak jatuh tertimpa tangga pula. Padahal banyak nelayan yang masih dihadapkan dalam belenggu kemiskinan. Secara fisik, fenomena kemiskinan nelayan terlihat dengan adanya permukiman rumah kumuh di tepi laut. Hasil Podes 2018 mencatat sekitar 1.070 desa tepi laut terdapat permukiman kumuh. Selain itu, tak sedikit pula nelayan yang berada di bawah garis kemiskinan. Hal tersebut tercermin dari 11.355 desa tepi laut yang warganya sebagai penerima Surat Keterangan Tidak Mampu.
Dari sisi akses permodalan, nelayan masih sulit mendapatkan modal usaha. Akibatnya, mereka tidak dapat mengembangkan usahanya dengan optimal. Hasil analisis Sensus Pertanian tahun 2013 menunjukkan bahwa teknologi penangkapan yang diterapkan masih bersifat tradisional dan skala kecil. Dari sisi permodalan, hanya sedikit yang mengakses lembaga perbankan dan non-bank sebagai modal usaha (0-5,5%). Dari sisi kelembagaan, hanya sedikit yang menjadi anggota koperasi (4-8%) maupun Kelompok Usaha Bersama atau KUB (3-16%).
Aksi untuk Laut Kita
Prinsip pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang memenuhi kebutuhan hidup masa sekarang dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup generasi mendatang. Potensi besar perikanan Indonesia, merupakan modal besar pembangunan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dan mendukung ketahanan pangan nasional. Menurut data semester II tahun 2021, perikanan menyumbang 67,7 triliun rupiah pada triwulan II tahun 2021 atau sebesar 2,44 persen total PDB.
Serta mencatat nilai ekspor tertinggi selama enam tahun pada tahun 2020 yaitu sebesar 5,2 miliar US$. Aksi kecil nyata seperti tidak membuang sampah ke laut tentu akan membantu menyelamatkan hilangnya potensi perikanan laut kita dan menjaga sumber kehidupan nelayan.
Selain itu, pemerintah melalui instansi terkait baiknya membuat sistem pengelolaan sampah terpadu terutama di wilayah tepi laut, agar volume sampah di laut dapat ditekan. Sudah selayaknya negara hadir dalam pelestarian kelautan berkelanjutan dan berpihak kepada nelayan. Dengan kolaborasi yang apik dari berbagai pihak, niscaya asa pembangunan berkelanjutan tidak hanya berakhir jadi mimpi, tetapi nyata untuk kelestarian laut dan kesejahteraan rakyat. (Eko Apriyanto, SST Statistisi Ahli Pertama BPS Kabupaten Halmahera Timur)