Sejarah Kesusastraan Indonesia Periode Pascakemerdekaan

Tangkapan layar saat perkuliahan Sejarah Sastra Indonesia Modern secara daring
Sumber :
  • vstory

VIVA – Kesusastraan Indonesia periode pascakemerdekaan adalah kumpulan karya sastra yang berkaitan dengan sastra setelah kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, banyak perubahan yang terjadi di berbagai bidang seperti sastra dan budaya.

Perubahan ini melalui banyak proses, tidak ada perubahan yang terjadi secara tiba-tiba setelah kemerdekaan. Periode ini juga dimulai setelah Jepang masuk ke Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang, banyak sastrawan yang mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan, tetapi semuanya terhalang oleh pasukan Jepang.

Dengan adanya proklamasi kemerdekaan, memberikan suasana kreativitas dan jiwa yang terbebas dari represi sebelumnya yang tertekan. Dengan kebebasan ini, banyak ide dan karya sastra yang muncul. Hal ini dapat melahirkan banyak penerbitan, namun penerbit yang paling menonjol adalah Lempira Kebudayaan “Gelanggang Seniman Merdeka”.

Untuk mengisi kekosongan pascakemerdekaan memang tidak mudah. Banyak kesalahan yang berujung pada krisis moral, krisis ekonomi, dan krisis lainnya.

Perselisihan antar kelompok juga berujung pada berdirinya Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Banyaknya perselisihan akhirnya membuat para penulis tidak menulis karya-karya penting, sehingga para pengamat sastra menyebut situasi tersebut sebagai "krisis sastra". Hal ini berdampak pada lebih banyak karya-karya yang muncul di majalah-majalah pada saat itu sehingga memunculkan nama "sastra majalah".

Peristiwa-peristiwa dalam kesusastraan periode pascakemerdekaan adalah:

1. Gelanggang Seniman Merdeka, Ini didasarkan pada idealisme seniman, yaitu agar tidak terpengaruh oleh generasi penguasa sebelumnya yang telah mempengaruhi dan menghambat kreativitas penulisan sastra. Kata gelanggang berasal dari majalah mingguan siasat, yaitu Gelanggang. Karena berada pada periode pascakemerdekaan sehingga dikenal dengan Gelanggang Seniman Merdeka.

2. Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra, rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan. Pengembangan budaya baru Indonesia hanya dapat dilakukan oleh rakyat. Maka didirikanlah Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekla. Berdirinya Lekra tidak terlepas dari perpanjangan waktu untuk menciptakan “budaya baru”.

Latar belakang sosial dan kebijakan politik dalam negeri menjadi salah satu faktor penentunya. Lembaga kebudayaan rakyat lahir dari buaian perjuangan. Perjuangan untuk menemukan diri sendiri sebagai objek dan subjek dalam hubungan antar negara. Lekra mengkhususkan diri dalam bidang budaya, seni dan ilmu pengetahuan. Lekra bertujuan untuk menyatukan energi dan aktivitas para penulis, seniman, dan pelaku budaya lainnya, serta meyakini bahwa budaya dan seni tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.

3. Krisis Sastra, hal ini didasarkan pada masa berkabung yang dialami dunia sastra pada tahun 1950-an setelah kematian penulis terkenal Indonesia Chairil Anwar. Kematian Chairil Anwar sangat mempengaruhi para teman dekatnya sehingga jarangnya penulisan dan penerbitan sastra.

Pemerintah juga mulai jenuh sehingga bibit-bibit korupsi dan manipulasi bermunculan dan merusak masyarakat. Oleh karena itu munculah anggapan “krisis sastra”. Setelah itu, ada diskusi tentang "Kesulitan Zaman Peralihan Sekarang" (1952). Ketika pembicaraan muculah istilah, krisis akhlak, krisis ekonomi dan istilah lainnya muncul. Kemudian, untuk pertama kalinya di Amsterdam, dibicarakan impasse (kemacetan) dan "krisis sastra Indonesia" yang disebabkan oleh kegagalan Revolusi Indonesia.

Salah satu penyebab "krisis sastra" adalah rendahnya jumlah buku yang diterbitkan, karena beberapa penerbit mengalami kesulitan. Perubahan status yang berkali- kali, pergantian pimpinan yang tidak mengusai bidangnya, adalah permasalahan yang dihadapi Balai Pustaka selain kekurangan keuangan.

4. Majalah Kisah, ketika berhadapan dengan krisis sastra, para pengarang lebih banyak menulis di majalah-majalah seperti Siasat, Zenith, Mimbar Indonesia, dan lainnya. Karena keterbatasan tempat, majalah ini hanya memuat artikel pendek seperti puisi dan cerpen. Keadaan ini menyebabkan lahirnya istilah “sastra majalah”. Istilah ini diperkenalkan oleh Nugrohonoto Susanto.

Di antara berbagai majalah yang muncul saat itu adalah majalah kisah. Majalah ini sangat penting karena merupakan majalah sastra yang berfokus pada cerita pendek. Majalah tersebut terbit dari Juli 1953 hingga Maret 1957, majalah ini dihentikan karena tidak dapat bersaing secara komersial dengan bacaan cabul yang menjamur saat itu.

Hal-hal inilah yang mendorong adanya kesusastraan pada periode pascakemerdekaan. Proklamasi Kemerdekaan memiliki pengaruh yang besar terhadap kesusastraan Indonesia. Cukup banyak proses dan peristiwa yang mendorong kemajuan sastra di Indonesia. Pada periode kesusastraan periode pascakemerdekaan ini identik dengan adanya gelanggang seniman merdeka, lembaga kebudayaan rakyat, krisis sastra, dan majalah kisah.

 

Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.