Hukuman Mati dalam Perspektif Pancasila
- vstory
VIVA – Hukuman adalah feedback yang ditimbulkan dari perbuatan yang melanggar norma hukum. Seseorang dikatakan melanggar hukum jika perilakunya telah melewati batas wajar dan melanggar hak asasi orang lain. Karena sejatinya kita hidup berdampingan dengan hak asasi orang lain.
Kita tidak asing dengan kata hukuman di Indonesia, bahkan orang awam yang tidak mengenyam bangku sekolahan pun tahu apa itu hukuman, tentu dengan perspektif mereka sendiri.
Yang kita bahas kali ini adalah mengenai hukuman mati, kira-kira penerapannya bagaimana ya di Indonesia? Apakah sudah diterapkan dengan baik?
Kita sering kali mendengar kata hukuman mati yang tentunya sudah menjadi rahasia umum di masyarakat, karena di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pun telah diatur dan dijelaskan apa itu hukuman mati, salah satunya di pasal 365 (4) KUHP, namun pada pelaksanaannya masih belum maksimal hingga kini. Khususnya mengenai kasus korupsi yang terjadi di kalangan pejabat akhir-akhir ini, hukuman mati hanya sering dijatuhkan kepada para pidana narkoba.
Pasalnya hukuman mati bagi pidana narkoba bukan hanya sebagai efek jera bagi para pelaku kejahatan narkoba, namun juga untuk menyelamatkan generasi penerus bangsa berikutnya agar tidak berurusan dengan narkoba.
Pelaksanaan tersebut tentu dengan prosedur yang terdapat didalam UU No.35 tahun 2009 menjelaskan bahwa hukuman sepadan bagi pelanggar berat kejahatan narkoba adalah hukuman mati.
Sebagian besar ahli hukum berpendapat hukuman tersebut bertentangan dengan Pasal 28 (1) UUD 1945 dan bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM).
Mengenai hal tersebut Mahkamah Konstitusi pernah memberikan putusan bahwa hukuman mati untuk kejahatan tertentu tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak pula bertentangan dengan hak untuk hidup sebagai mana terdapat di dalam konstitusi hak asasi hanya terdapat di pasal 28A hingga 28J, bahwa hak asasi harus seimbang dengan hak menghormati dan menghargai orang lain demi berlangsungnya ketertiban dan keadilan sosial.
Masyarakat tentunya ikut senang jika nantinya hukuman mati akan dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Artinya jika akibat dari dilaksanakannya hukuman mati akan memberikan efek jera terutama di kalangan pejabat, tentu hal ini akan mendapat dukungan dari masyarakat dikarenakan hukuman mati sangat dinanti-nanti oleh khalayak umum agar menjadi contoh bagi orang yang nantinya berniat atau berencana melakukan sesuatu yang melanggar norma hukum.
Pasal 6 ICCPR menyebutkan bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya dan wajib dilindungi oleh hukum. Pasal 6 (1) bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan dilindungi oleh hukum tetapi dalam kalimat ketiga yang berbunyi: “No one shall be arbitrarily dep-rived of his life” yang berarti tidak seorang pun dapat dirampas kehidupannya secara sewenang-wenang.
Hal ini berarti jika seseorang dijatuhi hukuman mati, tetapi keputusan hukuman mati dihasilkan dari sebuah proses hukum yang tidak sewenang-wenang atau sesuai dengan prosedur, maka hukuman mati masih dimungkinkan untuk dilakukan.
Jika kita mengacu pada konvensi internasional terkait hukuman mati tidak serta merta melarang penerapannya dilakukan tergantung kebijakan di negara masing-masing mau atau tidak menerapkannya.
Lalu bagaimana perspektif Pancasila mengenai pelaksanaan hukuman mati jika diterapkan di Indonesia. Kalau bicara di Indonesia yang menganut sistem hukum Civil Law di mana semua peraturannya tertulis seperti UUD 1945, yang merupakan Konstitusi yang berlaku di Indonesia.
Kembali ke Pancasila yang di mana merupakan sumber dari segala sumber hukum di indonesia memang jika dilihat dari sila-silanya hukuman mati sangat bertentangan dengan sila kedua karena tidak mencerminkan ”kemanusiaan yang adil dan beradab”, jadi sangat kecil kemungkinan akan diterapkannya hukuman mati di Indonesia.
Oleh karena itu jika suatu pelanggaran yang di mana sanksinya adalah hukuman mati sangat tidak mungkin dilaksanakan karena kontras dengan Pancasila.
Namun kalau kita lihat dari perilakunya yang dalam konteks di sini adalah Seorang Koruptor dan Kejahatan Narkoba, bisa-bisa saja diterapkan hukuman mati bagi keduanya karena imbasnya bukan hanya bagi pelaku tapi berdampak ke generasi penerus bangsa ini ke depannya, di mana generasi penerus sekarang ini melihat contoh dari figur seorang pemimpin yang dilihatnya saat ini, jika pemimpinnya saja begitu bagaimana generasi penerusnya tidak mau mencontohnya.
Kalau kita berpacu pada sila kelima pancasila yang bunyinya ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” terkandung di dalam butir sila kelima yang menyebutkan bahwa ”Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.”
Interpretasi dari kalimat tersebut bahwa perilaku Korupsi dan Kejahatan Narkoba sangat bertentangan juga dengan butir sila kelima dari pancasila. Jelas sekali bahwa akibat dari kedua tindakan tersebut sangat merugikan masyarakat yang di mana masyarakat itu adalah negara.